Mohon tunggu...
Frank Lampard
Frank Lampard Mohon Tunggu... -

REPORTER KORAN HARIAN LOKAL,\r\ndan FANS FANATIK CHELSEA\r\nsuka menulis dan membaca tulisan di KOMPASIANA\r\n\r\nsalam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Memori Tentang Ibu

23 Juni 2012   19:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:37 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Aku mempunyai banyak ingatan di benakku. Ingatan tentang masa kecilku, ingatan tentang ibu semuanya tersusun rapi dalam labirin otakku. Tak pernah terpikirkan olehku untuk mengenyahkan ingatan itu sekali pun beberapa diantaranya terpahat bersamaan dengan luka dan duka.

Hari ini aku membuka laci memori tentang ibu. Begitu tipis kisah tentangnya dalam memori ingatanku. Sebegitu tipisnya hingga aku merobohkan tanggul air mataku setiap kali aku mengingatnya. Hatiku terasa teriris sembilu. Sebegitu pedihkah hatiku jika mengingat peristiwa itu, apa sebenarnya yang tersirat dalam benakku tentang ibu?

Hanya sedikit yang dapat kuceritakan mengenai ibu. Ibu adalah sosok wanita yang tangguh yang pernah aku temui. Saat aku lahir ke dunia. Suara mengea dengan keras menangis berhiba-hiba karena lahir tanpa seorang ayah - ayahku telah enyah dalam kehidupan sejak ibu melahirkanku. Aku tak pernah tahu dia pergi kemana. Meninggalkan buah hati yang tidak pernah diketahuinya. Tak pernah sekelebat wajah seperti sosok ayah yang pernah aku temui, walau pun aku sangat mendambakan itu. Sempat tersirat dalam benakku, Tuhan tidak adil terhadapku. Mengapa aku tidak mempunyai ayah seperti layaknya anak-anak seusiaku.

Saat aku berusia duabelas tahun, saat itu pula aku tak berharap lagi memiliki seorang ayah yang pernah kuidamkan sebelumnya. Kubiarkan sosok ayah hanya terpahat dalam hatiku, namun yang pasti aku tak pernah mengharapkan ia kembali lagi. Biarkan sang waktu yang akan menghapus bayang-bayang ayah dalam diriku. Akh, sudahlah!

Mungkin ini juga sudah kehendak yang maha kuasa sehingga kehidupan keluargaku laksana kapal terbelah, hidup di bawah garis kesengsaraan. Karena itulah ibuku berlayar dalam samudra kepedihan menanggung beban yang cukup berat untuk dapat merawat, membesarkanku, serta memberikan pendidikan. Sungguh berat beban di pundak ibuku. Di usiaku yang tujuhbelas tahun, ibuku memutuskan pergi berlayar tanpa nahkoda untuk dapat menyambung hidup, dan aku dititipkan kepada nenek yang akan kujadikan sebagai pengganti sosok ibu.

Ibuku bekerja di sebuah garment pakaian. Setiap hari, mulai matahari menampakkan diri sampai fajar menyingsing, ibuku terus bekerja. Tak kenal lelah untuk dapat mengumpulkan uang agar aku dapat sekolah. Dalam lamunanku aku membayangkan wajah ibuku yang sendu dengan hatiku yang berdarah-darah kegalauan yang cukup membebaniku. Setiap kali aku membuka laci memori itu, aku merasa iba dan bangga terhadap ibuku. Padahal hanya sebuah laci memori usang, laci yang menyimpan seribu pertanyaan.

Tanggul air mataku tak tertahan

Saat aku membuka laci memori ibu

Kuteteskan air mata di atas meja kerinduan

Ibu…

Mengapa ingatan ini menyerpihkan air mata

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun