Sampai pada suatu malam, ketika kau bermaksud meminjam uang pada salah seorang kawan, kawanmu itu justru memperkenalkan dengan pekerjaan yang menyenangkan.
"Kau benar tak punya uang, Rijal?" tanya kawanmu.
"Sekadar untuk makan dan rokok satu batang pun aku tak bisa membelinya sekarang. Maklum, tanggal tua."
"Kalau begitu ikutlah aku!"
"Kemana?"
"Bawa gitarmu."
Itulah awal mula kau mengenal sebuah pekerjaan yang tak kau duga sebelumnya akan kau lakukan. Mengamen. Dari satu tenda ke tenta makan yang berbaris di trotoar yang buka hanya saat malam, mengucap beberapa patah kata pembuka, memainkan gitar sembari bernyanyi sesuka hati, dan kemudian menyodorkan gelas bekas minuman mineral; koin demi koin kau kumpulkan. Waktu pertama kali kau masuk ke salah sebuah warung dan bernyanyi, suaramu terdengar sumbang, keringat dingin membasahi bajumu. Tetapi pada warung kedua kau mulai merasakan sedikit nyaman, bisa mengontrol nada suara dan tak lagi mengeluarkan keringat, pada warung ketiga dan seterusnya kau begitu menikmati pekerjaan itu.
"Hitunglah, Rijal. Lebih dari cukup untuk sekadar makan malam," ujar kawanmu, setelah lima belas warung kau masuki. Kau mengeluarkan semua koin dan beberapa uang kertas di gelas bekas minuman mineral itu dan mulai menghitungnya.
"Wah, kita bisa makan lele malam ini."
"Mungkin lain kali kita bisa makan bersama," balas kawanmu.
"Uang ini?"