Mohon tunggu...
Justin Evan Halim Saputra
Justin Evan Halim Saputra Mohon Tunggu... Aktor - Siswa

Suka bermain billiard

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Arti Toleransi dalam Sebuah Pondok Pesantren

19 November 2024   18:52 Diperbarui: 19 November 2024   20:06 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Agama melarang adanya perpecahan, bukan perbedaan..." 

Quotes dari Gusdur ini menegaskan bahwa agama hadir untuk menciptakan kedamaian dan persatuan, bukan untuk memecah belah. Perbedaan adalah hal wajar yang menunjukkan keindahan keberagaman manusia. Namun, saat perbedaan disalahartikan dan menimbulkan konflik, itu bertentangan dengan esensi agama. Maka, tugas kita adalah menjadikan perbedaan sebagai jembatan untuk saling memahami, bukan sebagai tembok yang memisahkan. Agama memanggil kita untuk bersatu dalam cinta, bukan terpecah karena ego.

Kebutuhan Sebuah Bangsa

Satu hal yang langsung terlintas ketika berbicara tentang toleransi adalah bahwa Indonesia sangat membutuhkan nilai tersebut. Sebagai bangsa yang kaya akan keberagaman, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menjaga persatuan di tengah perbedaan.

Toleransi bukanlah sesuatu yang datang begitu saja. Ia membutuhkan usaha, kesadaran, dan niat baik dari setiap individu. Toleransi dimulai dari hal-hal sederhana, seperti menghargai pendapat orang lain, mendengarkan tanpa menghakimi, dan memahami bahwa perbedaan adalah hal yang wajar dalam kehidupan.

Namun, kita sering kali terjebak dalam rutinitas dan kebiasaan yang membuat kita lupa akan nilai-nilai dasar tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari, saya sering merenungkan, sejauh mana kita telah menerapkan toleransi, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Apakah kita benar-benar menerima perbedaan dengan lapang hati, atau hanya berpura-pura menerimanya agar terlihat baik? Pertanyaan-pertanyaan ini selalu mengingatkan saya bahwa toleransi bukan sekadar menerima, tetapi juga memahami dan merangkul keberagaman itu sendiri.

Masih banyak masyarakat Indonesia yang kesulitan menerima perbedaan, bahkan dalam hal-hal yang seharusnya bisa dipahami dengan kepala dingin. Media sosial sering menjadi ajang perpecahan. Contoh sederhananya adalah ketika seorang non-Muslim mem-posting dirinya sedang makan babi, sesuatu yang haram bagi umat Islam. Alih-alih merespons dengan pemahaman atau diskusi santun, postingan tersebut malah memicu hujatan, cercaan, hingga ancaman neraka.

Toleransi di sini bukan sekadar menerima perbedaan, tetapi juga mengapresiasi bahwa setiap individu berhak memilih keyakinan dan gaya hidupnya. Perbedaan tidak akan merugikan siapa pun jika kita memahami bahwa setiap manusia memiliki kebebasan untuk menjalani kehidupannya.

Sering kali, kita terjebak pada asumsi, prasangka, atau rasa iri tanpa benar-benar mencoba memahami keyakinan atau budaya orang lain. Oleh karena itu, alangkah baiknya jika kita mengisi ketidaktahuan tersebut dengan keterbukaan dan dialog. Dari sini, niscaya tumbuh silaturahmi yang didasari kasih sayang dan pengertian.

Sebuah Jawaban Dalam Pondok Pesantren

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun