Mohon tunggu...
Just Nulis
Just Nulis Mohon Tunggu... -

Sangat menyukai dunia tulis sebagai media ekspresi tanpa harus anarkis... Karena cinta dan kasih merupakan jalan terbaik dalam segala kesulitan...termasuk keruwetan bangsa Indonesia. Maju terus INDONESIA!!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika Surga Neraka Menjadi Urusan Citra, Rok Mini dan Kambing

19 Maret 2012   01:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:50 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13321208391588654174

[caption id="attachment_177125" align="aligncenter" width="259" caption="Picture by: cosmo.vivanews.com"][/caption] Urusan surga neraka kini benar-benar disederhanakan dan cenderung menyesatkan. Budaya pencitraan kini memudahkan kita untuk menilai orang yang akan masuk surga atau tidak. Demikian juga si kambing hitam menjadi dengan mudah ditunjuk sebagai penyebab seseorang bisa masuk neraka, karena itu si kambing mesti dikriminalkan kalau perlu dimusnahkan. Budaya citra dan kambing semakin mengenaskan. Jangan salahkan pak SBY yang terkenal dengan pencitraan. Semua orang butuh citra atau image yang baik, apalagi presiden sebagai kepala negara. Anda-anda semua pasti berusaha untuk dikenal sebagai pribadi yang baik, padahal mungkin sejatinya Anda adalah koruptor, tukang manipulasi, preman, politisi busuk, perampok, bahkan pembunuh sekalipun. Ya, seorang kriminal pun butuh image yang baik, minimal di kalangan keluarga-nya. Siapapun tidak ingin terlihat jelek di hadapan pasangan, atau anak-anak sendiri bukan. Siapapun Anda, citra itu penting. Untuk menciptakan citra yang baik, kini semakin mudah. Berbagai jejaring sosial siap membantu Anda. Lihatlah status-status di Facebook yang dipenuhi pesan-pesan agamis: Alhamdulillah, puji Tuhan, Thx God, God bless...bertebaran setiap hari. Terkadang masih disertai dengan kutipan ayat-ayat kitab suci yang tinggal dicopas. Memang banyak yang disampaikan dengan tulus, tetapi tidak sedikit yang melakukannya hanya demi citra, supaya dianggap baik dan diterima di kalangannya. Kita pun merupakan kritikus yang super tajam. Melihat orang yang tampil agamis, suka menebar kutipan ayat-ayat kitab agama, langsung memberi predikat bagi orang tersebut sebagai orang baik. Busana juga tak ketinggalan. Pakaian-pakaian agamis merupakan bagian penting dari pencitraan. Saking getolnya, terkadang pakaian agamis menjadi pakaian kantoran tapa merasa salah kostum. Kita biasanya memandang orang yang selalu berbaju koko, bersorban, atau berkerudung sebagai pribadi yang lebih baik daripada mereka yang berpakaian biasa atau katakanlah mereka yang memakai rok mini. Sementara mereka yang berpakaian seadanya menjadi kambing hitam, diposisikan sebagai kriminal, pencetus kejahatan. Lalu, dimanakah letak penguasaan diri, bukti kualitas iman yang baik? Apa iya orang beriman mesti selalu menyalahkan orang lain, bukannya mengkoreksi dirinya dan menahan diri untuk tidak berdosa? Apakah tampilan dan pakaian menjamin baik buruknya seseorang? Menyalahkan orang lain, mencari kambing hitam, memang lebih mudah dibanding menyalahkan atau mengoreksi diri sendiri. Pelajaran tidak perlu jauh-jauh dicari. Tayangan kekerasan sehari-hari di televisi menunjukkan bahwa pelaku kekerasan yang merugikan orang lain, justru banyak dilakukan oleh mereka yang berpakaian agamis sambil membawa nama Tuhan. Pakaian agamis juga menjadi pilihan pelarian saat seseorang tertangkap karena berbagai tindakan kriminal. Lihatlah pakaian para selebriti, tokoh nasional yang kini menghuni penjara. Setiap kali mereka akan tampil di depan umum, pakaiannya agamis. Si seleb yang video pornonya beredar beberapa waktu lalu, selalu memakai kerudung setiap kali tampil di pengadilan atau kantor polisi. Demi pencitraan, rutinitas ibadah terkadang memiliki poin penting. Makanya banyak pejabat kita yang memaksakan diri menjalankan ibadah haji bahkan dengan duit hasil korupsi. Tidak sedikit yang menyumbang pembangunan rumah ibadah lewat uang korupsi. Apa iya, sumbangan dan citra yang baik bisa mencuci dosa? OMG! Stop, jangan berpolemik dulu, Anda tidaklah salah jika memiliki pendapat demikian. Ingat, usaha pencitraan tidak akan jalan, jika kita sebagai pengamat tidak rajin memberi 'penilaian' atau 'judgement' terhadap tampilan orang lain. Tetapi itulah manusia, kita sering menyalahkan orang lain yang rajin mencitrakan diri, tetapi kita juga tidak menahan diri dari seringnya kita mengomentari orang lain, memberi penilaian tentang baik buruknya orang. Apalagi bila kita sudah merasa memiliki citra yang lebih baik, kita cenderung menjadi hakim terhadap orang lain yang citranya masih belum sebaik kita. Maka, kita pun tak ubahnya infotainment berjalan. Budaya pencitraan yang berjalan salah arah ini, tidak akan berhenti jika tidak ada self-correction dari diri kita. Setiap kali Anda keluar rumah lalu mengenakan pakaian apapun itu, tanyakan pada diri kita: Apakah saya memakai ini hanya untuk mendapat pujian dari manusia? Atau apakah saya tulus memakainya untuk tujuan-tujuan rohani saya? Jika hanya ingin mendapat citra yang baik dari orang lain, maka kita tak lebih baik dari mereka yang kita cela selama ini. Lebih buruk lagi, kita menempatkan diri sebagai bagian dari budaya pencitraan yang semakin merusak bangsa. Alangkah capeknya jika kita hanya tampil untuk memenuhi 'harapan' orang. Bukankah lebih indah jika citra kita justru dipuji oleh Tuhan sendiri? Demi pencitraan, orang mau melakukan apa saja termasuk mempermainkan tanggung-jawab dan tugas negara. Tidak sedikit kebijakan-kebijakan yang dibuat hanya untuk mendapat simpati tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang. Banyak institusi negara yang melakukan program-program hanya untuk menutupi kebobrokannya. Bahkan ada rumor bahwa setiap kali suatu instansi diberitakan negatif, mereka harus berusaha membuat berita positip untuk menutupi berita negatif tersebut secepatnya. Kita bisa lihat, instansi-instansi negara kita banyak yang jatuh dalam perangkap citra ini. Akan halnya nasib si kambing hitam sungguh semakin malang bahkan terkadang mati tanpa hak jawab demi menyelamatkan citra mereka yang lebih kuat dan berkuasa. Korban-korban kerusuhan, pembunuhan, perampokan dan aneka tren kejahatan, terkadang sebetulnya hanyalah bagian dari pelarian fokus berita. Namun siapa aktor, dalang, dan perencana dibalik semua ini, hanyalah Tuhan yang tahu. Bisa saja mereka adalah orang-orang yang selama ini kita kenal sebagai pribadi dengan citra yang baik, santun, dan agamis. Kambing hitam juga beraneka rupa. Seberapa sering kita menyalahkan benda, kejadian, bahkan orang lain atas kelalaian atau 'bencana' yang menimpa kita? Sudah terbiasa kita dengan berita yang menyalahkan televisi, handphone, internet, video porno atas berbagai kejadian dan termasuk kenakalan remaja. Kenapa kita tidak pernah mengoreksi diri, seberapa besar perhatian kita terhadap keluarga dan anak-anak kita. Atau jika kita tidak menyukai kehidupan malam, maka janganlah pergi ke bar, diskotik atau hiburan malam. Ntar juga akan tutp sendiri kok kalau peminatnya sepi. So, kambingnya bukan di luar sana, tetapi ada di dalam diri kita sendiri. Citra dan kambing hitam telah menjadi bahagian dari hidup kita sehari-hari. Hal ini hanya bisa dihindari dengan meningkatkan kualitas kebijaksanaan kita. Mulai saat ini, berhenti menilai orang lain. Pikirkan matang-matang sebelum memuji apalagi menayalahkan orang lain. Terkadang pujian mungkin tidak perlu, apalagi menyalahkan. Jangan-jangan kesalahan itu justru ada pada diri kita sendiri. Tidak ada jaminan bahwa pakaian atau rutinitas ibadah menjadikan orang lebih baik. Tidak ada bukti bahwa orang yang malas beribadah atau berbapakain tidak agamis selalu lebih buruk dari orang lain. Berhentilah mempermainkan citra dan menyalahkan orang lain atas kesalahan kita.Alangkah indahnya menyerahkan hak menilai hati dan hidup kita kepada Dia sang pemilik kehidupan. Kita semua hanyalah makhluk-makhluk yang sedang berjalan ke pengadilannya. Surga dan neraka bukan urusan citra apalagi si kambing hitam. Itu urusan pribadi dalam hubungan sangat pribadi dengan Tuhan, dan tak seorangpun tidak bisa mengurusinya. Jangan menghakimi bila Anda tidak mau dihakimi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun