Iman kepada Allah itu artinya percaya dengan yakin, bahwa Tuhan Allah itu Ada, Kuasa, Tidak menyerupai sesuatu, Sedia (adanya tidak didahului sesuatu), Kekal, Berdiri sendiri, Esa (Satu), Berpengetahuan, Berkemauan, dan seterusnya sifat-sifat kesempurnaan.
Ringkasnya, Tuhan Allah itu bersifat dengan segala sifat kesempurnaan dan tidak bersifat dengan segala sifat kekurangan.
Semua sifat-sifat itu tersebut dalam Al-Quran dan sesuai atau diterima oleh akal kita, dengan dalil-dalilnya atau keterangan-keterangannya.
1. Tuhan Allah Ada
Di dalam Al-Quran disebutkan sebagai berikut:
“Dan tak ada Tuhan selain Allah”. (Ali-Imran 62)
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan melainkan Dia”. (Al-Baqarah 163)
Sebenarnya menurut akal yang sehat dan biasa, tidak terlalu sukar untuk menerima atau membuktikan bahwa Tuhan Allah itu Ada.
Hanya saja kalau otak itu diputar-putar atau sengaja dipersulit, maka terpaksa menghajatkan bukti atau dalil atau keterangan yang harus dapat mengatasi perputaran lidah atau mentaliteit otak tersebut. Maka dari itu tidak aneh, apabila otak yang melalui jalan sukar itu sering menjadi sesat, atau kebingungan dengan sendirinya.
Segala barang yang ada di ala mini, seperti bumi, matahari, bulan, bintang, manusia, tumbuh-tumbuhan dan lain sebagainya itu dapat berubah-ubah dari tidak ada menjadi ada, atau dari ada menjadi tidak ada.
Juga semua itu berubah-ubah daru seuatu keadaan menjadi keadaan yang lain sifatnya. Umpanya dari kecil menjadi besar, dari pendek menjadi panjang, dari bulat menjadi pecah, dari panas menjadi dingin, dari kayu menjadi kursi, dari batu menjadi rumah, dari besi menjadi mesin, dan seterusnya.
Segala sesuatu tersebut di atas itu disebut hawadits atau mumkinat. Dengan mudah kita dapat memahami, bahwa dalam segala perubahan itu tentu “ada sebab” atau ada yang mengubah. Berarti ada yang mengadakan dan yang menjadikan.
Tuhan Allah itulah yang menjadikan alam sekalian ini, dan yang menjadikan pula tabi’at atau khasiat tiap-tiap yang ada di alam ini. Apabila dikatakan semua itu terjadi dengan sendirinya, tentu akal kita tidak dapat menerima, yakni mustahil namanya. Dan adanya Tuhan Allah yang menjadikan itu, pasti, atau wajib pada akal namanya.
2.Tuhan Allah Maha Kuasa dan Maha Mengetahui
Tuhan Allah itu Kuasa, dan Paling Kuasa, bahkan Maha Kuasa. Tuhan Allah itupun Mengetahui, bahkan Maha Mengetahui. Kekuasaan itu disebut Qudrat: yang berkuasa dikatakan Qaadir (Qaadiran) Qadiir. Pengetahuan dalam bahasa Arabnya Ilmun: yang berpengetahuan disebut ‘Aalim (‘Aaliman).
Di dalam Al-Quran disebutkan:
“Sesungguhnya Allah itu Amat Berkuasa atas segala seusatu”. (Al-Baqarah 20)
“Dan Dia-lah Yang Maha Kuasa atas hamba-hamba-Nya”. (Al-An’am 61)
‘Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”. (Al-Baqarah 29)
Mengingat dan memperhatikan segala apa yang dijadikan oleh Allah, niscaya seketika kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa Tuhan Allah itu Maha Kuasa dan Maha Mengetahui (Berpengetahuan Tinggi).
Apabila kita memperhatikan diri kita sendiri, makanan masuk ke dalam tubuh, kemudian terbagi ke tempat masing-masing di dalam tubuh, sedang tubuh itu berkembang dengan bermacam-macam bentuk dan coraknya; menjadi daging, menjadi rambut, menjadi kuku, menjadi tulang, menjadi zat cair dan seterusnya. Dari semuanya itu kita akan lebih yakin dengan kekuasaan Tuhan Allah.
Apabila kita perhatikan peredaran bumi dengan bulan, dan bumi dengan matahari, dan peredaran beberapa planet yang lain yang teratur rapi, maka kitapun akan mengakui kekuasaan Allah. Belum lagi kalau kita memperhatikan bintang yang jauh lebih besar dari bumi, dan berjuta-juta planet pula, juga teratur di cakrawala, maka tidak boleh tidak kita mengakui bahwa yang mengatur semuanya itu betul-betul Maha Kuasa dan Maha Mengetahui.
3.Tuhan Allah berkemauan (Iradah dan Muridan)
Berarti bahwa Tuhan Allah menjadikan segala sesuatu, dengan kemauan, dengan sengaja. Jadi tidak hanya kebetulan saja. Kemauan atau kehendak itu disebut Iradah. Yang berkehendak disebut Muridun (Muridan).
Dalam Al-Quran disebutkan sebagai berikut:
“Sesungguhnya apabila Dia menghendaki sesuatu perintah-Nya hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka jadilah ia”. (Yasin 82)
Hal itu menurut akal tentu mudah diterima. Apabila kita memperhatikan pula kejadian alam, dengan peraturan-peraturannya yang rapi, tentu kita yakin, bahwa semuanya itu diatur dengan kemauan, dan mustahil hanya dengan kebetulan saja.
Peraturan peredaran bumi, bulan dan segala planet yang lain, menunjukkan adanya peraturan yang sengaja dibuat untuk itu. Memperhatikan tumbuh-tumbuhan; masing-masing jenis mempunyai peraturan pertumbuhan sendiri-sendiri, dan menghasilkan buahnya sendiri, pada waktu yang tertentu. Jagung umpamanya; tumbuh dengan syarat-syaratnya sendiri, dalam waktu yang tertentu, dan menghasilkan jagung pula yang mempunyai hasil yang tertentu pula.
Demikian pula tiap-tiap jenis mempunyai peraturan sendiri. Semua itu tentu tidak dapat kita katakana, hanya terjadi dengan kebetulan.
4.Kekuasaan dan Kehendak Allah (Qadrat – Iradat Ilahi)
Karena Tuhan Allah itu Maha Kuasa, maka tentu segala yang dikehendaki itu pasti terjadi, tidak ada sesuatu yang dapat memaksanya. Jika sekiranya ada Tuhan yang terpaksa, atau menerima perintah dari orang lain, maka tidak dapat dipercaya, bahwa dia itu Tuhan Allah yang sebenarnya, Yang Maha Kuasa.
Maka dari itu segala sesuatu yang terjadi, tentu tidak lepas dari Qudrat dan Iradat Ilahi, artinya tidak lepas dari kekuasaan dan kehendak Tuhan Allah.
5.Tuhan Allah tak berbandingan (Mukhalafatun Li-l-Hawadits)
Tuhan Allah itu bersifat berlainan daripada semua makhluk, berlainan daripada hawadits; yang bersifat Mukhalafatun lil hawadits disebut Mukhalifun lil hawadits. Dalam AL-Quran disebutkan:
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia”. (As-Syura 11)
“Dan tidak ada siapapun yang sama dengan Dia”. (Al-Ikhlas 4)
Jika kita mengambil contoh barang-barang yang dibuat oleh manusia atau binatang, dapatlah kita ketahui, bahwa yang membentuk itu tentu tidak sama dengan apa yang dibuat. Di antara benda yang dibuat tukang besi, kayu, emas, dan sebagainya tidak ada yang sama dengan yang membuatnya. Mengingat hal itu dan mengingat, bahwa Tuhan Allah itulah yang menjadikan segala makhluk dari tidak ada menjadi ada, maka tentu saja mustahil, apabila Tuhan itu sama dengan apa yang diadakan.
