Apa yang ada dibenak anda ketika mengantri di SPBU selama empat jam, sejak jam 8 malam hingga jam 12 tengah malam, dan ketika mendekati giliran anda untuk mengisi bahan bakar, ternyata telah ludes. Hanya rasa kecewa dan marah-marah, betapa sia-sianya mengantri berjam-jam. Inilah Indonesia hari ini. Jumlah penduduk makin hari makin bertambah, industri terus tumbuh dan konsumsi energi terus meningkat dari tahun ke tahun, sementara suplai energi terus menurun. Indonesia, negeri yang dibanggakan dengan kekayaan alam berlimpah itu kini dalam kondisi yang memprihatinkan soal minyak bumi.
Indonesia pernah mengalami masa-masa kejayaan produktivitas energi (minyak bumi) yang tinggi antara tahun 1970 hingga 1995 hingga mencapai 1,7 juta barrel per hari. Â Meskipun saat itu konsumsi terus meningkat, produktivitasnya juga terbilang stabil dan cenderung meningkat. Jumlah itu kemudian menurun secara dramatis sejak tahun 2003. Hingga tahun 2014, Indonesia hanya mampu memproduksi minyak rata-rata 800,000 barrel per hari, sementara konsumsi terus meroket hingga mencapai sekitar 1,5 juta barrel per hari. Dari sini sudah sangat jelas bahwa produksi minyak Indonesia tidak cukup untuk memenuhi konsumsi dalam negeri. Ini artinya Indoesia memang benar-benar dalam situasi krisis energi, dan itu berarti krisis kepercayaan juga dari mayarakat terkait bagaimana pemerintah mengelolah sumber daya alam (minyak bumi) yang disedot dari tanah pusaka mereka. Terkadang ketika lagi di atas angin, lupa daratan. Saat lagi dalam kondisi produktivitas minyak bumi yang tinggi, tidak ada perencanaan yang baik terkait ketahanan energi di masa mendatang. Ini juga soal perilaku. Jangan-jangan pemerintah sendiri hanyut dalam ilusi kekayaan alam yang berlimpah di Indonesia, hingga lupa soal keberlangsungan dan stabilitas ketahanan energi nasional. Ketika di ambang krisis, dan secara maraton pemerintah memulai memeras otak, berpikir tentang langkah-langkah menangani krisis energi di Indonesia.
Diperkirakan bahwa Indonesia masih memiliki cadangan minyak sekitar 3,7 milyar barrel, akan tetapi jika memperhatikan laju pertumbuhan konsumsi enegri per tahun yang mencapai 6%, maka cadangan itu kemungkinan akan habis tersedot dalam kurun waktu sebelas atau dua belas tahun ke depan. Sebagai langkah darurat untuk jangka pendek, Indonesia mungkin bisa mengimpor dari negara-negara yang memiliki produksi minyak tinggi, seperti Venezuela atau Saudi Arabia, namun itu tetap rawan terhadap stablitas ketahanan energi nasional. Oleh sebab itu, pengembangan industri hulu migas harus segera dikembangkan, termasuk pengembangan energi alternatif yang  hingga kini masih belum serius dikembangkan.
Dengan memperhatikan berbagai laporan terkait kondisi minyak dan gas terkini di Indonesia bahwa konsumsi energi kini lebih besar daripada produksi, maka sektor hulu migas sebagai ujung tombak produksi migas harus segera dikembangkan.  Tentunya, hal ini tidak mudah, sebab selain membutuhkan biaya operasi yang besar, proses eksplorasi juga dihadapkan pada persoalan birokrasi dan perijinan yang rumit, dibarengi dengan delik mafia migas yang sangat kompleks di Indonesia saat ini. Proses perijinan yang panjang dan berliku ini bisa menghabiskan waktu hingga betahun-tahun, dan itu belum termasuk proses ekplorasi, instalasi pipa hingga produksi, yang bisa membutuhkan waktu antara 5 hingga 15 tahun. Selain ijin dari Departmen Pertambangan dan Energi, dari pemerintah pusat hingga ke pemerintah daerah, para investor juga harus berurusan dengan masyarakat adat, pemilik hak ulayat yang terkadang menyulitkan bahkan bisa menimbulkan konflik antar warga terkait kepemilikan hak ulayat. Kondisi seperti ini turut berpotensi terhadap berkurangnya minat investor untuk terlibat dalam pengembangan industri minyak dan migas di Indonesia, sebab untuk menuju ke proses produksi saja membutuhkan waktu dan biaya yang besar, yang dikhawtirkan akan macet di tengah jalan. Sehingga bisa diperkirakan bahwa sekitar 20 tahun ke depan produksi minyak Indonesia baru bisa memenuhi kebutuhan konsumsi energi dalam negeri. Sekiranya Inisiatif baik dari pemerintah untuk membentuk pelayanan satu atap terkait proses perijinan bisa menjadi langkah positif dalam mempercepat pengembangan industri hulu migas. Meskipun, tidak semua urusan bisa diselesaikan dalam pelayanan satu atap, karena ada berbagai instansi pemerintah yang akan terlibat dalam perijinan.  Namun, paling tidak lebih mempermudah jalan berliku  serta waktu yang lebih singkat dalam proses perijinan.
