Seandainya Batu Dan Tanah Ini Bisa Ku Makan
Di siang itu, terik matahari begitu menyengat, seolah-olah membakar sisa-sisa tenaga yang tersisa di tubuhku. Perutku keroncongan, memohon untuk diisi, tapi aku tak punya apa-apa. Tidak ada sepeser pun uang di kantong, dan rumah yang kutempati tidak lebih dari sekadar tempat berlindung dari panas. Aku hanya bisa terdiam, menatap meja yang kosong, yang dulu sering menjadi tempatku menaruh sisa-sisa receh. Kini, tidak ada lagi yang tersisa.Â
Dengan perasaan yang campur aduk antara lapar dan putus asa, aku mulai mencari sisa-sisa keberuntungan di rumah kecil ini. Setiap sudut, setiap celah, setiap kantong baju---semuanya kuperiksa dengan teliti. Namun, tidak ada secuil pun yang dapat kutemukan. Rasanya seperti mencari jarum di tumpukan jerami yang tak pernah ada. Harapan mulai sirna, tapi aku tahu aku harus tetap berusaha. Mungkin saja, hanya mungkin, ada secercah keberuntungan yang belum kutemukan.
Aku memutuskan untuk melangkah keluar rumah, dengan kepala yang terus menunduk. Jalanan yang kutapaki penuh dengan kerikil dan tanah kering. Mataku tak henti-hentinya menelusuri setiap jengkal tanah, berharap ada sekeping koin yang terselip di antara debu dan kerikil. Setiap langkah yang kuambil, semakin berat rasanya, seiring dengan semakin menipisnya tenaga yang kupunya. Perut yang kosong semakin mendera, memaksa otakku berpikir tentang apa pun yang mungkin bisa mengisi kekosongan itu.
"Seandainya batu dan tanah ini bisa ku makan," gumamku dalam hati. Pikiran itu begitu absurd, tapi di saat seperti ini, apa pun terasa masuk akal. Batu dan tanah yang berserakan di sekitarku, mereka ada di mana-mana, tapi mereka tidak bisa memberiku apa yang sangat kubutuhkan saat ini---makanan. Betapa menyedihkan, melihat begitu banyak hal di sekelilingmu, tapi tidak satupun yang bisa mengobati rasa lapar yang semakin menjadi.
Aku terus berjalan, meski langkahku semakin pelan dan pandanganku semakin buram. Setiap kali kakiku melangkah, harapanku juga semakin menipis. Aku berharap ada keajaiban, sesuatu yang mungkin bisa menyelamatkanku dari rasa lapar yang mencekik ini. Namun, setelah sekian lama berjalan, kenyataannya tetap sama. Batu dan tanah masih menjadi pemandangan yang mendominasi, dan tidak ada secuil pun yang bisa aku makan.
Akhirnya, aku memutuskan untuk kembali pulang. Dengan kepala yang tetap tertunduk, aku menelusuri kembali jalan yang sama, berharap ada sesuatu yang terlewat. Tapi hasilnya sama saja---tidak ada apa-apa selain batu dan tanah. "Seandainya batu dan tanah ini bisa ku makan," pikirku sekali lagi. Tapi aku tahu, harapan itu hanya angan-angan belaka. Aku hanya bisa bersabar, menahan diri, dan memanjatkan doa, percaya bahwa Tuhan tidak akan meninggalkanku dalam kesulitan ini.
Dan benar saja, Tuhan tidak pernah meninggalkan hambanya. Di tengah rasa putus asa yang hampir menghancurkanku, pintu rumahku terbuka, dan keluargaku datang dengan membawa makanan dan sedikit uang. Aku tak bisa berkata apa-apa, selain bersyukur dengan segenap hati. Tuhan telah mendengar doaku dan menjawabnya dengan cara yang tidak pernah aku duga. Air mata syukur pun mengalir, bukan karena kesedihan, tapi karena bahagia yang tak terlukiskan.
"Aku bersyukur, Tuhan. Engkau selalu ada untukku," bisikku dalam hati.
Sejak hari itu, aku belajar untuk selalu bersyukur, meskipun dalam keadaan yang paling sulit sekalipun. Batu dan tanah tidak lagi kulihat sebagai simbol kesia-siaan, tapi sebagai pelajaran tentang kesabaran dan keyakinan.
Aku tahu, selama aku tetap berserah kepada-Nya, Tuhan tidak akan pernah meninggalkanku, dan di balik setiap kesulitan, selalu ada harapan yang menunggu untuk ditemukan.