Mohon tunggu...
Justin Ridwan
Justin Ridwan Mohon Tunggu... Mahasiswa - UB '20

Mahasiswa Universitas Brawijaya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Antara Keberagaman dan Perpecahan

18 April 2021   16:28 Diperbarui: 18 April 2021   16:48 847
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keberagaman dan perpecahan, merupakan dua unsur yang perlahan kian menunjukkan korelasinya. Menyusul beragam peristiwa pelanggaran kebebasan beridentitas di Tanah Air, sudah menjadi konsumsi sehari-hari bagi mereka yang giat menatap layar informasi. Terlebih lagi, bagi mereka yang merupakan aktor, korban, dan saksi mata yang langsung merasakan panasnya api kebencian di tanah kelahirannya. 

Tidak ada satupun insan yang menyangka, bahwa perbedaan identitas dalam kehidupan akan menjadi faktor utama runtuhnya bangsa yang tengah dipijaknya saat ini. Melalui tulisan ini, kita akan membahas suka duka kemajemukan di Indonesia, menyangkut penjaminan hak asasi manusia oleh negara dan pentingya memunculkan kesadaran masyarakat akan keberagama

       Sebelumnya kita mengetahui bahwa corak agama dan budaya adalah bagian dari jiwa bangsa Indonesia yang telah eksis dalam sejarah perkembangan lahirnya Bumi Ibu Pertiwi. Sebab pada dasarnya, keberagamanlah yang selama ini melengkapi ruang persatuan dan kesatuan masyarakat dalam memperjuangkan kebebasan dari belenggu kolonialisme dan imperialisme bangsa asing. Maka dari itu, perjuangan akan freedom yang diimpi-impikan oleh rakyat Indonesia tertuang dalam semangat dan kesadaran kebhinekaan, atau keberagaman.

       Dengan begitu, kemerdekaan yang telah diraih sejatinya bersifat universal atau layak untuk diterima oleh seluruh masyarakat Indonesia tanpa mengenal adanya perbedaan identitas dari golongan apapun. Terutama dalam urusan beragama, dimana seluruh pemeluk agama memiliki hak untuk merdeka atas nama bangsa dan juga kepercayaannya. Di Indonesia sendiri, terdapat beberapa agama atau kepercayaan yang diakui, antara lain Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Chu. Semua agama merepresentasikan kemajemukan yang diasaskan dalam Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Tepatnya pada Sila ke-1 Pancasila yang menekankan prinsip Ketuhanan, dimana seluruh rakyat Indonesia diperkenankan untuk menjunjung tinggi nilai keagamaan dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara.

       Kebebasan memeluk agama yang pada dasarnya merupakan hak asasi manusia, telah dijamin oleh negara melalui konstitusinya. Pada pasal 28E ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa:

Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyataan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

       Selain itu, jaminan terhadap kebebasan warga negara dalam memeluk kepercayaan juga tertuang dalam Pasal 29 ayat (2), dimana disebutkan bahwa:

Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

       Melalui kedua pasal tersebut, kita dapat mengetahui betapa giatnya negara dalam memberikan kebebasan bagi rakyatnya dalam memilih dan memeluk agama sesuai dengan kepercayaannnya. Hal ini dapat diketahui dari seluruh amandemen yang dilakukan terhadap Undang-Undang Dasar 1945, tidak ada satupun pasal kebebasan beragama yang mengalami perubahan, baik tujuan maupun maksudnya. Konsistensi dalam memberikan jaminan bagi masyarakat untuk memeluk suatu kepercayaan merefleksikan wujud keseriusan negara dalam menciptakan toleransi dan kedamaian sosial antarindivdu maupun kelompok.  

       Kemudian berdasarkan pasal-pasal dalam UUD 1945, pemerintah mengatur lebih lanjut perihal hak asasi manusia, khususnya hak beragama dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi:

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persanaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.

       Berbagai aturan di atas, sejatinya mengajak kita untuk senantiasa menghormati keberadaan kepercayaan lain dan memanfaatkannya sebagai pedoman serta kiblat untuk terus bersatu padu memelihara kedaulatan bangsa. Dalam mewujudkannya, masyarakat perlu memahami eksistensi Hak Asasi Manusia yang terdapat dalam dirinya sendiri dan juga orang-orang di sekitarnya. Dengan memahami keberadaan HAM, kita dapat memaknai serta mengklasifikasikan aspek-aspek dalam ruang sosial dan individu. Mana yang merupakan ranah individu, dan mana yang menjadi tanggungjawab bagi kita sebagai masyarakat yang hidup dalam kondisi sosial multikultural dan multiagama.

       Hak Asasi Manusia diartikan sebagai hak yang dimiliki seseorang karena Ia adalah manusia. Dengan kata lain, hak tersebut diberikan kepada individu karena martabatnya sebagai seorang manusia tanpa memandang latar belakang khusus apapun, baik yang dibawanya sejak lahir maupun yang ditanamkan kepadanya. Meskipun pada dasarnya kebebasan beragama merupakan salah satu unsur utama dalam hak asasi manusia, namun perlu diketahuii bahwa kebebasan yang dimiliki oleh setiap manusia dalam memeluk agama "dibatasi" oleh hukum nasional maupun internasional. Pembatasan tersebut mengacu pada seberapa jauh kekuatan suatu agama untuk dimanfaatkan oleh pemeluknya untuk mendominasi pemeluk kepercayaan lain melalui tindakan-tindakan yang tidak manusiawi. 

         Di Indonesia, pengawasan terhadap kebebasan beragama perlu dipertegas mengingat jarak perbedaan jumlah masyarakat yang memeluk salah satu agama dengan agama lainnnya terlampau jauh. Dengan begitu, kondisi kesenjangan tersebut menyimpan potensi masyarakat dengan agama superior untuk mendominasi agama lain dalam berbagai aspek kehidupan. Agama yang superior ditunjukkan pada suatu kepercayaan yang memiliki jumlah penganut terbanyak atau mayoritas dalam sebuah negara, sehingga kehidupan masyarakatnya banyak dipengaruhi dan bergantung pada nilai-nilai dari agama tersebut. Sebut saja Islam di Indonesia, yang mendominasi populasi penduduk Indonesia dengan persentase mencapai 87% dari total penduduk. Dengan jumlah yang sedemikian banyaknya, konflik yang terjadi antarumat beragama di Indonesia dapat ditemukan di hampir seluruh wilayah dan penjuru Tanah Air.

       Konflik didefinisikan sebagai pertentangan yang terjadi antara individu atau kelompok dalam meraih tujuan yang sama. Tujuan yang dicapai oleh kedua belah pihak dapat berupa legitimasi atas dominasi, pemahaman, wilayah dan lain sebagainya. 

Namun tidak semua konflik berdampak buruk terhadap kehidupan. Konflik yang bersifat membangun serta menciptakan perubahan yang lebih baik disebut sebagai konflik konstruktif. Sementara konflik yang bersifat merusak dan menimbulkan perpecahan disebut sebagai konflik destruktif. Konflik beragama yang terjadi di Indonesia umumnya dipahami sebagai konflik destruktif, sebab terjadi antara satu agama dengan agama lainnya dengan memunculkan perdebatan yang berujung pada aksi-aksi diskriminasi dan anarkisme sehingga berpotensi menimbulkan perpecahan.

       Mencaci dan menyerang individu atau kelompok berdasarkan agamanya termasuk dalam pelanggaran hak beragama yang terdapat dalam Hak Asasi Manusia. Terlebih, apabila sampai memakan korban jiwa, maka dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia yang sangat berat dengan konsekuensi yang berat pula.

        Indonesia dengan keberagamannya, menjadi ladang empuk bagi para provokator maupun pihak-pihak yang tidak menyukai keberadaan agama lain untuk melancarkan aksinya. Dari tahun ke tahun, Indonesia mengalami kenaikan kasus pelanggaran hak kebebasan beragama. Peningkatan tersebut dikaji berdasarkan catatan Komnas HAM yang dimana berperan sebagai lembaga pengawas Hak Asasi Manusia di Indonesia. 

Dilansir dari Kompas.com (2020), terdapat 23 aduan yang diperoleh Komnas HAM dari awal hingga akhir tahun 2019 terkait dengan pelanggaran hak kebebasan beragama.[4] Kenaikan kasus dapat diidentifikasi dari jumlah kasus tahun-tahun sebelumnya yang hanya berjumlah sekitar 21 pengaduan. Sementara angka-angka yang disajikan oleh Komnas HAM merupakan pelanggaran yang dicatat dan direkap secara resmi dan tidak mewakili kasus-kasus pelanggaran hak beragama di seluruh penjuru Indonesia yang tidak terendus atau tidak tercatat. Sehingga jumlah pelanggaran hak beragama secara keseluruhan sudah pasti lebih banyak dari yang kita perkirakan.

       Banyaknya kasus pelanggaran hak beragama seakan membuat Indonesia terjebak dalam perpecahan yang diciptakan oleh rakyatya sendiri. Corak masyarakat yang sebelumnya hanya merupakan faktor pembeda horizontal, bertransformasi menjadi sumber kekuatan yang berpotensi melahirkan perpecahan dan mengancam kedaulatan bangsa. Kata "persatuan" yang selama masa meraih kemerdekaan digaung-gaungkan oleh para pendiri bangsa, telah dirombak menjadi kata "benci" oleh orang-orang yang tidak menyukai keberagaman di Indonesia. 

Tanpa ragu, mereka memanfaatkan agama dan identitas lain demi kepentingannya masing-masing. Ditambah lagi dengan kelompok lain yang pada dasarnya berniat menciptakan perpecahan dan mengambil alih kekuasaan negara. Di mata mereka, tidak ada lagi ruang bagi kepercayaan lain untuk tinggal bersama dengan mereka. Hak asasi bukan lagi satu hal yang dipikirkan, sebab tidak ada nila-nilai kemanusiaan yang diutamakan dalam kasus-kasus pelanggaran hak beragama. Kebencian dan niat untuk mendominasi, didayagunakan sebagai kunci bagi orang-orang intoleran dalam menghancurkan cita-cita bangsa Indonesia.

       Cita-cita yang selama ini didambakan oleh bangsa Indonesia nampaknya memang jauh dari harapan. Sebab pada akhir Maret 2021 lalu, Indonesia dikejutkan dengan rentetan peristiwa terorisme, meliputi pengeboman di sebuah gereja di Makassar dan penodongan di Markas Besar Polri. Mereka melancarkan aksinya dengan mengatasnamakan agama dan kelompok tertentu.

       Sebagaimana dilansir dari Kompas.com, pengeboman terjadi pada hari Minggu tanggal 28 Maret 2021, tepatnya pukul 10.20 WITA.[5] Saat itu, umat Kristen baru saja selesai melaksanakan ibadah Misa Pagi di Gereja Katedral Makassar. Pengeboman Gereja Katedral Makassar telah menambah daftar panjang kasus kebencian berwujud terorisme yang mengatasnamakan agama. Maraknya kasus serupa membuat orang-orang takut untuk beribadah di luar rumah. Tidak hanya di gereja, tetapi juga di masjid, vihara, dan tempat peribadatan lainnya. Selain tidak berperikemanusiaan, aksi teror yang dilakukan terhadap agama tertentu jelas-jelas melanggar konstitusi dan termasuk ke dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia yang paling berat. 

       Selain itu, aksi terorisme juga dilakukan oleh seorang perempuan di Markas Besar Polri pada akhir Maret 2021 lalu.[6] Menurut keterangan pihak berwenang, perempuan tersebut merupakan seorang teroris yang berideologi radikal ISIS, dibuktikan dari beberapa unggahan pelaku di media sosial. Kerabat dan masyarakat yang tinggal di sekitar tempat tinggal pelaku mengakui bahwa Ia adalah sosok yang pendiam dan cenderung tertutup. Namun tidak disangka, dibalik sosoknya yang demikian terdapat sosok lain yang lebih ganas, hingga menimbulkan kekacauan dan potensi disintegrasi yang lebih luas lagi. 

Namun pada dasarnya memang itulah tujuan para teroris melakukan tindakan penyerangan, bukan lain menciptakan kegaduhan dan perpecahan. Akan tetapi, tidakan tersebut bukanlah sesuatu yang patut diwajari dan maklumi oleh seluruh lapisan masyarakat di Indonesia, bahkan internasional. Selain mengancam kedaulatan negara, aksi tersebut juga mengancam runtuhnya harmonisasi kemajemukan yang ada di Indonesia.

       Segala bentuk ancaman dan kekerasan yang ditunjukkan kepada agama lain dapat dinilai sebagai perbuatan yang tidak dapat ditoleransi, meskipun telah disertai dengan pembelaan yang disusun secara apik dan menggugah. Tindakan kriminal yang melibatkan agama apalagi melanggar Hak Asasi Manusia tidak dapat dianggap remeh. Dalam sebuah negara yang merdeka, pemberontak dianggap sebagai musuh negara yang patut menerima hukuman terberat. Dijelaskan dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008, bahwa setiap orang yang melakukan tindakan kekerasan hingga menimbulkan suasana teror akan terkena sanksi penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun, penjara seumur hidup, atau pidana mati.

       Memang benar, bahwa tidak ada satupun agama yang mengajarkan keburukan, apalagi sampai mengajarkan paham terorisme yang mengancam nyawa orang-orang tidak bersalah. Perlu kita ketahui, bahwa suatu agama tidak tumbuh tanpa adanya subjek atau manusia yang memeliharanya. Tidak ada satupun agama yang akan dimanfaatkan dalam berbagai aksi tersebut, apabila mereka tidak menggagasnya. 

Dengan kata lain, manusia sebagai orang-orang yang menjalankan aturan, dengan mudahnya merombak dan menanamkan paham-paham yang tidak sesuai dengan ketetapan Tuhan lalu memanfaatkannya untuk kepentingan sepihak. Contohnya seperti ISIS di Indonesia yang memanfaatkan kemajemukan beragama untuk menyebarkan teror kebencian, sehingga membuat rakyat ketakutan. Selain untuk menciptakan ketakutan, orang-orang yang melakukan aksi-aksi tersebut umumnya menginginkan legitimasi atas dominasi terhadap pihak lain, terutama pemerintah. Bahkan, mereka ingin mengambil alih kekuasaan pemerintah untuk menciptakan "negara"-nya sendiri.

       Sudah semestinya kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia memahami arti penting toleransi dan keberagaman. Kita tidak hidup sendiri dengan kepercayaan yang kita anut. Dunia ini tidak berjalan tanpa adanya campur tangan dari seluruh pihak dengan latar belakang yang beragam. Jika kita ingin menciptakan Indonesia yang damai dan subur akan toleransi, maka kesadaran akan keberagaman tersebut perlu ditanamkan sejak dini oleh seluruh masyarakat Indonesia. Dengan demikian, konflik merusak yang mengatasnamakan identitas tidak akan terulang kembali di masa yang akan datang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun