Pada 22 Juli lalu, ketika KPU mengumumkan secara resmi pemenang pilpres adalah pasangan Jokowi-JK, Prabowo Subianto langsung mengumumkan langkah berikutnya dengan menggugat ke MK karena menuding KPU melakukan kecurangan yang Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM). Pernyataan tersebut langsung diaminkan anggota koalisinya. Kita lantas melihat, bagaimana partai koalisinya (Golkar, PAN, PKS, PBB, PPP, dan pada satu waktu, Demokrat) ini bahu-membahu untuk menggemakan tuduhan ini dengan begitu luas. Alih-alih menjadi tenang, suasana politik di negara kita justru makin memanas setelah proses Pilpres. Setelah isu agama dan Obor Rakyat yang dihembuskan pada masa kampanye untuk menjatuhkan lawannya, lahirlah isu-isu yang justru baru mencuat setelah pilpres, mulai dari tuduhan hacker Korea dan Tiongkok, isu PKI, antek asing, sampai pada isu rekening Jokowi di ‘Hong Kong Shangai Bank’. Lewat ‘pesan-pesan’ tersebut, Prabowo cs seakan-akan ingin menyampaikan kepada masyarakat bahwa Jokowi-JK menang dengan cara yang curang. Bahwa Jokowi bukanlah pribadi sebaik apa yang diketahui orang. Bahwa KPU telah keliru memenangkan Jokowi-JK, dan paling tidak, Pilpres harus diulang. Prabowo cs secara implisit ingin mengatakan, bahwa seharusnya merekalah yang menang.
Bagaimana dengan rakyat?
Kita tentu masih ingat, ketika masa kampanye dulu, eskalasi politik yang memanas juga menular ke tengah-tengah kita. Banyak sahabat dekat yang jadi bermusuhan, kakak-adik yang berkelahi, dan bahkan suami-istri yang pisah ranjang gara-gara beda pilihan pilpres, satu No. 1 sedang yang satu No. 2. Hujatan merajalela, debat kusir jadi santapan sehari-hari. Begitu intensnya suasana ketika itu, sehingga bahkan ada yang meramalkan bahwa setelah pilpres akan terjadi kerusuhan.
Alhamdulillah, pada 9 Juli, kemudian 22 Juli, sampai hari ini, tidak ada gejolak yang berarti di tengah-tengah masyarakat kita. Sejak awal pencoblosan, masyarakat tetap beraktivitas biasa. Bahkan ketika Prabowo berorasi di Youtube dengan tujuan menggalang semangat pendukungnya, masyarakat tidak terpancing. Justru, debat kusir yang begitu ramai pada saat kampanye, setelah pilpres justru menurun drastis. Memang ada satu-dua orang yang masih belingsatan di media sosial, tapi secara keseluruhan memang tidak banyak. Masyarakat sepertinya banyak yang menganggap Pilpres sudah selesai pada 9 Juli, atau paling tidak 22 Juli. Malah, yang tadinya berseteru pada saat kampanye, justru telah berekonsiliasi dan berdamai. Hal itu dibuktikan dengan hasil survey mengenai kepuasan Pilpres yang diadakan LSI, lebih dari 70 persen responden menganggap bahwa Pilpres sudah berjalan dengan baik, baik itu pemilih Jokowi atau Prabowo. Layaknya survey, tentu tidak bisa menggambarkan situasi secara tepat, tapi setidaknya, hal tersebut sedikit banyak menggambarkan bahwa Pilpres yang dituduhkan telah dicurangi secara TSM, dinilai banyak orang sudah berjalan dengan semestinya.