Energi Alternatif Masih Sebagai Alterntif
Geliat pengembangan energi alternatif telah menjadi salah satu isu penting di dunia, mengingat keterbatasan energi konvensional (fossil fuel) untuk mensuplai kebutuhan energi yang makin hari makin meningkat. Sehinnga perlu adanya diversifikasi sumber energi untuk menutupi kekurangan suplai energi. Indonesia sebagai negara kepulaun terbesar di dunia dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, selain memiliki potensi minyak bumi dan gas alam, Indonesia juga memiliki potensi besar terhadap pengembangan turbin angin, turbin air seperti yang dikembangkan di berbagai negara di Eropa hingga Amerika, yang bisa menyuplai kebutuhan energi untuk industri dan rumah tangga. Energi yang lainya adalah energi arus air laut dan energi panas bumi yang tidak kalah besar potensinya untuk dikembangkan secara masif, jika melihat letak Indonesia yang persis di garis khatulistiwa dan berada pada jalur cincin api. Meskipun banyak sumber-sumber energi alternatif yang dimiliki, belum terlihat keseriusan pemerintah dalam mengembangkan sumber-sumber energi itu. Sumber-sumber energi itu hanya masih sebatas ‘alternatif’ alias cadangan jika sumber energi utama yakni minyak bumi telah habis tersedot. Ini artinya bahwa energi alternatif akan selalu menjadi alternatif selama masih ada minyak dan gas. Hingga saat ini belum terlihat satu langkah serius pemerintah untuk mengembangkan energi alternatif ini secara masif dan bisa digunakan untuk menggantikan energi fossil (migas), misalnya dengan membentuk sebuah badan usaha milik pemerintah yang secara khsusus bertanggung jawab untuk pengelolaan energi panas bumi, energi angin, energi panas bumi, bio fuel dan sebagainya. Katakanlah dengan membentuk Satuan Kerja Khusus seperti SKK migas yang mengurusi industri hulu migas. Bila perlu juga setiap bentuk sumber energi alternatif memiliki BUMN tersendiri.
Saya sendiri yang kurang paham soal mengapa energi alternatif ini masih belum dikembangkan secara masif, apakah memang tidak diminati atau beresiko terhadap prospek bisnisnya. Tentunya ada banyak alasan, namun kemungkinan masalah terbesar adalah initial cost, biaya awal instalasi yang sangat tinggi, proses produksi yang membutuhkan biaya besar dengan teknologi tinggi pula, serta harga jual yang terlampau tinggi, sehingga pasarnya pun terbatas. Kekhawatiran terbesar lainya dari pengembangan energi alternatif adalah ketika terjadi perubahan iklim yang radikal, akan berdampak serius terhadap produktivitas energi. Namun bukankah potensi terbesar perubahan iklim itu bisa terjadi karena meningkatknya konsentrasi green house gases (GHGs) yang sebagian besarnya disebabkan oleh emisi carbon dioxide (CO2) dari pembakaran bahan bakar fosil oleh industri dan kendaraan bermotor. Sehingga energi non fossil fuel bisa juga turut mengurangi resiko perubahan iklim.  Oleh sebab itu, walaupun pengembangan energi non fossil fuel memiliki resiko yang lebih besar, demi ketahanan energi nasional pemerintah harus berani mengambil langkah serius, misalnya dengan menyediakan biaya pengembangan dan instalasi, selanjutnya bisa share dengan pihak investor swasta.
Patut disadari bahwa luasnya Indonesia dengan bentang kepulauan dan daratan yang luas dari yang terdalam hingga terluar/terpencil, masih banyak wilayah di Indonesia yang belum merasakan terangnya listrik yang diberikan oleh negara karena keterisolasiannya. Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh para pebisnis dengan manaikan harga bahan-bakar secara tidak wajar, jauh melampaui harga normal. Dalam kondisi seperti ini, maka sumber energi alternatif yang ada di daerah tersebut bisa dikembangkan secara masal, bukan lagi sebagai alternatif tetapi sebagai energi utama daerah tersebut. Jika pemerintah serius mengembangkannya maka ketergantungan mereka terhadap minyak bumi akan berkurang, dan secara nasional dapat menekan konsumsi minyak bumi dalam negeri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H