Dahulu, saya juga merupakan orang yang FOMO, yang selalu saja mengikuti tren karena takut ketinggalan. Entah itu dengan membeli barang-barang bermerk prestisius ataupun melakukan aktivitas-aktivitas yang mahal. Hanya saja, sudut pandang saya akan hal duniawi tersebut berhasil diubah ketika saya mengikuti kegiatan live-in yang diselenggarakan oleh sekolah saya, Kanisius.
Sederhananya, live-in adalah kegiatan yang mengharuskan kita tinggal di suatu tempat bersama orang-orang yang belum dikenal sebelumnya. Biasanya, kegiatan ini dilakukan di pedesaan yang terkenal dengan kesederhanaannya.Â
Ketika itu, saya mengikuti live-in di Kota Wonosobo, Jawa Tengah. Bayangkan seberapa jauh jaraknya dari Jakarta, saya bahkan menempuh perjalanan selama sekitar 10 jam nonstop. Namun, seluruh rasa lelah dan capai yang saya alami sepadan dengan nilai-nilai yang saya peroleh dari kegiatan tersebut.
Saya tiba di Wonosobo pada malam hari. Kami langsung diarahkan menuju rumah keluarga pengasuh kami. Rumah yang saya tempati sangat sederhana, dengan interior dan furnitur yang sederhana.Â
Bentuk rumah tersebut mirip dengan pendopo lama, dengan tiang-tiang kayu besar yang kokoh menopang atapnya yang menjulang tinggi. Atapnya terbuat dari genteng tanah liat merah, memberikan nuansa tradisional, sementara ukiran di pintu dan jendela mencerminkan keindahan seni lokal yang khas.
Suasana rumah terasa sejuk karena ruang tamu yang terbuka tanpa sekat terhubung langsung dengan teras, memungkinkan angin sepoi-sepoi masuk dengan bebas sehingga tidak memerlukan pendingin udara.Â
Selain itu, di sana juga tidak terdapat penghangat air atau water heater seperti di perkotaan. Cara kami mandi air hangat di sana adalah dengan memanaskan air pada kompor hingga mendidih.Â
Setelah mendidih, kami mencampurkan air panas tersebut dengan air dingin untuk menciptakan suhu hangat yang pas untuk mandi. Selesai mandi dan beres-beres, kami berkenalan secara singkat dan akhirnya tidur karena sudah mengantuk.
Keesokan harinya, kami pergi ke ladang cabai untuk membantu bapak pengasuh saya memetik hasil panen cabainya. Perjalanan ke ladang terasa sangat menyenangkan meskipun hanya dengan berjalan kaki. Pemandangan Gunung Sindoro dan Sumbing serta udara sejuk yang berbeda dari perkotaan membuat kami bersemangat bekerja di ladang.
Setelah pulang dari ladang, ibu pengasuh kami langsung menyuguhkan makanan. Makanan yang kami makan sederhana, tidak seperti di perkotaan. Kami makan nasi dengan ikan goreng, tempe, tahu, dan sup ayam. Meskipun sederhana, kemampuan memasak sang ibu layak diacungi jempol karena bisa mengubah makanan sederhana menjadi hidangan yang sangat lezat.