.
[Ladang, 16.35]
.
Seorang lelaki dan keputusan? Apa hubungannya? Mhh, aku tak tahu banyak, tapi yang kutahu ketika seorang lelaki sudah menentukan keputusannya, ia harus memperjuangkannya. Berbeda dengan keputusan-keputusan lalu yang pernah kubuat. Tak sama dengan keputusan memilih jenis bibit untuk tanamanku, memilih jenis tanaman untuk tumpang sariku, atau memilih alternatif pengendalian biologis pengganti bahan aktif kimia herbisidaku. Kali ini keputusan yang harus kuambil bukanlah keputusan biasa. Mhh, senja sudah hampir menjemput hariku. Sudah waktunya mempersiapkan segalanya. Kembali pulang. Ke rumah.
.
[Kamar, 19.30]
.
Malam baru saja bercengkrama dengan penghuni rumah. Aku hanya menyaksikan dari balik sudut kamarku. Ingatanku sepintas membawa pada kejadian sore kemarin. Tatapan kami bertemu dalam temaram senja. Tatapan yang dalam. Kami terdiam, kelu. Waktu pun berputar lama sekali kala itu. hingga akhirnya sepasang senyum terukir di wajah kami. kami paham arti diam tatapan itu.
.
[Ruang Tamu, 19.49]
.
Aku mendapati anggota keluarga lainnya sedang menikmati senda gurau dalam balutan syahdu malam. Tak terkecuali gadis itu. Suasana mendadak hening. Berganti semua mata yang mengarah padaku. Aku paham. Memang selain dengan kebiasanku yang jarang menghabiskan waktuku bersama yang lain. Aku lebih sering berada di dalam kamar atau di teras rumah, sekedar menikmati malam. Malam itu pun penampilanku juga berbeda dengan biasanya. Berbalut kemeja terbaik yang aku punya. Mas Yayok, kepala rumah tangga sekaligus kepala desa di desa ini pun sepertinya paham akan maksudku. Segera ia meminta anggota keluarga yang lain untuk meninggalkan kami – Ia, Mommy dan aku.
“Mhh, sepertinya ada yang ingin kau sampaikan, Dik?” tanya Mas Yayok memulai percakapan.
“Iya, Mas. Mungkin juga Mas sudah mengetahuinya.” jawabku
“Apa ini ada hubungannnya dengan putri bungsu kami? keponakanmu?” tanya lebih lanjut.
“Iya, Mas.”
Percakapan kami berlanjut. Perlahan kujelaskan maksudku. Perasaanku pada gadis itu. Mas Yayok dan Mommy mendengarkan. Sesekali mereka menanggapi.
“Kami sebagai orang tua, terlebih lagi aku juga sebagai Masmu hanya bisa memberikan sedikit pandangan. Apa hal ini sudah kau pikirkan masak-masak? Putriku itu keponakanmu. Meskipun tak ada ikatan darah di antara kalian, tapi apa benar perasaanmu itu lebih dari sekedar paman dan kemenakan?” kembali Mas Yayok melanjutkan.
“Iya, Mas,” jawabku mengangguk.
“Mmhh, Bagaimana menurutmu, Mom?” tanya Mas Yayok kepada Mommy.
“Apa bagusnya kita bicarakan dulu, Mas? Paling tidak ini bukan keputusan yan bisa langsung diambil,” jawab Mommy
“Bailah, Dik. Mungkin Mas coba rundingkan dulu lagi bagaimana baiknya. Mungkin besok malam kita bicarakan lagi.”
“Baiklah, Mas. Kalau begitu aku permisi dulu. Pamit mau ke kamar,” Izinku menyudahi pembicaraan malam itu.
.
[Kamar, 02.16]
.
Mataku masih belum bisa terpejam, pikiranku tak lepas dari apa yang akan kudapat esok malam, resah.
.
*
Salam
.
Menunggu kelanjutan dari Mas Yayok dan Mommy.... :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H