Mohon tunggu...
Arif Hidayat
Arif Hidayat Mohon Tunggu... -

yeehhaaaaaahhh..... udah gak kebalik lagiii :)\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sabrina : Aku Benci Hari Senin!

29 Januari 2011   13:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:04 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[Senin, 29 januari 1979]

.

“Apa kau sudah siap?” tanya Capt. Aris padaku seraya memastikan kesiapanku siang itu.

“Siap, Capt,” jawabku singkat.

“Kali ini jangan kau anggap remeh. Meskipun ia hanya seorang gadis muda, tapi kau harus tetap berhati-hati padanya. Sudah dua orang guru tewas dan delapan orang siswa terluka parah akibat tindakannya. Ingat, lakukan saja seperti biasa kau menanganinya. Lakukan sesuai prosedur, paham?” tampak Capt. Aris berusaha memastikan kesiapanku.

“Baik Capt, saya menunggu instruksi selanjutnya.” Jawabku menenangkannya.

“Semua regu, sterilkan area dalam perimeter siaga. Petugas perunding akan segera memasuki TKP, pastikan semua siap pada posisi!” perintah Capt. Aris pada semua regu melalui radio HTnya.

Melihat semua sudah dalam kondisinya, aku mulai bergerak memasuki TKP. Briefing singkat tadi pagi sudah cukup jelas bagiku untuk mengetahui status dan kondisi saat ini. Sudah 10 tahun kujalani profesiku sebagai petugas perunding di korps ini. Dan ini adalah pengalamanku yang tak terhitung lagi menghadapi situasi seperti ini, hanya saja yang sedikit membedakan kali ini adalah objek yang menjadi target negosiasiku adalah seorang gadis muda yang masih belia. Denah rumah dan posisi gadis itu pun sudah bisa kuketahui. Tepat di pintu halaman rumah tersebut aku berhenti sejenak. Posisi tanganku masih tetap tak berubah dengan kedua lengan kuaangkat ke atas sebagai isyarat bahwa kehadiranku bukan bersifat represif dan ancaman baginya. Diplomasi awalku saat itu adalah meminta izin pada gadis itu agar aku bisa menemuinya.

Sabrina, ini dengan letnan Dhani. Seperti yang kamu lihat, saat ini saya tidak bersenjata, izinkan saya masuk dan berbicara denganmu,” pintaku dengan suara yang agak sedikit keras agar bisa terdengar olehnya.

“Mau apa anda masuk, Opsir? Anda hanya membuang-buang waktu saja!” terdengar jawaban dari balik rumah itu, percis di dalama kamar gadis itu.

“Saya hanya ingin berbicara denganmu, Saya tidak bermaksud melukai atau berbuat sesuatu yang bodoh terhadap dirimu. Saya mohon izinkan saya masuk.”

Ada beberapa saat aku diam dan menunggu jawaban dari gadis itu. Tidak ada jawaban apapun. Sikap seperti ini biasanya kuanggap sebuah bentuk penerimaan. Kuputuskan memajukan langkahku perlahan memasuki halaman rumah itu. Perlahan, masih tak ada respon dari gadis itu. Tinggal beberapa meter lagi aku akan sampai tepat di depan pintu rumah, dan sekitar lima langkah lagi posisiku akan semakin aman karena ruang tembak dari jendela kamar gadis itu akan semakin sulit menjangkauku seandainya ia berubah pikiran atau berbuat sesuatu yang bodoh. Irama langkah masih tetap kujaga, perlahan namun pasti. Tanpa ada gerakan mengancam atau apapun yang bisa dianggap mengintimidasi olehnya. Justru pada saat ini aku hanya berharap pada rekan-rekanku agar tidak ada yang melakukan tindakan ceroboh sehingga dapat merusak keadaan dan malah bisa membahayakan keselamatanku.

Langkah kritis awalku setidaknya sudah berakhir. Posisiku kini tepat berada di depan pintu rumah itu. sesaat sebelum memasuki rumah itu untuk kedua kalinya aku memberi tahu gadis itu perihal kehadiran dan posisiku berada.

“Sabrina, saat ini saya sudah berada di depan pintu. Seperti yang kamu lihat, tidak ada yang lain kecuali saya dan kamu yang berada di rumah ini, jadi kamu tak perlu khawatir,”

Salah satu metode yang biasa kugunakan adalah terus menginformasikan status dan posisiku, setidaknya hal ini dapat membuat gadis itu tahu jelas tentang keberadaanku, dan paling tidak bisa membangun komunikasi dan kepercayaannya kepadaku. Memanfaatkan situasi yang masih terkendali, perlahan kubuka pintu rumah itu dengan tangan kananku sementara tangan kiriku masih tetap terangkat ke atas. Saat ini aku sudah berada di ruangan utama yang biasa digunakan sebagai ruang tamu dan ruang keluarga. Tak lupa kuinformasikan padanya keberadaanku. Tepat di sebelah kiri ruang utama ini, kamar gadis itu, kudengar ada suara seperti benda yang diseret. Aku tak tahu itu benda apa itu, aku hanya bisa menerka seperti suara kursi atau perabot yang tak terlalu berat lainnya yang diseret. Apapun itu setidaknya aku tahu kalau gadis itu sudah bersiap atas kedatanganku. Kuharap bukan sesuatu yang buruk. Belum sempat langkahku menjangkau kamar itu, terdengar langkah kaki dari balik kamar itu, mendekati ke arah pintu. Pintu kamar itu perlahan dibuka dari dalam. Terlihat jelas olehku seorang gadis berusia 16 tahun dengan rambut berwarna keemasan berdiri tegak posisi tangan memegang senjata riffle yang tepat mengarah ke arahku.

“Apa tadi saya katakan kalau saya mengizinkan anda masuk?” tanya gadis itu dengan tatap mata tajam dibalik raut muka yang masih polos itu, tentunya dengan senjata yang tampak kontras dengan penampilannya

“Maaf sebelumnya kalau kedatangan saya mengganggumu. Tapi seperti yang tadi saya katakan kalau saya hanya ingin berbicara, tidak ada maksud lain yang perlu kamu risaukan. Saya mohon letakkan senjata itu,” jawabku dengan nada bicara yang masih terkendali, tak kutunjukkan sedikit rasa khawatirku melihat ia mengacungkan senjata ke arahku. Sesaat gadis itu terdiam, lalu tak lama ia tersenyum. Entah apa arti senyumannya itu, tapi setidaknya instingku masih belum merasakan sesuatu yang mengancam

“Apa anda mengira saya akan menembak anda? Entahlah saya pun tak tahu pasti apa saya akan menembak anda atau tidak. tapi yang pasti saat ini menembak anda rasanya bukan hal yang menarik bagi saya. Masuklah, bukankah itu tujuan anda datang ke sini?” ajak gadis itu mempersilahkanku masuk ke dalam kamarnya.

Gadis itu menepi dari pintu dan dengan gerakan tangannya ia memberikan isyarat agar aku masuk terlebih dahulu ke dalam kamarnya. Perlahan aku beranjak menuju ke dalam kamar itu. tepat di samping jendela, terdapat sebuah kursi yang yang menghadap sisi dinding yang lain dan kursi yang lainnya yang mengahdap kusris di dekat jendela itu. Kurasa suara yang kudengar tadi adalah suara gadis itu mengatur letak kursi-kursi itu. Gadis ini mempersilahkanku duduk di kursi yang berada di samping jendela dan ia mengambil posisi duduk di kursi lainnya yang menghadap posisi dudukku.Dari peletakkannya rupanya ia sudah mempersiapkan segala sesuatunya, mulai dari posisi kursiku yang diletakkan di samping jendela yang juga kebetulan tepat membelakangi pintu, dan kursi tempat ia duduk yang sejajar dengan pintu dan kursi tempatku duduk. Ia sudah meperhitungkan kemungkinan adanya penembak jitu yang mencoba menembak melalui celah jendela, dan untuk itu ia jadikan diriku sebagai tameng sehingga penembak jitu tentunya tidak akan berani mengambil tindakan tanpa adanya kemungkinan mengenaiku, begitu pula dengan posisi ia duduk yang juga menghadap pintu dan posisiku duduk, tebakanku kurasa ia mencoba mengantisipasi adanya anggota polisi yang tiba-tiba masuk dan lagi-lagi ia menjadikanku penghalang apabila terjadi baku tembak dan tentu saja ia juga dapat bersiap apabila ada serangan tiba-tiba dari arah pintu. Cerdas, gadis muda ini rupanya bukan tipe gadis-gadis muda seusianya pada umumnya.

“Apa kamu akan terus mengacungkan senjata itu terus ke arah saya?” tanyaku pada gadis ini.

“Tergantung, tergantung apakah anda bisa membahyakan saya atau tidak,” jawabnya curiga.

“Saya tidak bersenjata, bukankah kamu melihat itu, Sabrina?”

“Bisa buka jaket anda, Opsir?” Pintanya yang terpaksa kuturuti, dan memang kali ini aku tak membawa senjata sama sekali, terpaksa kuturuti agar ia bisa percaya padaku.

“Juga dengan rompi pelindung itu,” pintanya lagi. Terdiam aku mendengar permintaannya. Jujur saja hal ini agak sedikit berat untukku, tak bersenjata bukannya berarti aku mengabaikan keselamatanku sendiri.

“Apakah anda mengira saya akan menembak anda? Lagipula bisa jadi anda menyembunyikan senjata anda di balik rompi itu. siapa yang tahu?” sambungnya setelah menangkap diamku.

“Baiklah asal kamu mau meletakkan senjata yang kamu pegang itu,” jawabku. Gadis ini mengiyakan dengan anggukan dan meletakkan senjatanya di sisi dinding, segera kulanjuti dengan melucuti diriku sendiri, beruntung ia tidak mengetahui microfon yang tersembunyi di balik bajuku.

“Baiklah, Opsir, sekarang kita sudah bisa berbicara seperti apa yang anda mau,” tegasnya setelah melihat aku melepaskan rompiku, “Apa yang ingin anda bicarakan?” sambungnya lagi.

“Tentang kejadian tadi pagi,” jawabku memulai pertanyaanku

“Maaf, Opsir, Saya tidak ingin membicarakan hal itu.”

“Kalau begitu maukah kamu ikut keluar dengan saya, dan kita selesaikan masalah ini dengan baik-baik.”

“Kalian akan menghukum saya?” tanyanya.

“Maaf Sabrina, Saya tidak bisa mengatakan itu tidak.”

“Saya tahu itu kok.”

“Lantas, kalau boleh saya tahu, kenapa kamu melakukan hal itu, maksud saya, alasan kamu menembaki siswa-siswa SD itu?” tanyaku pada gadis ini.

Sesaat ia terdiam. Entah apa yang ada di pikiran gadis muda ini. Seperti ada sesuatu dorongan yang membuat ia melakukan tindakan gila itu.

“Opsir Dhani, apakah anda menyukai hari Senin?”

“Hari Senin? Entahlah, kadang saya menganggap hari Senin sebagai awal dari kehidupan di minggu-minggu berikutnya, dan saya akan semakin bersemangat untuk itu. Kadang kala saya juga benci hari Senin, sebagian karena rutinitas yang harus saya jalani kembali setelah weekend yang rasanya masih belum cukup dan memaksa saya kembali ke pekerjaan.”

“Apa yang anda lakukan ketika anda merasa malas dan tidak bersemangat di hari Senin?” tanyanya kembali.

“Biasanya saya selingi dengan kegiatan yang ringan jika kalau ada waktu dan memungkinkan, seperti bermain game di komputer atau menghabiskan waktu makan siang sedikit lebih lama dan berbincang dengan rekanku di pub atau cafe, selebihnya akan berjalan normal seperti biasa,” aku coba menjawab pertanyaannya.

“Anda tahu, Opsir Dhani? Sama seperti anda, kadang saya pun tak suka dengan hari senin, seperti hari ini. Entah kenapa saya begitu melihat hari ini sangat tidak menarik, penuh kebosanan di dalamnya. Saya ingat dulu sewaktu kecil, ayah sering mengajak saya berburu. Ia biasanya membawa saya ke sebuah hutan, kami pergi untuk beberapa hari, menemanimya ia berburu, melihat ia membidik dan menembak hewan buruannya. Ia mengatakan, berburu baginya suatu hiburan dan kesenangan, ia mengajarkan juga mengajarkan cara berburu,” gadis muda ini terdiam, sesaat terlihat ia menghela nafasnya kemudian melanjutkan ucapannya, “Apa anda mempunyai anak, Opsir Dhani?”

“Ya, seorang putri, usianya saat ini hampir delapan tahun.”

“Hadiah ulang tahun apa yang terakhir anda berikan padanya?”

“Sebuah boneka, boneka beruang, ia namakan boneka itu Ute. Nama yang lucu.”

“Ya, hadiah yang sangat manis sekali. Tidak seperti saya, ayah menghadiahi saya sebuah senjata riffle ini di ulang tahun saya yang ke enam belas, tahun lalu ia juga menghadiahi saya sebuah pistol,” balasnya sambil menunjuk senjata riffle yang ia gunaka menembak tadi pagi.

“Sunguh saya tak ahu jalan pikiran ayahmu, Sabrina”

“Saya tahu, saya sangat tahu untuk itu. Ayah sangat menyayangi saya. Ia selalu mengatakan kalau saya adalah putri emasnya, ia juga pernah menghadiahi tiga ekor kelinci. Ia berikan seminggu sebelum hari ulang tahun sayaya ng ke tujuh. Tadinya saya pikir ia lupa tanggal ulang tahun putrinya, rupanya ia hanya menyiapkan kejutan lain. Selama satu minggu saya memelihara kelinci-kelinci itu, yang saya ingat, saya sangat menyukai kelinci-kelinci itu, hingga saatnya hari ulang tahun tiba. Ia mengajak saya ke hutan tempat ia biasa berburu, katanya ia ingin merayakan hari ulang tahun saya di sana, bersama kelinci-kelinci itu,” kembali ia terdiam. Sorot matanya semakin tajam. “Sesampainya di lokasi perburuan, di sebuah padang rumput luas, kami membangun tenda di sana. Ia keluarkan kelinci-kelinci yang kami bawa dari rumah, ia lepaskan di padang rumput itu. Tak lama melihat kelinci-kelinci itu bermain puas, ia memberikan pistolnya, dan katanya sebagai hadiah ulang tahun, ia mengizinkan saya menembak hewan buruan untuk pertama kalinya. Kelinci-kelinci itu sebagai kejutan di hari itu,” kembali gadis ini terdiam. Matanya tampak menerawang kosong. “Sayatak tahu bagaimana menggambarkan perasaan saat itu. sekilas di saat ia membantu membidik kelinci-kelinci itu, ada perasaan sedih, takut.Saya masih ingat yang ia katakan saat itu, ia meminta saya agar mengosongkan pikiran sejenak dan membiarkan kelinci-kelinci itu tertangkap di sudut bidikan mata saya, menyatu dengan pistol itu, lalu tekan picu itu, katanya. Hanya satu ekor yang berhasil saya tembak, tapi entah mengapa, melihat kelinci yang terbaring tak bernyawa itu, perasaan saya menjadi gembira. Tahukah anda, Opsir Dhani? Sejak saat itu saya sangat menyukai berburu, berburu da menembak membuat perasaan saya menjadi senang.”

“Lalu mengapa kamu menembaki siswa-siswa SD itu, bahkan dua orang guru tewas akibat perbuatanmu?” tanyaku heran.

“Sama seperti anda, kadangkala saya tak menyenangi hari Senin, termasuk di hari ini. Hari ini begitu membosankan, dan ketika saya menghadap tepat ke luar jendela, menyaksikan anak-anak bermain dengan riangnya di halaman sekolah, sepertinya mereka menarik untuk saya bidik. Rasanya seperti menembak sekawanan bebek di dalam kolam. Itu alasannya kenapa saya menembaki mereka, karena saya tak suka dengan hari Senin, dan penembakan ini akan menghidupkan suasana hari ini. Malah mendengar cerita tentang putri anda, rasanya saya uga ingin sekali menembaknya”

“Apa maksudmu, Sabrina?” kali ini suaraku dengan nada sedikit lebih tinggi.

“Jangan kesal begitu, Opsir. Bukankah anda masuk ke rumah ini hanya untuk berbicara pada saya? lagipula saya hanya bergurau saja.

“Sabrina, dengarkan saya. apakah kamu sadar akan perbuatanmu? Apakah kamu tahu perbuatanmu akan mendapat hukuman yang harus kamu tempuh? Lihat saya, Apakah kamu dalam kondisi terpengaruh minuman keras?” tanyaku setelah melihat beberapa botol minuman keras di atas meja di sudut kamar itu.

“Ya, saya sadar itu, saya melakukannya untuk bersenang-senang, dan saya tidak dalam kondisi mabuk, Opsir” jawabnya.

“Sabrina, kamu sudah tahu bahwa perbuatanmu takkan lolos dari hukum. Sekarang, maukah kamu ikut saya, keluar dan menyerahkan diri baik-baik?” ajakku pada gadis ini.

“Anda tidak perlu merisaukan hal itu, Opsir, lagipula sudah terlalu banyak kesenangan di hari ini, saya sudah cukup puas hari ini.”

“Baiklah Sabrina, sekarang serahkan senjatamu itu padaku, lalu kita sama-sama keluar dan menyerahkan dirimu. Mari kita selesaikan semua ini dengan baik-baik.”

“Apa mereka akan menembak saya nanti begitu kita keluar dari rumah ini?” kali ini kurasakan ada nada kekhawatiran dari dirinya.

“Tidak, Sabrina. Saya pastikan itu tidak akan terjadi. Mereka akan memperlakukanmu dengan baik, asalkan kamu mau tetap bekerja sama,” cobaku menjelaskan.

Ia pun menyerahkan senjata riffle itu padaku. Mhh, syukurlah ia sudah mulai mau bekerja sama. Kami pun bangkit dari kursi kami, dan keluar dari kamarnya. Ia tepat di depanku, berjalan perlahan. Tiba di depan pintu rumah, ia menghentikan langkahnya.

“Anda yakin mereka tak akan menembak saya?” tanyanya.

“Percayalah pada saya, Sabrina. Mereka tak akan menembakmu, ayolah Sabrina,” bujukku.

“Saya tidak mau, saya mau anda yang keluar terlebih dahulu, jadi mereka tidak akan bisa menembak saya.”

“Kumohon, Sabrina. Mengapa kamu menjadi seperti ini? Bukankah tadi kita sudah sepakat untuk menyelesaikan ini dan membiarkan semuanya berjalan dengan baik-baik?” tanyaku padanya.

“Ya, Opsir. Saya masih tidak berubah pikiran, saya hanya mau anda yang membuka pintu itu dan berjalan di depan saya, hanya itu saja. Anda tidak peru khawatir lagi pada saya, bukankah senjata saya sudah anda pegang sekarang?”

“Baiklah asal kamu mau keluar dari rumah ini dan menyerahkan diri,” akhirnya aku mengalah dan membiarkan aku berjalan di depannya. Kubuka pintu rumah, kilau cahaya terlihat di depanku, tampak rekan-rekanku bersiaga dalam posisi mereka, tinggal sedikit lagi pekerjaanku, pikirku.

“Opsir Dhani, tadi sewaktu saya ingin menembak putri anda, jujur, saya bersungguh-sungguh tadi, dan sebagai gantinya, izinkan saya menembak anda” ujarnya seketika menghentikan langkahku. Belum sempat aku menoleh ke arahnya, bunyi letusan pistol terdengar tepat di belakangku. Punggungku terasa hangat dan basah. Tak mampu lagi ku pertahankan posisi berdiriku hingga akhirnya tubuhku tumbang dan rebah ke tanah. Seketika itu kudengar bunyi letusan senjata berikutnya, kali ini dari arah depanku, tapi bukan ditujukan untukku. Aku lupa kalau gadis itu mempunyai sebuah pistol lain, bukankah ia tadi menceritakan kalau ia juga mempunyai sebilah pistol, aku lupa itu.

Capt. Aris, sahabat sekaligus atasanku bergegas menghampiriku, masih bisa kudengar ia berteriak memerintahkan agar segera dipanggilkan ambulan. Rekan-rekanku yang lain pun juga tampak bergegas ke arahku dan membopongku ke pinggir halaman. Sekilas kulihat tubuh Sabrina terbaring tepat di belakang posisiku tadi.

“Apa yang terjadi, Capt? Bagaimana lukaku? Apakah parah? Bagaimana dengan Sabrina?” tanyaku pelan pada Capt. Aris. Bajuku sudah terasa semakin basah oleh darahku,

“Sudahlah tidak usah kau pikirkan gadis itu, bertahanlah, kawan. Kau akan baik-baik saja. Kumohon bertahanlah!” terdengar sangat panik dari nada bicaranya.

Tak lama ambulan tiba di lokasi dan 2 orang petugas medis menghampiriku dan membawaku ke dalam ambulan. Aku hanya bisa melihat dari kejauhan, tubuh Sabrina terbaring dan beberapa rekanku di sekitarnya. Pintu ambulan ditutup, dua orang petugas medis yang menanduku tadi duduk tepat di sampingku.

“Bagaimana kondisiku?” tanyaku pada mereka.

“Anda akan baik-baik saja, Opsir. Bertahanlah, tidak lama lagi kita akan tiba di rumah sakit, anda akan segera mendapat penanganan di sana,” jawab salah seorang dari mereka.

“Siapa nama kalian?” tanyaku lagi.

“Saya Mamar, dan rekan saya ini namanya Naim” jawab petugas itu.

“Katakan padaku, apakah kalian membenci hari Senin?” kedua terdiam mendengar pertanyaanku, meskipun pandanganku sudah semakin kabur, aku masih bisa melihat ekspresi heran dari mereka.

“Opsir, kami mohon anda jangan berpikiran macam-macam. Bertahanlah, Opsir. Tak lama lagi kita akan tiba.”

“Jawablah pertanyaanku, kumohon,” pintaku.

“Kami tidak benci hari Senin, Opsir. Kami menyukai semua hari. Semua hari adalah indah,” jawab petugas medis yang tadi mengaku bernama Mamar. Sementara rekannya, Naim, tengah sibuk dengan peralatan yang aku tak tahu namanya.

“Baguslah kalau kalian seperti itu, karena ada beberapa orang yang tidak menyukai hari Senin, termasuk aku. Aku benci hari senin, sangat benci...” ucapku semakin pelan, hingga akhirnya Aku terdiam dan tak bersuara lagi. [Rc]

*

Salam

*

Catatan Tambahan (jika masih berkenan membaca, hehe...)

.


  1. Thanks to Sabrina Shellby yang nama indahnya selalu menjadi inspirasi tulisan-tulisan saya
  2. Cerita Fiksi ini juga terinspirasi dari kisah nyata penembakan pada tanggal 29 Januari 1979 di San Diego, California, Amerika Serikat. Penembakan dilakukan oleh seorang gadis berumur 16 tahun yang bernama Brenda Ann Spencer yang menembak siswa-siswa Grover Cleveland Elementary School yang terletak di seberang rumahnya. Penembakan yang dilakukan dari jendela kamarnya ini menewaskan 2 orang dewasa (kepala sekolah SD tersebut dan seorang petugas polisi yang mencoba menolong) dan melukai delapan orang siswa. Setelah penembakan Brenda Ann Spencer mengurung diri di dalam rumah selama kurang lebih 7 jam. Hal yang membuat peristiwa ini menjadi sebuah misteri adalah alasan penembakan itu hanya karena Nn Spencer tidak menyukai hari Senin, dan bermaksud meghidupkan suasana di hari itu (wawancara wartawan melalui telepon pada saat ia mengurung diri) – “I just did it for the fun of it. I don't like Mondays. This livens up the day. I have to go now. I shot a pig (policeman) I think and I want to shoot more. I'm having too much fun (to surrender)”. Selengkapnya bisa dilihat di sini.
  3. Penembakan ini juga menginspirasi seorang musisi lagu bernama Sir Bob Gedolf (vokalis dari band The Boomtown Rats) sehingga lahirlah sebuah lagu berjudul “I don’t Like Monday” yang menjadi hits di UK pada pertengahan 1979. Informasi mengenai lahirnya lagu tersebut bisa dilihat di sini dan di sini.
  4. Senjata yang digunakan pada penembakan itu adalah hadiah natal pada tahun 1978 yang diberikan oleh ayah Brenda Ann Spencer. Hal ini terlihat karakter seorang gadis muda yang seharusnya memberikan warna-warna indah pada kehidupan dapat menjadi potret buram apabila pendidikan dari dalam rumah sudah dimulai dengan hal-hal atau yang berbau kekerasan. Siapa yang patut dipersalahkan dalam hal ini, saya tidak bisa memberikan penilaian, tapi setidaknya saya harap tulisan ini bisa menjadi sudut pandang lain dalam psikologi pendidikan anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun