Mohon tunggu...
Jusman Syafii Djamal
Jusman Syafii Djamal Mohon Tunggu... -

Chairman Matsushita Gobel Foundation sejak 2005 ; Ketua Dewan Pertimbangan DPP Organda.; Komisaris Utama PT Telkom Indonesia Tbk, sejak 1 Januari 2011-sekarang\r\nAnggota Komite Innovasi Nasional sejak 20 Mei 2010-sekarang\r\nJabatan masa lalu sbb : \r\nMenteri Perhubungan Mei 2007 - Oktober 2009 Kabinet Indonesia Bersatu Pertama.; Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia 2000-2002; Chief Projec Engineer Rekayasa dan Rancang Bangun Pesawat Terbang 50 Seater, Fly by Wire Advanced Turboprop N250, terbang perdana 10 Agustus 1995;\r\nInsinyur Teknik Penerbangan ITB, berpengalaman 20 tahun dalam bidang Aerodinamika dan Perancangan Pesawat Terbang

Selanjutnya

Tutup

Money

Keamanan Penerbangan Pasca 11 September 2001

9 September 2011   02:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:07 768
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Tak ada tanda istimewa, jam 8 pagi hari, Sebelas September 2001, sepuluh tahun lalu di New York. Akan tetapi setelah jam 9.05 pagi sebelas september 2001, New York dan dunia penerbangan tidak lagi sama seperti sebelumnya. Runtuhnya menara kembar World Trade Center dengan 2800 orang nyawa hilang, ratusan luka berat dan milyar dollar kerugian, kemudian tercatat dalam tinta hitam, sebagai tragedi dunia penerbangan terburuk sepanjang masa.

Pada hari itu , sepuluh tahun lalu, kebetulan saya sebagai Direktur Utama Dirgantara Indonesia sedang bertemu Chief Executive Officer  Bombardier di Montreal Canada. Industri Penerbangan yang meproduksi pesawat terbang Advanced Turboprop Q400 dan Bussiness Jet Challenger. Salah satu Industri Penerbangan terkemuka dunia.Tiba tiba sekretarisnya masuk sambil berbisik ke CEO Bombardier, kemudian kami berdua menyaksikan siaran langsung CNN , berjudul America under attack, dengan Menara Kembar dalam kobaran asap.

Kami berdua terkejut dan shock. Diskusi berubah menjadi apa dampak peristiwa ini bagi industri penerbangan dan airline. Untuk mendepatkan perspektip tentang dampak, kemi kemudian berkeliling kawasan proses perakitan akhir pesawat Jet 100 Penumpang. Saya diperlihatkan suatu aliran mata rantai proses perakitan akhir pesawat terbang yang dirancang dalam tata letak modul modul kawasan " cell manufacture". Tiap cell merupakan proses perakitan tiap bagian pesawat terbang yang elemen elemennya berasal dari industri pembuatan suku cadang dan komponen dari negara lain.  Konsep perakitan akhir model ini memiliki rantai pasokan komponen ratusan bahkan ribuan industri kecil menengah, yang menjadi bagian dari mata rantai industri "outsourcing" secara global. Efisiensi dan produktivitas model perakitan akhir industri pesawat terbang ini, amat bergantung pada konsep Just in Time  yang mengikuti pola Toyota dalam merakit mobilnya. Dengan konsep ini setiap minggu diharapkan akan lahir satu pesawat terbang atau sebulan empat pesawat terbang.

Melalui tour seperti itu, Beliau ingin menjelaskan pada saya pengaruh langsung berapa kerugian baik waktu tenaga dan biaya , jika  pasokan arus material produksi yang diangkut kargo udara terhambat. Angkutan udara dalam managemen logistik dan distribusi material industri pada pola cell manufacture  dengan fondasi konsep Just in Time, adalah urat nadi. Karena itu sambil terus menyaksikan tragedi september eleven itu, Ia berkata :"dimasa depan sejak saat ini, tidak mudah lagi menerapkan konsep Just in Time, secara lebih efisien". Sebab arus barang melalui kargo udara pasti akan mengalami kendala. "may be aircraft industry and airline akan mengalami pukulan besar". Itu pembicaraan 10 tahun lalu.

Ketika itu kami tidak sepenuhnya faham, mengapa ada orang dan kelompok yang memilih pesawat terbang komersial berisi penuh penumpang, yang berasal dari pelbagai bangsa , sebagai senjata menghancurkan pusat bisnis terkemuka di dunia ? Kami berdua ketika itu hanya bisa saling bertanya :”Why ? Mengapa ?? Apa yang sesungguhnya terjadi ? Mengapa pesawat terbang komersial yang tadinya dirancang untuk misi damai, mengangkut penumpang danmemperlancar arus barang antar kota, antar pulau dan antar negara, dapat diubah menjadi "guided missile" atau "bom api terbang" yang mengancam gedung dan bangunan vital suatu negara ?

Bagi kami, Pagi hari sebelas September 2001, sepuluh tahun lalu, kota New York di Amerika Serikat bercuaca cerah dipenuhi para pebisnis da pelancong yang bersahabat dan penuh optimisme. Para pelaju (commuters) baik Pengusaha maupun pekerja biasa di Wall Street dan World Trade Center seperti hari sebelumnya bergegas menuju kantor masing masing, menggunakan trem, bis dan taxi. Bandara di Amerika juga padat oleh penumpang dengan tujuan sendiri sendiri.

Tidak ada yang menyadari,pada pagi cerah itu, empat penerbangan yang terpisah, dua diantaranya tinggal landas dari bandara Logan di Boston, satu dari Bandara Internasional Newark dan satu lagi dari Bandara Internasional Dulles. melenceng dari tujuan semula dan dikuasai pembajak. Yang berangkat jam 7.58 pagi, United Airlines Flight 175, ketika sampai dikawasan kota New York, secara tiba tiba berputar arah menyusuri sungai Hudson dan kemudian tepat jam 8.45 menabrak Menara Utara World Trade Center.

Pada awalnya semua saksi mata berfikir bahwa peristiwa itu adalah sebuah kecelakaan pesawat terbang yang salah arah. Tetapi pada jam 9.05 , dua puluh menit kemudian pesawatAmerican Airlines Flight No. 11 yang tinggal landas pada jam 7.59 dari Bandara Logan, moncongnya tenggelam kedalam gedung Menara Selatan World Trade Center, dan kedua Menara kembar diselimuti kobaran api dan asap. Dua pesawat masing masing jenis Boeing 767 dan 757 berkecepatan 700 km perjam dengan membawa bahan bakar 30 Ton, kemudian meluluh lantakkan menara kembar Wrld Trade Center , menjadi puing dan debu.

Pada jam 8.01, dari bandara Newark , United Airlines Flight 93 tinggal landas menuju San Fransisco. Delapan puluh mile dari kota Pittsburg, Pesawat jatuh berkeping keping. Penyelidik kemudian menemukan bahwa pesawat ini diubah rute nya oleh pembajak untuk diterjunkan di Gedung Putih. Ditengah jalan para penumpang berhasil merebut kemudi, sayang pesawat jatuh tak terkendali, disebuah lapangan terbuka pada jam 10.10 . Pesawat keempat,Flight 77 tinggal landas dari Bandara Internasional Dulles menuju Los Angeles, pada jam 8.10. Pesawat ini kemudian pada jam 9.40, berubah posisi dari terbang jelajah menjadi menukik dan hidung diarahkan menuju Pentagon. Gugur 188 orang dan banyak yang terkena luka bakar.

Kini, setelah sepuluh tahun berlalu. Tampak nyata prediksi dan percakapan kami menjadi realitas. Sebagai akibat langsung dari tragedi sebelas September , industri penerbangan dan maskapai penerbangan harus merubah secara drastis pola managemen operasinya. Diperlukan upaya sistimatis berkesinambungan untuk penataan ulang mata rantai produksi barang dan jasa agar memenuhi kriteria Keselamatan dan Keamanan Penerbangan yang semakin ketat dan berbiaya tinggi.

Bandara di Amerika yang tadinya seperti ruang komersial biasa dimana hotel, ruang makan, toko buku dan mekanisme kedatangan dan keberangkatan menjadi suatu tempat yang ramah dan bersuasana persahabatan. Kini menjadi tempat yang tidak lagi ramah.

Dulu bandara merupakan tempat berkumpulnya para keluarga profesional yang terpisah jarak dan kota, tempat rapat rapat bisnis diselenggarakan untuk efisiensi dan produktivitas waktu,  dengan tingkat keamanan tinggi tetapi amat longgar, dan dikelola sebagai tempat yang nyaman dan bersahabat kini berubah drastis.

Kini,  tiap penumpang dan jenis barang , dan pengantar yang berada di bandara  mendapat pengawasan detik demi detik melalui kamera pemantau (cctv) disetiap sudut ruangan.Tiap penumpang dan barang kini tidak lagi dianggap steril dari ancaman bahaya. Tiap yang bergerak tanpa pengawasan,di bandara dipandang mengandung resiko ancaman Keamanan. Memperoleh visa kunjungan bukan lagi menjadi masalah sepele seperti dulu. Ada proses penelitian yang bertahap, berjenjang dan bertingkat untuk mendapatkan persetujuan. Jika visa diperoleh, belum tentu juga mudah memasuki suatu negara, diperlukan proses penelitian ulang yang berkali kali, sampai otoritas merasa aman menerima anda sebagai tamu dinegara tersebut.

Pada tanggal 19 November 2001, President Bush atas Perintah Kongres menanda tangani Aviation and Transportation Security Act (ATSA).Pada tahun 2002, dibentuk Transportation Security Agency (TSA) yang terpisah dan Federal Aviation Administration (FAA). Tahun 2003, kewenangan dan otoritas TSA dipindahkan dari Departemen Transportasi ke Departemen Homeland Security. Sebelumnya keamanan bandara di Amerika di “outsource” dan dikelola oleh perusahaan swasta. Bandara Logan Boston, proses penelitian dan pemindaian barang barang penumpang dilakukan oleh perusahaan "oustsource" bernama Globe Security. Di Bandara Internasional Dulles, penumpang dan barang bawaannya diperiksa oleh perusahaan "outsource" Argenbright Security> Dari kedua bandata itu Atta, Omari, Satam al suqami dan pelaku pembajakan lainnya berhasil lolos masuk pesawat tanpa kendala. Para teroris dapat masuk kedalam pesawat membawa cutter dan penyemprot lada yang menjadi senjata pembajakan, dengan ancaman ada bom bunuh diri dibadannya.

Melalui Aviation and Transportation Security Act, kini keamanan bandara diseluruh Amerika dikelola oleh pekerja pegawai federal tidak dioutsource, dari Transportation Securuty Agency (TSA). Kini 43,000 tenaga terdidik dan terlatih dalam bidang keamanan bandara, dengan metode dan sertifikasi berstandarisasi TSA ditempatkan di Bandara.Biaya untuk menciptakan tingkat keamanan bandara meningkat, dari 556 juta dollar pada tahun 2000, menjadi 619 juta dollar tahun 2002. Biaya ini digunakan untuk membenahi tingkat keahlian personil, perbaikan metode dan modernisasi alat peralatan utama pemindai penumpang dan barang bawaannya. Pada tahun 2002-2003, Pemerintah Amerika menyediakan anggaran 2,5 milyar dollar untuk mebenahi metode dan alat peralatan utama Keamanan Bandara Komersial nya.

Di Indonesia atas perintah Presiden SBY yahun 2007, sistim keamanan dan keselamatan Penerbangan di integrasikan melalui Revisi total Undang Undang Penerbangan tahun 1992 menjadi Undang Undang Penerbangan No 1 Tahun 2009. Dengan demikian Sistem Keselamatan Transportasi dan Sistem Keamanan Transportasi satu sama lain harus saling terkait dan saling melengkapi.Di Indonesia, Transportation Security Agency dan Transportation Safety Agency , berada dalam satu kewenangan Menteri Perhubungan. Undang Undang Penerbangan no 1 tahun 2009 ini kemudian menjadi acuan bagi Masyarakat Uni Eropa mencabut larangan terbang bagi Maskapai Penerbangan Indonesia, seperti Garuda.

Aturan Keamanan Penerbangan kini menjadi lebih diperketat. Tiap tahun ada pembaharuan seperti aturan keselamatan penerbangan. Sebelum tahun 2001, standard minimum Keamanan Bandara diseluruh Bandara Internasional merujuk pada ketentuan ICAO annex 17. Pada tahun 2002 akibat peristiwa Sebelas September diadopsi ketentuan Aviation Security Plan of Action, yang mewajibkan seluruh Negara anggota ICAO untuk mengembangkan rencana aksi tiga tahunan untuk membenahi semua kelemahan yang mungkin tersembunyi dan tertidur dalam Sistem Keamanan Bandara yang ada dimasing masing Negara. Aviation Security Plan of Action ini menjadi subjek proses Audit secara berkala.

Kelemahan tersembunyi  dalam sistim Keamanan Penerbangan tiap negara  perlu ditemu kenali melalui Audit Keamanan bandara secara rutin dalam jangka waktu empat bulanan atau enam bulanan. Sebab tiap bandara internasional memiliki koneksi dengan bandara di lain negara. Secara garis besar ada Enam titik strategis yang secara terus menerus menjadi pusat perhatian untuk diperbaiki . Ini menjadi objek proses audit.

Pertama evaluasi berkenaan dengan layout tata letak dan posisi pintu terminal tempat penumpang dan barang bawaannya naik turun. Kebanyakan pintu tersebut langsung berhadapan dengan tempat pemberhentian mobil pengantar penumpang,baik bus, taxi atau mobil pribadi.Antara pintu dengan tempat perhentian modil tidak mempunyai perimeter atau jarak aman ancaman bom bunuh diri. Kini di Amerika penumpang tidak lagi ada pintu seperti itu. Syarat perimeter berupa jarak minum 100 meter diberlakukan. Penumpang dapat turun dan naik di zona zona pemberhentian mobil angkutan berbeda antara bis, mobil pribadi atau taksi. Dengan demikian penumpang masuk terminal kedatangan dan keberangkatan, dalam satu ruang keamanan memadai. Mobil pengangkut penumpang, berada jauh dari lokasi pintu masuk. Ada pengurangan kenyamanan, yang dibayar dengan peningkatan keamanan.

Kedua evaluasi atau mekanisme proses segregasi dan "containment".  Dimana ada jalur perjalanan penumpang dan barang bawaannya yang kemudian dapat  memisahkan wilayah pergerakan penumpang  bertiket dengan penelitian barang dan dan pengunjung biasa. Kemudian pemisahan arus pengunjung dan barang diikuti dengan proses  penyeleksian dimana semua potensi resiko ancaman keamanan baik yang berasal dari individu maupun barangnya diisolasi untuk tidak merembet ketempat lain. Semua tatacara dicermati dan dikenali dari detik kedetik oleh petugas Keamanan Bandara. Tidak boleh ada yang lolos dari pengamatan. Pemasangan kamera pemantau disetiap sudut diikuti juga oleh pemeriksaaan pot pot bunga dan kantong kantong sampah secara teratur., menjadi menu wajib petugas keamanan Bandara masa kini.

Melalui metode segregasi dan "containement" penumpang bertiket dan pengunjung biasa terpisah wilayah geraknya. Pemisahan wilayah ini kemudian diikuti oleh pengelolaan distribusi tanda pengenal masuk bandara atau Identification Card yang bersertifikat dan hanya dikeluarkan oleh Otoritas Bandara. Ketika peristiwa sebelas September 2001 terjadi, di bandara logan ditemukan kehilangan dan disribusi ID Card yang tak terlacak. Karena itu salah satu audit yang perlu dilakukan adalah sejauh mana id card dapat jatuh ke orang orang yang tak berwenang dan tak dikenal.

Bandara harus dibagi dalam zona zona yang terpisah dengan baik melalui penggunaan kartu identifikasi ini. Ada kartu untuk Zona pergerakan para pengantar, zona pergerakan penumpang berticket, zona pergerakan “ground crew” dan awak penerbangan. Penumpang bertiket dan petugas berkartu identitas, disebut KP (Known Passengers and Known Professional Workers). Pengunjung biasa dan para penjemput atau pengantar disebut UP (Unknown and unindetified People).Pembagian Zona pergerakan kargo dan penumpang akan memudahkan proses pengelolaan dan pengaturan potensi resiko ancaman keamanan yang mungkin timbul. Pintu dan dinding pemisah juga perlu dikelola.

Ketiga evaluasi pada proses seleksi penumpang bertiket dan barang bawaannya. Petugas terlatih dalam ilmu psikologi akan mengajukan pertanyaan tentang , apakah koper ini milik anda ? Apakah anda mengetahui apa saja isi koper anda ? Apakah anda sendiri yang memasukkan barang barang pribadi kedalam koper atau orang lain? Melalui proses rangkaian pertanyaan ini petugas berpengetahuan psikologi tingkah laku akan dapat menseleksi mana penumpang berpotensi bahaya, mana yang tidak. Kemudian akan tampak jelas apakah ticket digunakan oleh nama yang tertera atau oleh orang lain. Dan apakah barang yang dibawa dikatagorikan sebagai UB (Unknown baggage) atau KB (Known Baggage).

Keempat evaluasi terhadap keandalan dan kecanggihan peralatan pemindai (scanner). Teknologi pemindai ini sepanjang tahun telah mengalami kemajuan. Pemindai tiga dimensi bukan saja dapat memperlihatkan bentuk barang yang tersembunyi dalam koper tertutup. Tetapi juga potensi ancamannya. Selain itu penempatan pemindai pada lapis pertama juga dilengkapi oleh petugas yang terlatih dan bersertifikat dan tidak jarang ditemani oleh anjing pelacak. Dengan cara ini potensi ancaman senjata biologi, elektronika pemantik bom jarak jauh, pistol, pisau dan segala jenis barang berbahaya lainya termasuk narkoba telah dapat dilacak.

Kelima evaluasi atas tingkat keahlian dan disiplin petugas yang sering kendor jika bertemu orang yang dikenal baik sebagai teman atau saudara kandung, atau pejabat berwenang yang tak mudah diperiksa atau polisi dan militer yang selalu membawa pistol kemana mana, baik berseragam maupun tidak. Akibatnya petugas selalu dapat metolerir barang berbahaya masuk terbawa penumpang kedalam kabin. Padahal dalam sistim keamanan, semua penumpang dipandang memiliki potensi ancaman.

Di Amerika anggota pasukan pengawal Presiden pernah ditolak oleh kapten Pilot karena tidak mau menanggalkan pistolnya. Di Indonesia pernah ditemukan aparat yang marah marah karena diminta menempatkan pistol dan peluru tajam kedalam kotak yang disediakan. Mereka bersikeras bahwa pistol dan peluru sama dengan nyawa, tidak ataboleh terpisah dari badannya.Pemisahan barang berbahaya seperti pistol, peluru, pisau dan metal berujung tajam, bahan peledak, cairan berbahaya, tepung soda api , mutlak dilakukan agar semua barang berbahaya (dangerous goods) tidak masuk ke pesawat.

Keenam evaluasi  atas proses pengelolaan kargo yang dibawa  dan ditempatkan di perut pesawat . Kargo ii dapat berupa barang industri kebutuhan ekspor impor, atau bahan makanan atau juga paket kiriman lainnya yang akan ditempatkan dalam container. Tiap kargo harus dipisah kedalam dua jenis , yakni UnKnown Cargo  (UC) dan Known Cargo(KC).

Kargo tak dikenal adalah barang yang Pemilik atau Pembawa Barang nya – Tak Dikenali (PB-TD). Tak dikenal karena tak beridentitas, tak bersertifikat atau tak jelas asal usulnya.Kargo Dikenal adalah barang yang Pemilik atau Pembawa Barang – Dikenal Baik (PB-DB). Barang barang ini yang diketahui secara jelas asal usul pemiliknya (Known Cargo) yang berasal dari Penitip Barang yang berindentifikasi jelas atau barang industry atau barang milik eksportir yang secara rutin mengirim barang dan dikenal rekam jejaknya. (disebut Known Consignor), Biasanya barang barang ini dikelola dan dititipkan untuk diatur oleh Agen Forwarder atau Perusahaan Pengelola Kargo (Known Consignee).

Bagi barang yang pemilik/penitip nya tidak dikenal (PB-TD), wajib untuk dipindai secara keseluruhan dan dilakukan penggeledahan. Kargo jenis ini memerlukan Gudang tersendiri yang lokasinya jauh dari tempat pesawat dan penumpang berada. Agar jika terjadi ledakan, dampaknya tidak mengerikan. Proses sterilasi dalam gudang terpisah hanya dilakukan untuk barang yang asal usul dan pemiliknya tidak dikenal.

Bagi PB-DB pemilik dan pembawa dikenal baik, cukup dilakukan metode penelitian acak dalam gudang milik mereka sendiri. Hal ini untuk mempercepat dan mempermudah urusan kelancaran arus barang yang vital bagi pertumbuhan ekonomi suatu Bangsa.ICAO annex 17 dan Action Plan ICAO 2002 mewajibkan otoritas penerbangan sipil memiliki tatacara audit atau setiap prosedur pemisahan kargo tak dikenal (UC) dengan kargo dikenal baik (KC) yang dimiliki oleh Agen bersertifikat (Regulated Agent).Melalui audit berkala oleh Otoritas Penerbangan Sipil pengetahuan yang memadai tentang metode dan prosedur yang diterapkan oleh Pemilik dan Pembawa Barang dapat diperbaiki secara bertahap, bertingkat dan berkelanjutan. Audit juga bertujuan untuk melacak konsistensi rekam jejak pemilik, riwayat asal usul dan tata cara pemaketan barang, metode pengelolaan barang dalam gudang, catatan asal usul barang, siapa penanggung jawab dan kemana tujuan, serta apa isi tiap paket.

Audit merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya membangun kredibilitas mata rantai arus barang di Bandara. Dengan peningkatan kredibilitas, Trust dapat terbangun, biaya dan efisiensi dapat dikembangkan, produktivitas dan daya saing dapat ditingkatkan dengan tidak menambah mata rantai proses.

Karena itu maskapai penerbangan dan pengelola terminal dianjurkan berhubungan dengan agen, atau forwarder atau entitas yang bersertifikat yang telah lulus uji kelayakan keamanan dan keselamatan penerbangan. Keagenan ini disebut “Regulated Agent”. Disebut Regulated karena hadirnya keagenan ini telah melalui rekam jejak yang panjang sebagai pengelola kargo, jauh sebelum peristiwa Sebelas September terjadi yang sesuai dengan standard ICAO annex 17. Melalui keagenan yang terstruktur jelas ini , pemilik barang berupa manufacturer atau perusahaan ekspor dan impor yang diketahui dengan baik asal usulnya dapat menitipkan kargo nya ke petugas dari agen yang dikenal dengan baik oleh maskapai penerbangan. Mata rantai terstruktur ini kemudian dapat diaudit oleh Otoritas Penerbangan Sipil setiap empat atau enam bulan sekali, untuk perbaikan terus menerus tingkat keamanan nya.

Penataan ulang atas metode dan prosedur Keamanan Penerbangan yang disyaratkan oleh TSA dan ICAO, kini setelah satu Dasawarsa menjadi hal rutin yang tidak lagi membebani. Bandara Ngurah Rai Bali pada tahun 2008 telah diaudit oleh TSA dan memenuhi syarat Keamanan Bandara Internasional.

Kenangan akan Tragedi Sebelas September, dapat digunakan untuk merevitalisasi tingkat Keselamatan dan Keamanan Dunia Penerbangan di Indonesia sebagai anggota ICAO. Melalui program yang terukur dan terencana misalnya Bandara Charles De Gaulle dibenahi metode keamanannya dan dilengkapi dengan penambahan jumlah pemidai orang dan barang serta kamera pemantau, dengan biaya 20 juta dollar. Bandara Munich membuat program peningkatan senilai 5,3 juta Dollar, Nairobi senilai 3,4 juta dollar dan Tokyo Narita senilai 2,6 juta dollar, pada tahun 2002.

Menurut majalah Newsweek terbitan September 12,2011 sejak 2002, dari "security fee" yang diambil dari tambahan 2,5 dollar atau 10 dollar untuk roundtrip per tiket penumpang telah terkumpul 15 Milyar Dollar. Kemudian dana ini dikembalikan kepenumpang dalam bentuk alat dan peralatan pemindai serta pelatihan petugas keamanan agar tecipta mekanisme yang lebih cepat dan nyaman bagi penumpang. Tanpa pengendoran sistiem keamanan di Bandara.

Pada tahun 2010 sendiri Transport Security Agency telah menerima pembayaran dari hasil "security fee" yang masuk dari airport tax dan tiket, sebesar 18 Milyar dollar. Semua biaya itu dikembalikan kepenumpang dan pemilik kargo dalam bentuk modernisasi infrastruktur keamanan bandara. Hal ini perlu dilakukan karena sejak September 2001, kerugian yang terjadi akibat kelambatan penumpang dan kargo yang timbul akibat proses "security check" dibandara telah mencapai 100 Milayr dollar, untuk seluruh Bandara Amerika.

Secara bertahap, bertingkat, berjenjang dan berkesinambungan Indonesia sebagai anggota ICAO patut mengikuti jejak dunia Internasional tersebut, untuk terus memperbaiki tingkat keselamatan dan keamanan penerbangannya.

Dalam membuat tulisan ini , rujukan yang digunakan adalah :"The 9/11 Commision Report, USA Official Goverment Printing Office edition";"Terrorism and Homeland Security, Philip Purpura,Elsevier, 2007; "The Convention on International Civil Aviation, Annexes 1 to 18, ICAO " (salam Jusman SD)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun