Untuk seperti ini, kita tak bisa selesaikan secara adat lokal. Sama seperti di Aceh. Tidak bisa diselesaikan dengan adat lokal. Yang harus dihadirkan adalah perdamaian dan keadilan. Ambil contoh soal konflik di Kalimantan antara Dayak dan Madura. Maka, yang diselesaikan adalah psikologinya, ekonominya dan itu yang membawa keadilan.Â
Ada juga konflik yang lebih kecil seperti  di Lampung, di Sumbawa, di Sigi. Apa sebabnya? Karena banyak orang di sana ekonominya rendah. Banyak anak-anak muda menganggur, ngobrol sampai malam, ketika perbedaan-perbedaan yang ada, mereka cari-cari perkara. Seperti juga di Jakarta ini. Di sini kumuh, tak ada tempat bermain. Yang ada hanya lorong-lorong yang panas dan macam-macamnya.Â
Akhirnya, karena sedikit selisih, berkelahilah mereka. Makna keadilan Sekarang ini, konflik itu lebih cepat lagi terjadinya. Konflik di lampung kemarin. Hanya karena SMS yangbelum tentu kebenarannya, di forward ke mana-mana. Ini juga yang terjadi di Sumbawa. Jadi teknologi jga mempengaruhi. Maka dari itu cara mendamaikannya juga pakai teknologi.Â
Harus ada juga yang menngkal bahwa informasi itu tak benar. Tidak bisa kita rapat adat dulu. Maka dari itu, saya dapat melihat bahwa penyebab terbesar konflik itu adalah ketidakadilan baik itu politk atau sosial dan semacamnya. Apa itu keadilan? Begini, masyarakat Jakarta pernah marah karena Manggarai banjir. Lalu masyarakat minta pitu air dibuka.Â
Setelah dibuka, Menteng banjr, Istana juga banjir. Setelah itu rakyat senang. Karena itu terjadi keadilan, maknanya kalau senang kita sama-sama senang, kalau susah kita sama-sama susah. Sehingga tidak apa-apa. Tetap banjir, tapi senang karena semua daerah banjir. Tegakkan hukum! Tapi konflik juga karena ketidak-tegasan pemerintah.Â
Konflik di Priok misalnya. Setelah terjadi di Priok. Karena dibiarkan puluhan ribu orang bentrok, tiga Satpol PP meninggal, puluhan mobil dibakar tapi tak ada yang ditangkap. Timbullah pikiran, kalau kita bunuh orang rame-rame kita bebas hukum. Itu keliru! Tangkap semua orang itu! Kalau hukum ditegakkan, baru orang akan berpikir untuk bikin konflik.Â
Jadi itulah sebenarnya yang terjadi. Karena beruntun terjadinya dan tidak ada tindakan yang tegas. Karena itu, juga harus ada tindakan yang keras. Tapi kadang ada orang bilang, itu melanggar HAM? Saya bilang, orang itu lupa HAM itu apa. Peraturan HAM di UUD pasal 28 ada sepuluh. Ada 9 macam HAM yang dicatat.Â
Tapi yang ke sepuluh, ditegaskan kalau orang harus taat pada hukum dan aturan yang berlaku. Jadi kalau ada orang yang membakar kantor bupati, polisi bertindak dianggap melanggar HAM, itu keliru. Orang yang rame-rame membakar kantor bupati itu yang melanggar HAM. Dan bila polisi tak bertindak, mereka juga melanggar HAM.Â
Jadi, kalau kita mendamaikan negeri ini, kita harus ciptakan keadilan. Harmoni harus terus diciptakan. Harmoni antara pemerintah dan rakyatnya, antara agama ini dan itu, antara adat ini dan itu. Tapi ketika ada konflik, haruslah kita selesaikan apa sebabnya.Â
Kalau sebabnya karena ekonomi maka hadirkan keadilan ekonomi, kalau politik maka hadirkan keseimbangan politik, dan kalau kriminal maka hukumnya harus keras. Kalau karena adat, maka selesaikan secara adat. Kalau soal agama, perbaiki pemahaman agamanya.Â
(Disampaikan dalam Konferensi Nasional Kearifan Lokal, Jakarta 29 Agustus 2013)