[caption caption="anggota fifa"][/caption]
sumber gambar: wikipedia
Â
Gak cukup bermodalkan niat baik doank...
Kembali ke urusan permainan si kulit bundar... Denyut nadi kehidupan persepakbolaan nasional sejak tanggal 17 April 2015 silam nyaris berhenti alias nyaris mati! Penyebabnya cuman satu: Organisasi dan Organisme yang tak lain adalah Ekosistem sepakbola nasional telah dirusak, diporakporandakan dan dikacaukan oleh seorang (yang katanya) Menpora Imam Nahrawi. Dengan dalih "cinta sepakbola nasional", melalui rencana goib "Blue Print dan Roadmap Reformasi Tatakelola Sepakbola Nasional" yang sampai sekarang gak pernah ada wujudnya alias bodong! Semburan slogan-slogan patriotik: libas korupsi! basmi mafia! hentikan praktek pengaturan skor! Stop pemain telat gajian! dan seruan heroik lainnya sampai dengan detik ini terbukti cuman teriakan kosong tanpa langkah nyata. Akibatnya jelas dan nyata: rakyat sepakbola nasional menderita dan sepakbola negeri ini terkucilkan dari pergaulan sepakbola global. Nubuat kompasianer lucu Aldi Doank terbukti dan semakin terbukti, bahwa membangun sepakbola nasional menuju puncak prestasi itu gak cukup dengan modal "Cinta Doank" atau "Niat Baik Doank", apalagi modalnya "niat gak baik".. celakalah semuanya...
Cinta tanpa ilmu itu lemah, Ilmu tanpa cinta itu berbahaya...
Okelah, anggap aja kita terpaksa harus memaklumi "ketidakpatuhan" Imam Nahrawi pada putusan lembaga peradilan resmi dan sah negeri ini yakni PTUN dan PTTUN yang telah menyatakan bahwa SK Menpora tentang pemberian sanksi administratif atau beken dengan istilah pembekuan PSSI keliru dan oleh karenanya harus dicabut dan dibatalkan; kita fokus saja kepada niat baik atau cinta seorang Imam Nahrawi untuk mereformasi persepakbolaan nasional menuju puncak prestasi...
Untuk itu mutlak kita tahu dan paham atau sadar dan mengerti, sebenarnya ada di mana posisi persepakbolaan nasional saat ini di tengah ekosistem persepakbolaan global? Dari peringkat Timnas Indonesia yang berada di posisi 25 terbawah dari 200san negara saja kita bisa tahu lalu tahu diri. Dengan tahu diri, maka kita bisa menyimpulkan apakah kita harus "mengajari" atau "belajar" tentang bagaimana cara membangun organisasi, kompetisi, bisnis dan prestasi sepakbola nasional.Â
Keseimbangan ekosistem persepakbolaan nasional mutlak ekologi atau ilmu pengetahuan dan teknologi yang pasti berimbas pada persoalan ekonominya. Pertanyaan refleksinya: apakah seorang Imam Nahrawi sadar dan mengerti, "ada di mana pusat iptek sepakbola?"Â .. Kalau karena "rasa nasionalisme" lalu katakanlah beliau menyimpulkan bahwa pusat ekologi sepakbola nasional ada di Tim Transisi, maka sudah pasti celakalah persepakbolaan nasional. Dari sisi ini saja kita seharusnya sadar dan mengerti, mengapa lebih dari 200 negara kok sampai rela menjadi anggota FIFA. Karena sejatinya, pusat ilmu pengetahuan dan teknologi sepakbola itu memang ada pada FIFA. Maka, perilaku anti FIFA dengan dalih dipaksakan soal "harga diri bangsa" itu sebenarnya bukan cinta yang sesungguhnya, tapi hanyalah cinta semu atau cinta palsu atau cinta dusta. Kalau Anda sempat, coba saja tanya mbah gogel soal apa saja dusta Imam Nahrawi sejak April 2015 sampai sekarang, pasti Anda akan mengiyakan hal ini.. tentu saja ini gak berlaku bwat kompasianer Mafrunin, Hery dan segelintir lainnya karena bisa jadi mereka ini berkeyakinan, bahwa FIFA lah yang harus belajar dari Tim Transisi... heu heu heu...
Pertanyaan refleksi:
Kalau kita purakpuraknya jadi malaikat: "mana yang lebih berdosa, orang/kelompok yang pernah membuat liga sempalan dan melarang beberapa pemain gabung di Timnas, atau orang/kelompok mengacaukan ekosistem sepakbola nasional dan menguburkan mimpi pemain sepakola dari anak-anak, para remaja, para pemuda dan pemain senior untuk bela negara melalui Timnas?"