Andaikata ada zat yang serupa dengan makhluk, maka makhluk juga namanya, dan bersifat baru (hawadits). Maka segala sifat-sifat Tuhan itupun tidak akan bersamaan dengan sifat-sifat makhluk, meskipun nama sifat-sifat itu mungkin bersamaan.
Jadi adanya Tuhan Allah itu tidak dapat disamakan dengan, disesuaikan, atau dibandingkan dengan sesuatu makhluk. Kita tidak dapat menggambarkan, betapa wujud Allah, atau mengira-ngirakan bagaimana, dan mengira-ngirakan tempatnya.
Orang dapat percaya adanya sesuatu yang tak tampak, tak dapat diraba dan tak dapat didengar, sebagaimana kepercayaan manusia tentang adanya nyawa (roh), meskipun tidak mengetahui apa sebenarnya nyawa itu, dan bagaimana keadaannya.
Memang tidak semua yang ada itu harus tampak , dapat didengar atau diraba. Kita dapat memikirkan segala sesuatu yang dibuat oleh Allah di alam dunia ini. Semuanya itu menyatakan, bahwa Tuhan Allah yang mengadaka, dan tentunya sifat Allah itu tidak seperti yang dibuat ini.
6.Tuhan Allah berdiri sendiri (Qiyamuhu Binafsihi)
Artinya, Tuhan Allah sebagai Tuhan itu tidak karena diangkat atau dipilih atau dipaksa oleh siapapun. Dalam Al-Quran disebutkan:
“Tidak ada Tuhan melainkan Dia yang Hidup, yang Berdiri Sendiri”. (Al-Baqarah 255)
Kalau sekiranya Tuhan itu masih dipaksa, atau terpaksa atau ada yang memerintah-Nya, atau masih menghajatkan sesuatu, maka tidak kuasalah namanya, dan tidak sempurna pula namanya. Padahal Tuhan Allah itu Paling Berkuasa, tidak ada sesuatu yang lebih berkuasa daripada-Nya, yakni Maha Kuasa dan Maha Sempurna.
Maka dari itu Tuhan Allah tidak berhajat kepada sesuatu, bahkan segala sesuatu itu, adanya bergantung kepada kekuasaan dan kehendak Tuhan Allah. Sifat itu disebut berdiri sendiri (berdiri pribadi) atau Qiyamuhu Binafsihi.
7.Tuhan Allah Maha Dahulu dan Kekal (Qidam dan Baqa’)
Artinya Tuhan Allah itu adanya lebih dahulu dari segala sesuatu, dan kekal, tiada berubah-ubah. Dalam Al-Quran disebutkan sebagai berikut:
“Ialah (Tuhan) Yang Awal (tidak berpermulaan) dan Yang Akhir (tidak berkesudahan)”. (Al-Hadid 3)
“Tiap-tiap sesuatu akan binasa, kecuali Dzat Allah”. (Al-Qashash 88)
Yang membuat atau mengadakan segala sesuatu itu tentu saja adanya lebih dahulu dari pada yang dibuat, yakni Tuhan Allah yang mengadakan sekalian makhluk ini, tentu saja adanya terlebih dahulu dari sekalian makhluk. Maka Tuhan Allah itu adanya lebih dahulu dari adanya segala sesuatu yang ada, bahkan Maha Dahulu, yakni tidak berpermulaan.
Kalau masih ada permulaannya, tentu ada yang memulaikannya, atau yang menjadikannya. Padahal Tuhanlah yang menjadikan segala sesuatu, bukan yang dijadikan. Yang masih dijadikan itu, masih makhluk namanya, bukan Tuhan yang sebenarnya lagi.
Tuhan Allah kekal, artinya tidak akan binasa atau berkesudahan. Kalau sekiranya masih dapat binasa, tentu ada yang membinasakan. Kalau masih ada yang dapat membinasakannya, bukanlah ia Tuhan yang sebenarnya, dan tidak berkuasa namanya, karena ia tidak kuasa menolak kebinasaan itu.
