Mohon tunggu...
Justinus Paat
Justinus Paat Mohon Tunggu... -

Mahasiswa STF Driyarkara

Selanjutnya

Tutup

Politik

Forum London, Khadafy, dan Masa Depan Libya

11 April 2011   02:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:56 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hasil konferensi internasional terkait krisis Libya, Selasa (29/3) di London memutuskan bahwa Moammar Khadafy dan rezimnya tidak lagi mendapat legitimasi dari masyarakat Libya. Forum ini menyatakan bahwa rezim Khadafy benar-benar sudah kehilangan legitimasi dari rakyat dan bertanggung jawab atas tindakannya. Khadafy diminta untuk mengasingkan diri dari Libya agar krisis Libya segera berakhir dan memulai proses politik pasca-Khadafy. Konferensi yang dihadiri oleh oleh 35 negara, Liga Arab, Uni Afrika, NATO dan PBB sama sekali tidak membicarakan rencana untuk mempersenjatai kubu oposisi. Tetapi ada indikasi hal ini bisa mereka lakukan untuk menghentikan Khadafy.

Rekomendasi ini membuat posisi Khadafy semakin terjepit. Hanya ada dua pilihan bagi Khadafy, yakni menerima atau menolak rekomendasi ini. Jika Khadafy menerima rekomendasi ini maka dia akan hengkang dari Libya dan terjadi genjatan senjata. Tetapi, jika dia menolak rekomendasi tersebut maka solusi militer akan ditempuh untuk menaklukan rezim Khadafy.

Khadafy memang sulit bertahan dari tekanan internasional baik secara militer, ekonomi dan diplomasi. Selain itu, sudah ada gejala-gejala perpecahan dalam kubu Khadafy sendiri. Menteri Luar Negeri Libya, Mussa Kussa membelot dari pemerintahan Khadafy dan mencari suaka di Inggris. Menurut Meteri Luar Negeri Inggris, William Hague, pembelotan tokoh senior ini merupakan sinyalem bahwa pemerintahan Khadafy mengalami perpecahan. Pembelotan ini juga dapat mendorong terjadinya pembelotan-pembelotan lain dalam kubu Khadafy sendiri. Jika Khadafy tetap melakukan perlawanan bukan tidak mengkin, dia akan mengalami nasib seperti Saddam Hussein dan Libya menjadi Irak yang kedua bagi tentara sekutu. Oleh karena itu, forum internasional ini mendorong Khadafy menerima rekomendasi ini agar terjadi genjatan senjata. Dengan demikian krisis Libya bisa berhenti dan mereka bisa memulai proses politik pasca-Khadafy.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana masa depan Libya pasca-Khadafy? Memang salah satu isu utama dalam forum London adalah isu tentang masa depan Libya pasca-Khadafy. Dewan Nasional Transisi Sementara (PTNC) Libya yang mewakili kelompok oposisi menyebarkan siaran pers tentang masa depan Libya pada forum tersebut. Dewan yang dipimpin oleh Mustafa Abdel Jalil menginginkan negara yang demokratis. Dalam negara ini, mereka akan membangun negara sipil konstitusional yang menjamin kebebasan beragama serta menolak sikap intoleransi, sikap radikal, dan kekerasan.

Apa yang digagas oleh PTNC tentang masa depan Libya menimbulkan sejumlah pertanyaan dan masalah. Pertanyaan dan masalah ini terkait dengan beberapa hal berikut. Pertama, apakah masa depan Libya yang digagas oleh PTNC mengakomodasi seluruh kepentingan masyarakat Libya? De facto, ada masyarakat Libya yang menginginkan kebebasan yang berbasis Al-Quran. Namun, ada juga sebagian kecil ingin membentuk persatuan bangsa Arab dengan moto, "Tiada Tuhan selain Allah." Perbedaan tentang masa depan ini bisa menyulut perpecahan dalam kubu oposisi. Kedua, kelompok oposisi sendiri belum solid terutama belum adanya pemimpin tunggal dan yang menjadi panutan. Meskipun Mustofa Abdel Jalil, mantan menteri kehakiman, memimpin lembaga "transisi sementara". Tetapi, pada 22 Maret 2011, dewan nasional oposisi mengumumkan pembentukan pemerintahan transisi di bawah Mahmoud Jibril, seorang ekonom didikan AS, yang dahulu pernah menjadi sekutu Saif Islam, anak Khadafy. Tidak jelas, bagaimana hubungan dan pembagian tugas serta tanggung jawab di antara kedua tokoh itu. Selain itu, tidak jelas juga siapa yang menjadi komandan tertinggi oposisi dalam pertempuran melawan tentara pemerintah. Ada yang menyebut komando perang di bawah pimpinan Jenderal Abdel Fatah Younis, mantan Menteri Dalam Negeri. Yang lain menyebut komandannya adalah Jenderal Omar Hariri, yang pernah memimpin kudeta gagal terhadap Khadafy tahun 1975. Dan, yang lain lagi menyebut Jenderal Khalifa Heftir, tokoh oposisi yang baru pulang dari pengasingan.

Ketiga, intervensi dari Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya harus tetap dijaga dan diawasi. Setelah mereka menggulingkan Khadafy, kemungkinan besar mereka akan mendorong pemimpin yang pro-Barat untuk memimpin Libya. Dengan adanya pemimpin yang pro-Barat maka bisa mengamankan kepentingan negara asal mereka dalam kaitan dengan pasokan minyak dari Libya dan juga bisa mengendalikan harga minyak. Apalagi banyak elite Libya dalam PTNC mempunyai latar belakang pendidikan Barat. Jika Amerika Serikat dan sekutunya mengintervensi pemilihan pemimpin Libya, bukan tidak mungkin hal ini bisa menimbulkan perpecahan dalam kubu oposisi dan perang saudara pun terjadi di Libya.

Masa depan Libya sebenarnya ada pada masyarakat Libya sendiri. Intervensi asing hanyalah untuk menjamin agar proses pencapaian masa depan Libya itu berjalan dengan damai dan tanpa kekerasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun