Mohon tunggu...
Just Nulis
Just Nulis Mohon Tunggu... -

Sangat menyukai dunia tulis sebagai media ekspresi tanpa harus anarkis... Karena cinta dan kasih merupakan jalan terbaik dalam segala kesulitan...termasuk keruwetan bangsa Indonesia. Maju terus INDONESIA!!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketika Jero Wacik Mempertegas Keberpihakan pada Masyarakat

16 Maret 2012   01:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:59 751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa waktu belakangan ini Jero Wacik selaku menteri ESDM sempat menjadi bulan-bulanan media karena atas keputusannya menerbitkan Peraturan Menteri no 7 tahun 2012, sebut saja Permen 7/12 ya...biar gak terlalu serius.

Secara singkat Permen 7/12 tersebut mewajibkan pengusaha tambang untuk menghentikan ekspor bahan galian dalam bentuk bahan mentah (raw material). Selama ini, pengusaha tambang dininabobokan oleh kemudahan investasi yang dibuka pemerintah, didukung oleh pemda-pemda yang berlomba-lomba memberi izin tambang kepada pengusaha baik dalam maupun luar negeri. Tidak heran, geliat ekonomi di berbagai daerah terasa lebih bergairah dengan masuknya investasi ke sektor penambangan.

Dalam jangka pendek, kebijakan ini cukup efektif terutama dalam menciptakan lapangan kerja, terutama buruh tenaga lapangan dan buruh kasar. Akan tetapi karena pengusaha hanya sekedar datang mengeruk tanah, lalu mengekspor bahan galian langsung dalam bentuk mentah, tanpa pengolahan sama sekali, pemerintah mencium gelagat bahwa sesungguhnya keuntungan yang diperoleh masyarakat dari jenis usaha seperti ini sangat minim.

Ekspor tanah mentah yang mengandung mineral (entah nikel, biji besi, chrome, batubara, bahkan emas perak) dihargai sangat rendah dalam dunia perdagangan. Bayangkan saja, untuk tanah yang mengandung nickle ore diekspor dengan harga jual sekitar $15 - $37 per ton! Anda bayangkan gundukan tanah yang mengandung mineral diekspor dengan harga jual hanya sekitar Rp120 - 350 ribu. Dari transaksi jual beli tersebut, pemerintah termasuk pemda mendapatkan royalti dalam hitungan persen. Tentu jumlahnya juga sangat kecil. Masyarakat lokal mendapatkan penghasilan melalui gaji dan upah.

Apakah itu harga jual yang pantas untuk tanah air kita yang sungguh kaya? Tentu wajar jika kita sebagai masyarakat mempertanyakan harga jual yang demikian rendah. Apakah dalam hal ini ada kongkalikong pengusaha dengan pembeli di luar negeri? Dengan pendapatan dan harga yang demikian rendah, apakah tidak lebih baik kita menolak usaha tambang yang justru banyak merusak lingkungan? Bencana alam yang diakibatkan oleh perusakan alam di lokasi tambang, justru mendatangkan kerugian yang jauh lebih besar dibandingkan manfaat yang diperoleh masyarakat.Pihak pemda sebagai pengambil keputusan di daerah dan yang melihat langsung dampak keberadaan perusahaan tambang, apakah itu dampak positip maupun positip, harusnya kritis dalam melihat data ekonomi.

Pemerintah daerah di Sulawesi Tengah di 2011, menerbitkan izin tambang sebanyak 395 IUP (Izin Usaha Pertambangan), 183 diantaranya merupakan perusahaan yang beroperasi di 1 kabupaten saja yaitu kabupaten Morowali yang kini ramai oleh penambangan nickle. Akan tetapi pemda Sulteng mengatakan bahwa ditahun tersebut, mereka hanya menerima royalti sebesar Rp4,3 Milyar. Jumlah ini tentu akan meningkat jika pemda bisa lebih kritis dalam mengelola perusahaan tambang yang beroperasi di wilayahnya.

Dalam kaitannya dengan Permen 7/12, pemerintah melalui Menteri ESDM ingin menegaskan kembali bahwa pengelolaan bumi air dan segala kekayaan alam di dalamnya haruslah membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat luas, bukan hanya pengusaha, pemerintah pusat, apalagi pengusaha di luar negeri. Hal ini sejalan dengan amanat UUD 1945 pasal 33. Hayooo, masih hapal nggak..?

Caranya? Pemerintah ingin agar pengusaha tidak hanya datang mengeruk kekayaan alam negara kita lalu mengekspornya dalam keadaan mentah. Seolah datang menangkap ikan di lautan kita lalu membawanya pergi dengan harga seenaknya. Ikan ..eh.. bahan galian tambang tersebut, apapun jenisnya, harus diolah dulu di Indonesia, lalu diekspor ke luar negeri. Untuk itu sudah sejak lama DPR menerbitkan UU no 4 tahun 2009 yang dikenal sebagai UU Minerba. UU tersebut mewajibkan pengusaha mengolah bahan galian tambang dalam negeri sebelum diekspor. Hal ini sejalan dengan esensi atau isi utama Permen 7/12, yang diterbitkan Menteri ESDM, Jero Wacik.

Selama ini pengolahan bahan tambang kebanyakan dilakuan di luar negeri, sehingga menguntungkan negara pengimpor dari sisi tenaga kerja, teknologi dan ekonomi secara umum. Pemerintah Indonesia melalui Permen 7/12 menginginkan agar industri pengolahan bahan tambang dibangun di Indonesia untuk menyerap tenaga kerja lokal, memberi nilai tambah yang wajar kepada bahan tambang, serta menggerakkan perekonomian Indonesia. Anda bayangkan berapa banyak perusahaan yang akan buka di Indonesia dalam beberapa tahun ini, jika Permen 7/12 ini benar-benar didukung dan dilaksanakan.

Akan tetapi, Dr. Ryas Rasyid selaku anggota Dewan Pertimbangan Presiden malah menolak keras Permen 7/12 ini dengan alasan cacat hukum dan menabrak peraturan yang lebih tinggi yaitu UU Minerba. Selidik punya selidik, ternyata yang bertentangan itu hanya masalah waktu. Permen 7/12 mengisyaratkan bahwa larangan ekspor bahan tambang mentah mulai diberlakukan Mei 2012 ini, sementara UU Minerba mengindikasikan pemberlakuan paling lambat tahun 2014. Akan tetapi UU Minerba dan Permen 7/12 sesungguhnya memiliki roh yang sejalan yaitu mengembalikan hak rakyat semaksimal mungkin, melalui pelarangan ekspor bahan tambang dalam bentuk mentah. Jadi boleh dikata tidak bertentangan, malah kalau boleh didukung dengan cara merevisi Permen 7/12 tersebut agar pemberlakuannya sesuai dengan UU Minerba.

Dr Ryas Rasyid sebagai ahli desentralisasi tentu bisa lebih santun mengemukakan pendapat dan bisa melihat esensi yang lebih luas. Bukankah kebijakan ini, walau beraroma sentralisasi, malah berpotensi meningkatkan kemakmuran rakyat lokal. Pemda-pemda kita juga sebaiknya menyikapi aturan ini dengan bijak. Jika kitasungguh berpihak pada masyarakat, tentulah aturan ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, mengurangi pengangguran dan dapat meningkatkan akses tenaga muda kita ke teknologi pengolahan bahan tambang. Begitu banyak positip dan manfaatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun