Aku berjalan menyusuri trotoar, sendirian. Tanpa teman, tanpa ibu. Ibu, dimana dirimu? Biasanya aku selalu berjalan di samping ibu sambil menggenggam tangan kirinya. Kali ini, ibu tidak datang menjemputku di sekolah, entah mengapa. Biarlah, aku bisa pulang sendiri. Makin hari, makin bertambah pula penyakit lupa ibu. Bahkan namaku sering salah diucapkannya. Aku tahu ibu banyak pikiran, terlalu banyak menanggung kesalahan orang lain. Beberapa di antaranya orang bodoh dan lainnya orang yang tak bertanggung jawab dengan pekerjaannya. Dalam perjalanan ini, aku merindukan ibu. Sangat penuh, utuh. Perjalanan ini terasa panjang dan melelahkan. Tiba-tiba aku merasakan perubahan yang aneh. Baju seragamku berubah seperti seragam untuk prajurit khusus. Sepatuku terasa berat dengan tali yang berat pula. Celana pendek yang kukenakan menjadi celana panjang, coklat dan agak ketat. Lama aku terpaku, memperhatikan diri berulangkali.
"Ini bukan diriku, tolong… tolong!" teriakku sangat keras
Tak ada yang mempedulikan teriakanku. Aku tak menyerah untuk berteriak lagi, berteriak terus. Nihil. Mustahil. Jalanan dipadati pejalan kaki, pengendara motor, juga mobil-mobil mengkilap beraneka warna. Tak ada yang peduli. Benar-benar tak ada. Aku membisu. Selintas tak ada yang aneh dengan orang-orang di sekitar. Mata, mulut, telinga ada, tetapi kelakuan mereka sangat aneh. Tampak sangat tergesa-gesa. Aku belum mengerti dengan keadaan ini, sepintas aku teringat perkataan ibu, ‘Setiap orang tergesa-gesa untuk meraih uang dalam siang yang akan cepat berlalu.’ Barangkali ucapan ibu benar, sedapat mungkin orang akan meraih uang dan melakukan hal-hal yang berkenaan dengan uang untuk hidup, bukan hanya saat siang saja bahkan saat malam sekalipun. Ah…uang adalah benda yang menjengkelkan, kotor dan hina tetapi meskipun begitu tetap dimiliki banyak orang tentunya. Betapa karena uang, beberapa teman ibu tertahan, terperangkap dalam ruang pengap. Ibu, bila tadi aku tak pergi ke sekolah, tentu aku masih dapat melihatmu. Mataku perih. Aku tak kuat menahan airnya. Segera aku berlari. Melarikan diri sekencang-kencangnya untuk segera bertemu ibu. Tak terduga, kakiku terbentur sesuatu. Jatuh. Tak sadar.
* * *
Ibu berdiri di depan pintu menyaksikan kepergianku. Aku menoleh kepadanya beberapa kali, tetapi ibu lekas membalikkan badannya dan melangkah maju, menutup pintu kayu.
"Aku tak mau sekolah," rengekku.
"Sekolah akan mengubahmu menjadi seorang lelaki dewasa dan memikul tanggung jawab," ucapmu.
"Aku tak mau menjadi dewasa, terlebih memikul tanggung jawab apapun," balasku lemah.
"Ibu ingin kau menjadi seperti ayah atau kakekmu. Sekolahlah!" Katamu tegas.
Aku tersadar. Bayang ibu dan percakapan itu seperti pernah terjadi dan kualami sendiri. Seperti baru saja terjadi atau sudah lamakah, aku lupa. Tubuhku masih terbaring. Saat menatap langit, hanya terlihat ruang kosong.
Kakiku masih terasa sakit, tetapi mencoba bangkit di tempat yang sangat asing ini. Rasanya pelarianku tadi belum terlalu jauh, tetapi telah sampai di suatu tempat asing, walaupun begitu indah.