Mohon tunggu...
Ahla Jennan
Ahla Jennan Mohon Tunggu... -

Iam simple and open mind

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Om Bob Sadino, Seniman Duit

17 Februari 2015   23:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:00 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

By : Juwanna Soetomo

Siapa yang tak kenal almarhum Bob Sadino,S pengusaha sukses kelahiran 9 Maret 1933 yang meninggal 19 Januari lalu di usia 81 tahun.

Seorang pemilik jaringan Kemfood dan Kemchik. Pelopor pertama telur ayam negeri dan orang pertama yang menggunakan perladangan sayur dengan sistem hidroponik, seorang motivator dengan ideologi yang bersumber dari pengalaman sejati, dan bintang film lagi. Hunter Risk. Sang Pemburu resiko, ia menjuluki dirinya sendiri.

Kesempatan yang begitu langka dan amat berkesan pernah kudapatkan 3 tahun yang lalu (26/6/2011) . Ketika mendapatkan kesempatan bertatap muka, wawancara langsung, mendengar petuah-petuahnya yang kali pertama mendengar pasti bikin garuk-garuk kepala, lalu sesaat kemudian sambil berdecak-decak kagum aku mengamininya, membenarkan yang beliau sampaikan walau sebenarnya menyalahi teori.

Om Bob, aku memanggilnya, walau sebenarnya ia lebih pantas menjadi Kakekku daripada di panggil Om. Tapi, demi menghormati celana pendek, gaya nyentriknya, dan terlebih isi kepalanya yang begitu eksentrik tanpa aturan itu, rasanya tak akan tega kalo panggilan kakek kusangkutkan dipundaknya.

“Target? Apa itu target? Bullshit itu, kalau hidup ini di pasang target itu akan menjadi beban. Hidup itu harus enjoy seperti saya ini. Kalau di pasang target, misalnya dari Jakarta target kita Surabaya, padahal setelah Surabaya masih ada Bali, ada daerah lainnya, bisa lewat jalan tol, bisa juga melewati pedesaan.” Katanya padaku dan Mbak Susie Utomo yang juga mendapat kesempatan wawancara.

Bagaiamana tak akan mengamini, dengan kedalaman ilmu yang bersumber dari pengalaman sejati, bukan dari sekedar mendengar atau cekokan teori pasti semua pun akan setuju dengan pendapat-pendapatnya, walau menyalahi teori di buku-buku motivasi yang ada saat ini.

Kata-katanya lagi yang menginspirasiku dan membuatku kembali tegak adalah, “Ketika Anda tidak takut menghadapi resiko dan hal-hal yang tidak enak yang bakal menimpa Anda ketika kali pertama tiba di Hongkong, maka hadapilah resiko dan hal-hal yang tidak enak ketika pulang ke Indonesia nanti. Hadapilah resiko itu, minimal kalau saya akan berusaha merubah resiko itu menjadi duit!!”

Seniman Duit, mungkin itu julukan yang lebih patut untuknya. Bagaimanapun, dari gaya bicaranya yang terkadang liar dan mengambil kata-kata jalanan, penampilannya yang unik tak peduli acara resmi ataupun biasa. Dapat kusimpulkan mengapa? Karena ia tak ingin di kenal bahwa ia seorang berkelas ketika dihadapan orang rendahan. Dan, ketika dihadapan pembesar ia ingin menunjukkan bahwa ia percaya diri dengan perbedaan itu. Dan, berbeda itulah sebenarnya sumber yang membawanya menjadi pengusaha sukses hingga saat ini.

Sebagaimana yang disampaikannya walau tak panjang kali lebar namun serasa mantra ampuh, bahwa resep dalam membuka usaha itu adalah: Jadilah yang pertama, kalau belum bisa jadilah yang berbeda, kalau belum juga bisa minimal jadilah yang terbaik. Caranya adalah dengan iqra, bacalah!

Maksud dari Iqra di sini ungkap beliau adalah, tidak hanya membaca tapi membaca alam semesta ini, membaca lingkungan yang tidak tersurat, dan membaca bagaimana kita memilih calon pasangan hidup kita.

Ketika beliau diminta memberi pandangan tentang Hongkong, ia berkata, “Aturan bagi masyarakat Hongkong sudah menjadi watak mereka, sementara di Indonesia aturan di buat untuk di langgar. Budaya melayani juga telah menjadi bagian dari negeri ini. Orang bekerja untuk melayani, sementara coba Anda perhatikan pejabat dan orang-orang besar di Indonesia, mereka ideal harus di layani! Betul tidak?” katannya sambil terkekeh. Yang membuatku berdecak kagum dan tepuk jidad.

Tak dapat kupungkiri, sehari bersama Om Bob ini mampu mendongkrak semangatku yang sedang jungkirbalik kembali survive dan mulai berani membaca diri, serta berkaca, menegakkan dagu, dan kembali tersemangati untuk mengejar harapan, namun berusaha enjoy seperti petuahnya. Melakoni hidup dengan berprasangka baik, anggap saja ketika di saat sedih artinya kita lagi bosan gembira, kalau lagi miskin bilang saja kita lagi bosan kaya. Susah senang, enjoy saja gitu kali menurut jalan pemikirannya....

“Dulu ketika saya masih seusia kalian, banyak sekali keinginan dan cita-cita. Tapi sekarang saya sudah tua, sudah tak memiliki keinginan apa-apa, tapi semuanya datang dengan sendirinya. Padahal saya sudah tak menginginkannya. Inilah yang dinamakan uang mengejar kita, bukan kita mengejar uang.” Ungkapnya sambil tertawa terkekeh-kekeh.

Aku hanya bisa mengangguk-angguk tanda setuju, sambil dalam hati mengumpat “Dasar Seniman Duit.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun