Selain kasus tersebut, sebuah insiden tragis terkait pedofilisme baru-baru ini terungkap di sebuah pondok pesantren di Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Sebanyak 40 santri laki-laki dilaporkan menjadi korban dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh dua pengajar di pondok pesantren tersebut. Kepolisian setempat telah menetapkan kedua guru sebagai tersangka dalam kasus ini.
Upaya yang dilakukan oleh kepolisian setempat dengan membentuk investigasi internal membuahkan hasil. Tiga di antara 40 korban diduga mengalami sodomi, sementara 37 lainnya diduga mengalami pencabulan. Menurut keterangan salah satu korban, pelaku minta diurut dalam durasi yang lama, tapi malam itu yang bersangkutan hanya meminta sebentar. Alih-alih, guru pesantren tersebut meminta korban dan temannya untuk tidur di ruang tamu kamar pembina pesantren tersebut. Di situlah  tindak pencabulan terjadi.
Perlunya Sebuah Aksi
Tempat yang seharusnya menjadi sarana perlindungan bagi anak-anak yang membutuhkan tempat tinggal justru berubah menjadi sarang trauma bagi mereka. Ruang yang diharapkan dapat memberikan rasa aman dan nyaman kini dipenuhi dengan bayang-bayang ketakutan dan pengalaman pahit yang tak terlupakan. Mereka jadi tidak tahu ingin mempercayai siapa lagi karena orang yang dianggapnya benar pun memiliki sisi gelap yang menjijikan.
Memang tidak semua pondok pesantren dan panti asuhan terlibat dalam praktik seksual yang mencengangkan tersebut. Namun, stigma negatif tetap saja cepat menyebar di kalangan masyarakat, menciptakan keraguan dan ketidakpercayaan terhadap lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi tempat perlindungan.
Akibatnya, anak-anak yang benar-benar membutuhkan bimbingan dan kasih sayang terjebak dalam pandangan skeptis yang tidak adil. Masyarakat perlu memahami bahwa kebanyakan pengajar dan pengasuh di tempat-tempat tersebut adalah individu yang penuh dedikasi, berusaha keras memberikan pendidikan dan perhatian kepada generasi penerus.
 Sangat penting untuk memisahkan antara tindakan segelintir oknum dengan niat mulia banyak orang yang bekerja tanpa pamrih demi kesejahteraan anak-anak. Sayangnya, stigma negatif ini juga berdampak pada mereka yang dengan serius berkomitmen untuk memberikan yang terbaik.
Menghadapi tantangan dan stigma yang sering melanda pondok pesantren dan panti asuhan, kita sebagai masyarakat perlu bersikap kritis sekaligus bijaksana. Dukungan terhadap institusi yang benar-benar berkomitmen pada kesejahteraan anak-anak harus diberikan, sementara pengawasan dan tuntutan pertanggungjawaban kepada mereka yang menyalahgunakan amanah juga perlu diperkuat.Â
Melalui kolaborasi yang solid antara masyarakat, pemerintah, dan lembaga pendidikan, kita dapat menciptakan transparansi dalam pengelolaan tempat-tempat tersebut. Dengan demikian, kita akan mampu menciptakan lingkungan yang aman dan kondusif bagi anak-anak, tempat mereka dapat tumbuh, belajar, dan meraih masa depan yang cerah, penuh dengan nilai kejujuran, kedisiplinan, dan kemanusiaan, tanpa dibayangi oleh trauma masa lalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H