Berkaca kepada mantra “siapapun presidennya, kehidupan rakyat tidak akan berubah langsung secara drastis”, sepertinya masyarakat sudah menyadari bahwa masih banyak hal-hal yang lebih penting dari sekedar sengketa Pilpres. Hajatan politik lima tahun sekali kemarin hanyalah sebuah proses yang harus dilalui, dan setelah itu, kehidupan tetap berlangsung seperti biasa. Sepertinya masyarakat sudah lelah dengan semua carut marut ini. Malah yang terjadi, banyak pendukung Prabowo yang kecewa karena setelah kalah, ternyata pihak jagoannya tidak sportif dengan melancarkan tudingan yang membabi buta (beberapa di antaranya teman saya sendiri). Ibaratnya, seorang yang merasa dizolimi dan minta keadilan, justru melakukan hal-hal yang kontra-produktif, sehingga alih-alih mendapatkan simpati masyarakat luas, malah mengundang cibiran. Jadi bukan gugatan Prabowo cs ke MK yang mengundang antipati, karena langkah tersebut sudah sah menurut hukum, melainkan perilaku dan ‘drama’ yang mengiringi langkah tersebut.
Menjelang keputusan MK kemarin, ada yang meramalkan (lagi) kalau Indonesia, paling tidak Jakarta, akan rusuh. Memang, menjelang sore, ada bentrokan kecil yang sempat terjadi, antara polisi dan ribuan pendukung Prabowo yang merangsek mencoba mendekati gedung MK, yang mengakibatkan beberapa di antara massa terluka dibawa ke rumah sakit. Tapi bentrokan kecil bukanlah kerusuhan yang dimaksud. Lagipula pemerintah jauh hari sudah mengantisipasi hal-hal seperti itu. Dan ternyata, ketika MK akhirnya mengetok palu dan menolak gugatan Prabowo cs, memang tidak ada kerusuhan yang dikhawatirkan itu. Entah siapa pendukung Prabowo yang dikatakan rajin berdemo di MK dan bentrok kemarin dengan polisi. Mungkin mereka orang bayaran, atau mungkin juga memang pendukung sebenarnya yang militan.
Yang menjadi pertanyaan, bagaimana langkah selanjutnya kubu Prabowo setelah dinyatakan kalah oleh MK? Mengingat dalam hukum kita, putusan MK adalah sesuatu yang “final dan mengikat” maka sudah seharusnya putusan tersebut menjadi akhir dari segala sengketa pilpres berkepanjangan selama ini. Sudah waktunya Prabowo dan koalisinya menginjak rem setelah terhadang oleh tembok putusan MK di ujung jalan.
Sayang beribu sayang, gelagat yang ditunjukkan menunjukkan bahwa mereka belum mau berhenti. Konon, Prabowo cs masih berencana menggugat via PTUN, MA, bahkan berencana membuat Pansus Pilpres di DPR. Entah apa lagi yang hendak dicari, setelah menerima suatu ‘vonis’ yang sifatnya final dan mengikat. Sepertinya mereka menginjak rem bukan karena hendak berhenti di ujung jalan, tapi hendak mencari jalan lain menghindari tembok.Apakah jalan lain itu berduri, penuh jebakan, atau malah nantinya mengarah ke jurang, mungkin mereka tidak peduli.
Miris, di saat para elit politik ramai-ramai menyuarakan persatuan kepada rakyat sebagai konstituennya, di saat masyarakat sudah jauh-jauh hari kembali bersatu, mereka sendiri justru masih ribut di atas sana. Entah apa yang menjadikan mereka tetap panas ketika rakyat sudah dingin. Kalau mereka mencari ‘keadilan’, memang keadilan manusia adalah keadilan yang terbatas, lalu apakah mereka hendak mencari keadilan Tuhan? Atau mungkin karena kerugian yang telah mereka alami harus terbayar dengan kemenangan, walaupun bagaimana caranya.
Rasanya, sudah saatnya para elite politik belajar dari rakyat. Ironis memang, ketika mereka yang justru diharapkan menjadi suri tauladan bagi rakyat, justru harus mengambil suri tauladan dari rakyat. Mungkin mereka harus benar-benar membuka mata untuk bisa melihat bahwa rakyat pada dasarnya sudah menerima siapapun presidennya.
Pasti bisa, tapi masalahnya, apakah mereka mau?
Salam persatuan Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H