Di sebuah pondok bambu di Poco Leok, Pak Matias sedang duduk bersila dengan secangkir kopi di tangan. Di sebelahnya, Bu Rita, Ketua Kelompok Tani, sibuk memintal benang sambil sesekali mengintip ke arah Pak Matias yang sedang berbicara serius dengan Pak Wahyu, petugas dari PLN.
"Pak Wahyu, saya dengar katanya mau ada tambang panas bumi di sini. Jangan-jangan nanti rumah kami jadi sauna permanen, ya?" Pak Matias menyindir sambil terkekeh, membuat yang lain tertawa.
Pak Wahyu ikut tersenyum. "Bapak, tenang. PLTP itu bukan bikin rumah Bapak panas, malah bikin listrik kita stabil. Kalau sekarang lampu mati pas Ibu Rita lagi nonton sinetron, kan repot juga."
Bu Rita langsung menimpali. "Iya, tapi listrik stabil buat apa kalau sawah kami malah tenggelam sama lumpur panas kayak di Mataloko?"
Pak Wahyu mengangkat tangannya. "Itu sebabnya kami di sini, Bu Rita. Untuk memastikan semuanya aman. Sumur pengeboran kami sudah pakai teknologi canggih. Lumpur panas? Tidak akan menyentuh sawah ibu."
Pak Matias mengangguk skeptis. "Lalu bagaimana dengan air bersih? Kalau mata air kami hilang, kami mandi pakai apa? Uap dari tambang?"
Kali ini, Pak Wahyu mengambil nafas panjang. "Pak Matias, kami sudah survei. Mata air di sini tidak akan terganggu karena sumur produksi dan sumur reinjeksi kami dikelola dengan baik. Air bersih Bapak tetap mengalir."
Tiba-tiba, Danu, anak Pak Matias yang baru pulang sekolah, menyela. "Pak Wahyu, kalau tambang jadi, saya bisa main game online tanpa mati lampu, kan?"
Pak Wahyu tertawa. "Betul, Danu. Dan bukan cuma itu, nanti di sekitar sini bisa ada sekolah baru, jalan lebih bagus, dan bahkan tempat wisata. Bayangkan Poco Leok jadi destinasi baru, seperti Bromo atau Ubud."
Bu Rita menoleh ke arah Pak Matias. "Pak Matias, kalau benar Poco Leok jadi tempat wisata, bisa juga kita jual hasil tani ke pengunjung. Bayangkan, jagung dan ubi kita jadi terkenal sampai luar negeri."