Cikarang, sebuah kota kecil di kabupaten Bekasi merupakan wilayah yang sedang berkembang. Ratusan ribu bahkan jutaan pendatang dari banyak daerah bekerja di berbagai sektor, mencoba menggantungkan nasib mereka disini. Diantara beberapa pekerjaan yang banyak dijumpai, nasib guru honorer pun dipertaruhkan disini.
Didik (32), seorang guru honorer di sebuah sekolah swasta di daerah Cikarang adalah guru kontrak yang baru saja bergabung per September lalu. Sebelumnya, Didik adalah seorang guru honorer level operator pada sebuah SD Negri di Sragen, Gemolo, daerah asal beliau. Selepas pendidikannya di SMA, guru bertubuh gemuk dan berpenampilan sederhana dengan cara bicaranya yang sopan ini melanjutkan kuliah di AKPER dan lulus tahun 2003.
Tahun 2007, Didik melanjutkan pendidikan dengan kompetensi yang berbeda, yaitu PGSD (D2) dan melanjutkan (ekstensi) hingga S1 dan lulus tahun 2011. Selama 9 tahun beliau menunggu pengangkatan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang belum pasti. Selama 9 tahun pula, beliau mencoba menjadi PNS setiap ada pendaftaran Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), bahkan pernah mencoba di luar daerah hingga ke Ngawi.
Tidak ada dukungan dari kepala sekolah ataupun teman lingkungan kerja saat beliau bekerja sebagai guru honorer. “Sekolah hanya membutuhkan tenaga saya, tidak ada saya pun sebenarnya sekolah masih berjalan,” ucap Didik lirih. Didik merasa pekerjaan yang ia lakukan tidak sebanding dengan upah yang didapat.
Gaji awal Rp 75.000,- per bulan hanya berakhir sampai Rp 350.000,- per bulan saat ia terakhir menjadi guru di Sragen. Selain mengajar, beliau juga diberi tanggung jawab untuk melaporkan data terbaru sekolah (dapodik) kepada pemerintah tiap bulan dan hanya dibayar upah lembur yang tidak seberapa.
Didik akhirnya menutupi kebutuhan hidup keluarganya dengan memberi pelajaran tambahan (les) kepada 8 orang siswa secara bergantian dengan upah Rp 60.000,- per anak setiap bulan.
Ketika berucap “Bagaimana nanti nasib anak didik saya?”, tampak kesedihan yang mengiringi kekhawatiran Didik. Namun hal ini tetap memberinya semangat, walaupun sebenarnya kadang beliau merasa malas berangkat kerja karena perlakuan rekan kerja PNS yang menyepelekan, upah yang tidak sesuai, atau pekerjaan yang tidak adil dibanding rekan kerja PNS.
“Berkat Tuhan dan bantuan teman-teman, saya bersyukur bisa diterima kerja disini sekarang.” Meskipun saat ini masih berstatus guru kontrak, beliau sudah hidup nyaman di rumah kontrakan sederhana seharga 5 juta per tahun, bersama istri dan anak perempuannya. Pendapatan yang diperolehnya saat ini pun mengikuti UMR kabupaten Bekasi.
Guru, sebuah profesi yang mulia. Menjadi awal kemajuan masyarakat, negara, bahkan peradaban. Seorang yang membagikan ilmunya untuk mencerdaskan orang lain. Namun karena keadaan dan lapangan kerja yang sedikit, tingkat persaingan kerja yang tinggi, atau sebuah sistem yang memposisikannya ‘cukup’ sebagai guru honorer saja, ia tidak bisa diangkat menjadi seorang guru tetap. Guru honorer adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang nyata.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI