Cerpen Jusuf AN Cerpen ini pernah dimuat di Jurnal Cerpen Indonesia edisi X tahun 2009. Karena cerpen tersebut terlalu panjang (22 halaman 1,5 spasi) maka akan dipisah menjadi beberapa bagian. Semoga manfaat!
NASIB? Sama sepertiku, kau juga tak percaya kalau nasib seseorang sudah lama diguratkan. Anggapan itu kau simpulkan pada suatu siang saat kau duduk di atas kloset. Nasib, menurutmu: jalinan sebab demi sebab, kejadian demi kejadian, dan buah-buah akibat dari pohonan keputusan. Dan kau menganggap dua orang tuamu telah banyak turut campur menentukan nasibmu, memilihkan jalan-jalan hidup yang harus kau lintasi sesuai dengan apa yang dikehendaki mereka bedua. Perlahan tumbuhlah keinginan yang dari hari ke hari bertambah subur dan kuat. Keinginan untuk melepas tali-tali bersimpul mati yang mengikat kaki dan tanganmu. Kau berpikir, masa depanmu adalah milikmu sendiri, bukan milik Tuhan, apalagi dua orang tuamu. Bagimu, manusia diciptakan untuk merdeka, siapa pun tak seorang pun berhak mengaturnya. Kalaupun ada norma, undang-undang, atau kitab suci, menurutmu itu semua hanyalah rambu-rambu yang berfungsi agar keteraturan sosial dapat terwujud.
Kau merasa sudah saatnya meretas jalan kebebasan! Meski sebenarnya kau sadar, bahwa kebebasan seseorang akan selalu dibatasi kewajiban untuk mematuhi norma-norma dan atusan negara. Dengan keterpaksaan yang berat, setelah kau menyadari bahwa akal manusia yang semestinya digunakan untuk membaca baik-buruk sering dapat dikalahkan oleh hal-hal yang remeh, kau dapat memaklumi hal itu. Tetapi kau tetap tak dapat memaklumi jika kebebasan seorang anak yang telah dewasa sepertimu dibatasi oleh keinginan seseorang yang disebut Bapak, Abah, Ayah, Ibu, Umi, Emak, atau sebutan lain yang serupa itu. Seharunya orang tua kasihan terhadap anaknya karena mereka telah membuat seorang anak lahir ke dunia yang dipenuh kesedihan, begitu menurutmu. Tapi itu semua hanya sekadar percikan pikiran yang berkelebat-kelebat setiap kau duduk di atas kloset sembari buang air besar. Kau belum berani sepenuhnya melawan arus besar yang membuncah berupa aturan dan harapan-harapan dua orang tuamu. Kau masih seperti kebanyakan manusia, merasa berhutang jasa karena dua orang tuamu telah bersusah-payah membesarkanmu dari bayi hingga dewasa dengan mengeluarkan banyak biaya dan tenaga. "Uang? Itukah yang dijadikan dasar bagi para orang tua untuk mengatur kehidupan anaknya?" Kau merasa menemukan jawaban atas pertanyaan itu setelah beberapa hari ke depan, setelah puluhan kali kau duduk di atas kloset dan berbatang-batang rokok kau habiskan di sana. Pada mulanya, jauh sebelum kau menggemari duduk berlama-lama di atas kloset dan kemudian gairah kebebasanmu meledak, dengan segenap uang yang kau terima dari ibumu, kau menyewa sebuah kamar berlantai keramik yang kemudian kau isi dengan selembar busa, lemari plastik, meja duduk, rak buku, dan menempeli temboknya dengan sebuah poster bergambar seorang revolusioner dari Cuba yang menjepit rokok dibibirnya. Kamar itu terletak lima puluhan meter dari sebuah pesantren yang kebanyakan santrinya adalah mahasiswa. Saban subuh kau akan keluar dari kamar, melintasi dua buah rumah dan memasuki pintu gerbang besi bercat hijau tua dan selanjutnya kau akan melihat bangunan bertingkat dua yang masing-masing terdiri dari lima kamar dan tak jauh dari bangunan itu terdapat sebuah masjid yang cukup menampung dua ratusan jamaah shalat Jumat. Di masjid itulah setiap selepas subuh kau mengaji. Setiap subuh, uh! Kecuali subuh di hari Jumat. Kala adzan subuh menggelegar aku akan meninggalkanmu yang masih dalam keadaan tidur, dan begitu aku kembali lagi ke kamarmu sudah kulihat kau terbangun. Lalu kau akan keluar mengambil wudhu, dan kembali masuk kamar untuk melakukan shalat sunnah dua rakaat di kamar. Semua itu membuatku tak berdaya. Dengan membawa sebuah kitab kau kempit di ketiak kakimu seolah terasa ringan kau kayuh menuju ke masjid. Aku selalu berjalan di belakangmu dan tak letih-letihnya berteriak agar kau membalikkan badan untuk kembali ke kamar. Tetapi kau terus berlajan, tak mempedulikan rayuanku. Berbeda dengan pesantren yang dulu kau tempati selama tiga bulan itu, kau lebih kerasan mengaji di pesantren barumu ini. Sebagian besar dari mereka yang mengaji tinggal menetap di gedung di sebelah masjid, dan puluhan santri lain berstatus sebagai santri kalong seperti dirimu-santri yang tidur di luar asrama. Kau senang bergaul bersama mereka yang juga mengemari buku-buku yang bermutu. Tetapi berbeda dengan mereka, kau mengaji di situ bukan karena keinginanmu sendiri, melainkan karena tuntutan orang tuamu. Setelah shalat subuh, kau dan puluhan jamaah yang jumlahnya kurang lebih seratus orang laki-laki itu akan duduk bergerombol mengitari ruangan masjid. Kemudian seseorang yang menjadi imam shalat akan membalikkan badannya membelakangi kiblat, mulai membuka kitab berhuruf Arab, menerjemahkannya kata demi kata, dan menerangkannya dengan bahasa Indonesia. Minhajut Thalibin, Tuhfah, Fathul Qarib, Durarun Nashihin, dan kitab-kitab klasik lain kau beli, kau buka dan pelototi, lalu kau tutup begitu saja setibanya di kamar. Jika disuruh menerjemahkan kitab-kitab itu kau yakin akan kewalahan (meski lama kelamaan kau cukup bisa), tetapi kau akan menjawab dengan lancar jika ditanya mengenai isinya. Sebab sepulang mengaji kau selalu mencatat kembali penuturan yang disampaikan guru ngajimu dalam sebuah buku tulis. Catatan itulah yang akan kau pelajari sebelum pulang ke Tuban setiap dua bulan sekali, sebab ayahmu akan menanyakan kitab apa yang sudah kau pelajari dan kemudian menyuruhmu menerangkan isi yang terkandung dari kitab tersebut. Begitulah cara ayahmu menguji keseriusanmu mengaji dan akan menyuruhmu pulang ke Tuban untuk selamanya jika kau tidak bisa memenuhi keinginannya. Selama setahun lebih tak ada kesusahan yang kau alami, bahkan kadang-kadang ayah dan ibumu merasa kagum dengan pengetahuan dan gaya bicaramu. Di luar rutinitasmu yang paling aku benci itu, kau masih sering mengeluarkan humor-homor porno, mulai berani meninggalkan jadwal-jadwal kuliah, menghujat beberapa dosen yang memberimu nilai buruk dan yang melarangmu memakai sandal jepit atau kaus oblong. Pula, kau sering ikut demontrasi, nonton perjunjukan teater dan musik, pergi ke pasar dan swalayan, mengunjungi perpustakaan dan pameran buku, dan duduk berlama-lama di kedai kopi. Sering pula kulihat kau gelisah dengan cara belajarmu, terutama caramu membaca buku. Kau sering merasa dirimu begitu dungu, memiliki daya ingat yang lemah dan mudah berpikir pendek. Buku-buku tebal berisi percikan teori-teori sosial, agama, dan politik seringkali kau rampungkan dalam beberapa jam saja, lalu pudar dari ingatanmu oleh buku-buku yang kau santap kemudian. Kau banyak berceloteh dalam forum-forum diskusi termasuk yang berlangsung di kedai-kedai kopi, meski kau sendiri sering tak paham dengan makna kata-kata yang kau ucapkan. Kau tunjukkan puisi-puisimu kepada para seniormu di sanggar teater dan kau diguyur hujan kritikan; mereka mengatai puisi-puisimu cengeng dan mentah; membuatmu marah. Tetapi kau tidak menyerah. Kau berusaha belajar dengan lebih baik lagi, membaca buku dengan teliti dan teratur lagi, membuat puisi yang lebih padat dan berisi; tetapi aku selalu berusaha dan berhasil menghalang-halangi niatmu itu, hingga kau kian kacau mengatur banyak keinginan yang bergemuruh di dadamu. bersambung.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H