Mohon tunggu...
Gaya Hidup Pilihan

Bahwa dalam Hidup Haruslah Ada Perubahan

8 Oktober 2016   21:39 Diperbarui: 20 Oktober 2016   00:25 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

"Mulai kuliah, aku ingin beubah." Itulah kata yang selalu kuucapkan dalam hati. Itu mungkin mudah diucapkan, tetapi melakukannya itu susah bagaikan mengangkat beban 100 kg. Tapi saya juga bingung ingin berubah menjadi apa. Menjadi baik? tegas? saya pun juga bingung. Saya selalu berpikir, apa yang harus kulakukan agar masyarakat dapat menerimaku apa adanya. Membantu orang pasti diomongin, gak dibantuin juga diomongin. Semuanya serba salah pasti ada saja titik dimana orang-orang dapat mecela kita. Memang begitu hidup, banyak sekali kesalahpahaman dalamnya. Saya juga bingung apa yang harus dilakukan. Selama hidupku, banyak sekali percobaan yang menghambatku dalam mengubah diriku. Saya selalu berjuang untuk mengatasinya, tetapi ada saja setan-setan yang menarikku dari perubahan itu. Saya sudah mengalami hal ini dari SD sampai saya masuk kuliah ini. 

Selama SD, saya termasuk anak yang introvert dimana saya sulit sekali melakukan sosialisasi dengan orang lain. Itu lebih menantang dibandingkan dengan pelajaran-pelajaran di sekolah. Saya lebih suka menyendiri, makan sendiri, belajar sendiri, dan bermain sendiri. Orangtuaku sampai khawatir dengan kondisiku yang selalu menyendiri dan menyuruhku untuk bersosialisasi dengan teman-teman sekolahku. Pada awalnya, saya menolak nasehat orangtuaku karena saya tidak menyukainya.

Tetapi setelah dipikir-pikir, rugi juga kalau tidak ada teman. Bagaimana kalau ada tugas kelompok dan acara kebersamaan? Siapa yang akan menemaniku? Siapa yang dapat diajak tertawa bersama? Akhirnya sayapun berubah untuk bersosialisi bersama teman-teman. Saya menunjukkan sikap ramah dan tersenyum pada teman-temanku.Memang pada awalnya hal ini berjalan dengan baik, tetapi setelah bertahun-tahun saya berasa dimanfaatkan karena terlalu rendah hati pada yang lain. Saya tidak jarang dibully oleh temanku dan mempermainkan perasaanku. SD itu merupakan tahun terburukku.Saya selalu menangis dan malu untuk memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi pada orangtua karena gengsi saat itu jika melapor ke orangtua maka dibilang "banci". Melihat kondisi ini, saya tidak mau dipermainkan seperti ini. Saya bagaikan boneka yang bisa diperlakukan apa saja sesuka hati. Menurutku menjadi baik itu sia-sia jika tidak dihargai, maka saat itu saya merubah sikapku menjadi anak yang sangat kasar. Saya akan melakukan apapun agar saya tidak mengulangi peristiwa ini.Apakah hal ini merubah sikap teman-temanku? Tentu saja tidak, mereka justru menjauhiku dan bergosip ria. Memang tidak diganggu lagi, tetapi saya juga tidak punya teman samasekali. Jujur saja, jika bisa menghapus memori, saya akan menghapus memori masa-masa SD suram ini. Sendirian, dipermainkan. Oh, the irony.

Setelah lulus SD, saya berbicara dengan orangtua agar dapat dipindahkan dari SMP yang lebih bermoral anak-anaknya. Tidak ingin SMP ditempat yang sama lagi karena bakal ketemu dengan teman-teman SD. Pada saat point itu saya bertekad akan memiliki teman baik. Saya tidak akan mengulang kejadian SD dahulu dan move on dari yang lama. Kejadian terbaik akhirnya terjadi juga, saya memiliki teman di SMP yang banyak. Bahkan baru pertama kali saya merasakan geng dalam hidupku. Mungkin terdengar lebay, tetapi baru pertama kali saya merasa kebahagiaan dalam bersosialisasi.HP isinya BBM dari teman-teman dan berbagai sosial media saya berbincang dengan teman-temanku tanpa dicela. Tetapi semuanya tidak bejalan dengan lancar. Ketika kelas 8, saya melakukan kesalahan yang menyebabkan aku dihukum oleh guruku. Saya merasa dipermalukan karena disaksikan oleh teman-temanku. Karena hal itu, saya diejak oleh teman-temanku. Betul kata orang bahwa hidup itu bagaikan rollercoaster yang naik-turun. Tetapi ini berbeda, roller coaster ini turun merosot terus menerus tanpa henti. Kejadian ini terus terjadi sampai kelulusanku di SMP. Ya, mungkin ini lebih baik dibandingkan peristiwa SD tetapi saya juga berasa sedih diejek temanku seperti ini. Mereka mungkin berpikir bahwa hal ini biasa tetapi menurutku hal ini sangat menyakitkan. On the bright side, saya punya beberapa teman baik yang dapat menemani perjalananku selama SMP. Mungkin tidak banyak tetapi merekalah yang mewarnai kehidupanku. Sounds Deja Vu for me.

Pada kejadian ini, saya belajar bahwa dalam kehidupan harus ada perubahan. Hal ini memang sulit dilakukan, banyak percobaan yang menghambat perubahan tersebut. Tetapi ingatlah bahwa Tuhan selalu menyertai kita dalam hidup ini. Percayalah bahwa Tuhan memberikan kekuatan dalam hati kita untuk berubah. Jangan pedulikan orang yang mencaci kita, belajarlah mengampuni sesama. Berubahlah menjadi pribadi yang lebih baik dan berguna untuk masyarakat sekitar. 

Justinus Christian (2016-012-232)

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun