Mohon tunggu...
Arif Hidayat
Arif Hidayat Mohon Tunggu... -

yeehhaaaaaahhh..... udah gak kebalik lagiii :)\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kotak Musik : Lullaby

18 Desember 2010   09:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:37 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12926644051663298767

[caption id="attachment_80479" align="alignnone" width="300" caption="Ilustrasi/surga-kaki-pelangi.blog.friendster.com"][/caption]

.

[Jakarta, 2010]

.

Kepulan asap rokok masih menemaniku.Terselip dari sela-sela bibir dan barisan gigi yang menguning.Lincah tanganku memainkan rokok yang terselip di jari. Meski tak selincah badanku yang sedikitgemuk, teronggok berat di atas sofa. dalam balutan gaun ketat yang agak terbuka. Namunmalah semakin tidak memperindah penampilanku.Tak peduli, penampilan bagiku tak penting. Yang penting penampilan mereka,barisan gadis belia yang menunggu takut. Menanti kata vonis dariku.

.

“Siapa namamu?” tanyaku pada gadis terakhir yang ku seleksi hari itu. Dalam pencahayaan yang tak seberapa terang itu, aku masih bisa mengenali manis wajahnya yang sedikit terlihat lugu.

Sabrina, Bu,” jawabnya sambil tertunduk, aku pun ikut tertunduk. Nama itu mengingatkanku pada kenangan lama yang sudah kulupakan.

“Berapa umurmu? Dan satu hal! Jangan panggil aku ibu, aku bukan ibumu! Panggil saja aku Mami, seperti yang lain.” Sambungku ketus sambil berusaha menguasai keadaan. Aku paling tidak suka dipanggil dengan sebutan itu.

“18 tahun, Mami.”

“Mmm, bagus. Masih perawan?” tanyaku menyelidik.

Dia hanya terdiam. Jelas nampak terlihat risih dengan pertanyaanku. Kulirik salah seorang asistenku. Dia Paham maksudku.Sedikit pendekatan rasanya perlu untuk gadis itu.

“Hei, Sabrina! Kalau ditanya Mami, kamu harus jawab!” bentak asistenku tanggap.

“Ma.. masih, Mami,” jawabnya seraya takut. Masih bercampur ekspresi risih tadi. Ah, aku suka melihat emosi seperti ini. Dan jawabannya tadi yang membuatku lebih merasa senang. Tentunya akan ada harga khusus yang bisa kumanfaatkan untuk ini.

“Periksa barang bawaannnya!”

Perintahku langsung disambut segera oleh asistenku. Aturan ini kuberlakukan kepada semua anggota baruku. Aku tak ingin mereka menyimpan barang-barang yang berbahaya. Alat komukasi seperti HP termasuk salah satunya. Setidaknya selama 3 bulan pertama mereka tak boleh melakukan komunikasi sama sekali ke luar. Bisa berbahya bagi bisnisku kalau mereka ‘bernyanyi’.

“Apa ini?” tanya asistenku ketika mendapati sebuah kotak berwarna coklat tua .

“Ini kotak musik milik saya, Pak. Saya mohon jangan disita. Ini satu-satunya pemberian Ibu saya” gadis itu memohon .

“Biar kuperiksa dulu!” balas asistenku. Dengan cekatan ia membuka kotak itu.

Alunan melodi terdengar dari kotak itu. Lullaby. Sebuah pengantar tidur. Pikiranku nanar. Entah apa yang membuatku merasa seperti dunia ini berhenti. Kulangkahkan kakiku keluar ruangan itu. Meninggalkan tanda tanya di raut asistenku yang tidak mengerti dengan sikapku. Aku tak peduli.Aku pun tak tahu apa yang harus kuperbuat. Sungguh aku tak tahu.

*

[Jawa Barat , 1999]

.

“Bu... Ibu mau kemana?”

“Ibu mau pergi, ‘nak. Kamu baik-baik ya sama bapakmu.

“Enggak boleh! Pokoknya Ibu enggak boleh pergi!”

“Sayang, maafkan Ibu ya. Ibu terpaksa harus pergi. Ibu dan Bapakmu sudah tidak bisa bersama lagi. Ibu akan selalu menyayangimu, 'nak"

"Ibu....." tangisnya tertahan. Mungkin tak adil baginya. Ia masih teramat belia. Usianya baru menginjak tujuh tahun di saat aku harus meninggalkannya.

.

Alunan Lullaby mengiringi sore itu. Dan sebuah kotak musik berwarna coklat tua yang kuhadiahi padanya. Terukir namanya, ‘Sabrina’.

.

Salam

.

Catatan : kisah ini hanya fiksi belaka, jika ada kesamaan nama dan tempat, hanya kebetulan saja... :)

.

Kisah Sabrina lainnya :

.

Gaun : Cinta Untuk Sabrina

Pistol : Satu Peluru Untuk Suamiki, Satu Peluru Untukku

Pisau : Sepotong Daging Untuk Suamiku . Bagian revisi : *

“Bu... Ibu mau kemana?”

“Ibu mau pergi, ‘nak. Kamu baik-baik ya sama bapakmu.

“Enggak boleh! Pokoknya Ibu enggak boleh pergi!”

“Sayang, maafkan Ibu ya. Ibu terpaksa harus pergi. Ibu dan Bapakmu sudah tidak bisa bersama lagi.”

“ Tapi, Bu...”

“Nak, dengarkan Ibu, ya. Ibu enggak mau meninggalkan kamu. Tapi Ibu harus. sekarang kamu sudah besar 'nak. usiamu sudah tujuh tahun. Ibu yakin kamu akan baik-baik saja sama Bapakmu. Jadi anak yang baik. Ibu sayang Kamu, ‘nak.”

Masih kuingat perpisahan itu. Tangis anakku. Lullaby yang mengiringi sore itu. Dan sebuah kotak musik berwarna coklat tua yang kuhadiahi padanya. Terukir namanya, ‘Sabrina’.

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun