Tak ada gading yang tak retak, begitu bunyi pribahasa yang melegenda sampai saat ini, sebuah pribahasa yang mengandung arti tak ada suatu pekerjaan yang tak ada cacatnya, karena pada dasarnya tidak ada manusia yang sempurna. Pribahasa ini juga berlaku untuk semua aspek kehidupan, tak terkecuali dalam pelaksanaan program pemerintah, PKH (Progran Kekuarga harapan).
Program PKH sejatinya telah dilaksanakan sejak tahun 2007 di 7 provinsi di Indonesia, dan pada tahun-tahun berikutnya terus berlanjut ke seluruh provinsi di Indonesia. Program yang kemudian menjadi primadona karena dianggap mampu memutus rantai kemiskinan dan menaikkan taraf hidup masyarakat Indonesia.Â
Namun begitu, seperti pribahasa di atas, tak ada program yang sempurna, kekurangan itu pasti ada, entah karena keliru dalam pelaksanaanya atau sasaran yang kurang tepat, dan lain lain. Akan tetapi, semua kekurangan selalu ditindaklanjuti oleh pendamping PKH melalui progres yang dilaporkan ke pusat, sehingga tetap ada perbaikan-perbaikan dalam pelaksanaannya.
Sejak dimulainya PKH di Kabupaten Lombok Barat NTB pada tahun 2011 sampai dengan saat ini, pertanyaan-pertanyaan seputar dana bansos PKH selalu muncul.
 kok banyak penerima bansos PKH (Program Keluarga Harapan) tidak tepat sasaran?, kenapa si 'anu' tidak dapat bantuan PKH padahal keluarga miskin?, kenapa kok nominal bantuan yang saya terima lebih sedikit padahal saya lebih miskin dari dia?, kok saya tidak pernah dapat bansos apapun dari dulu?, kenapa pendamping PKH memberhentikan saya padahal saya masih miskin?.Â
Beragam pertanyaan yang seolah menyudutkan pendamping selalu bermunculan, padahal sosialisasi terkait dana bansos PKH sudah seringkali dilakukan, dari tingkat kecamatan sampai dengan tingkat dusun. Lalu apa yang menjadi persoalan?
Menurut hemat penulis, persoalan ini dipicu oleh banyak faktor. Faktor SDM dan karakter masyarakat setempat menjadi faktor terbesar dalam hal ini, termasuk KPM (Keluarga Penerima Manfaat) PKH.Â
Kita harus mengakui fakta bahwa sebagian masyarakat Lombok Barat adalah masyarakat yang memilik SDM yang relatif rendah, hal ini dibuktikan dari adanya KPM PKH yang masih belum memahami regulasi PKH, padahal Pendamping PKH selalu melakukan sosialisasi ke kecamatan, desa dan dusun jika ada informasi  maupun perubahan aturan dalam PKH, bahkan di setiap sesi pertemuan kelompok dan P2K2 (Pertemuan Peningkatan Kemampuan Keluarga) Pendamping selalu menyampaikan hal itu.Â
Akan tetapi, masih saja ada KPM PKH yang belum memahami regulasi terkait PKH. Walaupun demikian, itu menjadi motivasi dan tantangan tersendiri bagi Pendamping PKH untuk lebih sabar dan maksimal lagi dalam proses pendampingan bisnis proses PKH, terutama pada kegiatan P2K2, karena pada kegiatan ini, selain untuk menyampaikan materi-materi yang ada di dalam modul yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan keluarga, juga bisa dimanfaatkan untuk mengedukasi KPM PKH agar lebih memahami regulasi PKH.
Contoh, adanya oknum yang dengan PD-nya melaporkan sesuatu yang dianggapnya melenceng atau menyalahi aturan ke Dinas Sosial atau ke pihak kepolisian tanpa mengonfirmasi terlebih dahulu kebenarannya ke KPM atau Pendamping yang bersangkutan, bahkan tak jarang mereka menyebarkan langsung ke sosial media, namun setelah ditelusuri lebih dalam ternyata hasilnya murni karena kesalahpahaman dan minimnya pengetahuan tentang regulasi PKH.
Hal ini yang perlu menjadi perhatian kita bersama agar semua pihak menyikapinya dengan dingin dan bijaksana. Tidak mudah percaya dan terprofokasi oleh laporan-laporan tanpa dasar dan berita-berita yang belum jelas kebenarannya yang bisa saja mengarah ke berita bohong alias HOAX.