Kalau yang dijadikan Allah itu hawadits, artinya barang yang baru dan senantiasa berubah, maka mudahlah kita mengerti, bahwa Tuhan Allah yang menjadikan semua itu, berlainan sifatnya dari pada hawadits. Maka tetaplah Tuhan Allah itu Maha Dahulu, tidak berpermulaan, dan Maha Kekal, tidak berkesudahan.
8.Tuhan Allah Maha Esa
Berarti Allah itu satu, atau disebut tunggal. Sifat ke-Esaan Tuhan Allah itu disebut wahdaniyah. Yang bersifat satu atau ahad atau wahid. Dalam Al-Quran disebutkan:
“Katakanlah: Dialah Allah yang Maha Esa”. (Al-Ikhlas 1)
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa”. (Al-Baqarah 163)
Dengan memperhatikan keadaan alam dan perjalanannya, maka kita akan berpikir bahwa Tuhan Allah itu hanya satu. Andai kata Tuhan Allah itu ada dua atau lebih, dapatkah yang satu membinasakan yang lain? Kalau sekiranya dapat, maka yang binasa itu bukanlah Tuhan yang sebenarnya. Tuhan Allah Maha Kekal, mustahil akan binasa. Kalau yang satu tidak dapat membinasakan yang lain, maka kedua-duanya atau semuanya tidak kuasa atau bukan Tuhan. Tuhan Allah Maha Kuasa.
Kalau sekiranya beberapa Tuhan itu mengatur dan mengadakan alam ini dengan bermufakat, maka berarti yang satu masih membutuhkan yang lain, atau membutuhkan dzat yang mendamaikan. Jika demikian, berarti tidak berkuasa yang sebenarnya. Tuhan Allah adalah yang amat berkuasa, paling kuasa, bahkan Maha Kuasa. Tidak ada sesuatu yang lebih berkuasa daripada-Nya. Maka Tuhan Allah pun hanya satu, Maha Esa.
9.Tuhan Allah Hidup, Mendengar, Melihat, dan Berbicara
Sifat hidup Allah disebut Hayaat. Dzat yang hidup disebut Hayyun (Hayyan).
Sifat Tuhan Allah mendengar disebut Sam’un. Dzat yang mendengar disebut Sami’un (Sami’an).
Sifat Tuhan Allah melihat disebut Bashar. Dzat yang melihat disebut Bashirun (Bashiran).
Sifat Tuhan Allah berbicara disebut Kalaam. Dzat yang berbicara disebut Mutakallimun (Mutakalliman).
Dalam Al-Quran disebutkan sebagai berikut:
“Tidak ada Tuhan melainkan Dia yang Hidup, Yang Berdiri Sendiri”. (Al-Baqarah 255)
“Dialah yang hidup kekal, tiada Tuhan melainkan Dia”. (Al-Mukmin 65)
“Dan Allah-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (Al-Maidah 76)
“Sesungguhnya Dia Melihat segala sesuatu”. (Al-Mulk 16)
“Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung”. (An-Nisa 164)
Tuhan Allah yang menjadikan alam, bersifat berkehendak dan berkuasa. Maka tentu saja Tuhan Allah itu hidup, mendengar, melihat, dan berbicara. Mustahil Tuhan Allah itu tidak bersifat demikian. Apabila Tuhan Allah itu bersifat mati atau tuli atau buta atau bisu, maka bagaimanakah dapat mengadakan dan meniadakan ala mini, dan bagaimana pula dapat mengadakan bunyi-bunyian dan segala bentuk yang beraneka warna?
Tuhan Allah yang menghidupkan manusia, dan yang menjadikan manusia mendengar, melihat dan berbicara. Apabila Tuhan Allah itu bersifat mati, tuli, bisu, atau buta, maka berarti tidak sempurna dan tidak kuasa. Tetapi Tuhan Allah berlainan dengan alam. Maka dari itu hidup-Nya, mendengar-Nya, melihat-Nya dan berbicara-Nya tentu saja tidak sebagaimana makhluk.
Makhluk (manusia dan binatang) hidup dengan bernafas, makan, minum dan lain sebagainya. Manusia dan binatang melihat dengan mata, mendengar dengan telinga, dan berbicara dengan mulut (lidah) dan suara.
Adapun Tuhan Allah, tidak menyerupai semuanya itu; berarti melihat tidak dengan mata, mendengar dengan telinga, berbicara dengan mulut (tulisan), tidak dengan mengeluarkan suara, dan sebagainya. Tuhan Allah tidak menyerupai alam dalam segala-galanya (zat, perbuatan, dan sifat-sifatnya).
Kita hanya wajib mempercayai, bahwa Tuhan Allah itu hidup, melihat, mendengar, dan berbicara, dan tidak diwajibkan mengetahui bagaimana caranya.
Manusia dijadikan oleh Allah, tidak disuruh mengetahui keadaan yang sebenarnya (hakekat) dzat Allah, akan tetapi menyuruh manusia, supaya memikir dan mengerti faedah sesuatu yang dijadikan-Nya. Tuhan Allah menjadikan matahari, bulan, bintang, laut dan sungai itu untuk difahami manusia akan faedahnya.
“Pikirkanlah apa yang dijadikan oleh Allah, tetapi janganlah memikirkan hakekat dzat Allah, karena kamu tidak dapat mengira-ngirakannya”. (Al-Hadits – Al-Jaami’u-Shaghir)
Berarti bahwa akal manusia itu tidak dapat mengetahui hakekat(sebenarnya) dzat Allah. Allah memberikan akal dan panca-indera itu, dengan ukuran yang terbatas.
10. Tuhan Allah Maha Bijaksana
Segala perbuatan Tuhan Allah itu dari kehendak-Nya, serta cocok dengan ilmu-Nya yang sempurna. Sebab itu, segala perbuatan Tuhan Allah itu tidak terpaksa, dan semuanya itu tentu ada faedah dan hikmahnya.
Kalau kita melihat perbuatan manusia yang cerdas akalnya, tinggi ilmunya, luas pandangannya niscaya tidak akan ada di antara perbuatannya yang tidak berguna. Berbeda sekali dengan perbuatan orang yang bodoh; perbuatannya kebanyakan tidak berfaedah. Dan orang-orang yang bodoh, tidak mengerti maksud orang-orang yang pandai. Bahkan kerapkali mereka mencela perbuatannya, sebab dari kedangkalan ilmu, dan dari pandangannya yang sempit.
Tuhan Allah menjadikan ala mini dengan peraturan, dan kebijaksanaan yang tinggi. Sebagian diperbuatnya begini, dan setengahnya diperbuatnya begitu. Masing-masing ada faedahnya bagi makhluk. Mustahil Allah menjadikan sesuatu dengan tidak ada faedahnya. Allah mengadakan kaki untuk berjalan, tangan untuk memegang,mata untuk melihat dan sebagainya.
Allah menjadikan perut merasa lapar. Maka sudah diadakannya pula tumbuh-tumbuhan atau yang lain-lainnya untuk dimakan. Kerongkongan dapat merasa haus. Maka sudah diadakan pula Air untuk diminum.
Akan tetapi tumbuh-tumbuhan tidak dapat dimakan kalau tidak ditanam atau dimasak. Air yang ada di dalam bumi tidak dapat diminum kalau tidak digali. Gunanya tidak lain ialah supaya manusia mempergunakan usaha dan ikhtiar yang ada padanya untuk memperoleh yang dibutuhkannya.
Begitu juga Allah menjadikan manusia; ada yang lemah, kurang kuat, kerap kali sakit. Maka dijadikan tumbuh-tumbuhan atau zat-zat yang dapat dijadikan obatnya. Oleh sebab itu kalau manusia mempergunakan akal dan panca-inderanya dengan sempurna, niscaya akan tahu beberapa faedah dan gunanya sesuatu yang ada di alam dunia ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H