Mohon tunggu...
Arif Hidayat
Arif Hidayat Mohon Tunggu... -

yeehhaaaaaahhh..... udah gak kebalik lagiii :)\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pisau: Sepotong Daging untuk Suamiku

8 Desember 2010   14:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:54 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilustrasi/bucf.wordpress.com

.

Potongan daging itu masih kuiris. Kesegarannya masih terlihat dari warnanya. Malam ini aku ingin membuat kejutan buat suamiku. Sebagai seorang mantan chef, keahlian membuat dan menyajikan masakan bukanlah hal yang sulit untukku. Suamiku pun seringkali memuji masakanku. Katanya ia sangat beruntung mempunyai istri yang pandai masak. Mmhh, kuharap kali ini suamiku menikmati masakan istimewaku.

*

Lilin sudah kunyalakan, menghiasi indah hidangan istimewa yang kusajikan di atas meja makan. Sempurna! Tinggal menunggu suamiku pulang.

[Bel berbunyi]

Kubuka kunci pintu depanku. Suamiku sudah menunggu di balik pintu. Aku mempunyai kebiasaan selalu mengunci pintu. Suamiku pun sering mengeluhkan kebiasaanku itu. aku tak perduli. Untuk urusan di dalam rumah tanggaku aku sangat protektif.

“Mmhh.. Harum sekali, sayang! Kau memang ahlinya kalau untuk urusan perut.”

“Sayangnya aku bukan orang yang ahi dalam memuaskan kebutuhan di bawah perutmu itu.”

“Hey! Bisakah kita sekali-kali tak perlu bertengkar untuk masalah itu!”

“Kau selalu mulai dengan keliaranmu di luar sana!”

“Hentikan! Sudah temani aku makan saja! Kecemburuan gilamu hampir saja merusak selera makanku!”

Kubiarkan sejenak ia menyantap makanannya. Tampak ekspresi puas di wajahnya. Akupun puas melihatnya

“Enak sekali masakanmu. Agak sedikit beda rasa dagingnya. Rasanya bukan seperti daging sapi atau pun domba yang biasa kau masak. Daging apa ini?”

Sabrina.”

“Apa maksudmu?”

“Ya, daging Sabrina, selingkuhanmu itu! kuambil tadi pagi dari apartemennya. Tempat biasanya kau menghabiskan malam.”

*

Aku hanya tersenyum melihat ekspresinya mendengar ucapanku. Di bawah meja makan, masih tergenggam pisau di tanganku. Sengaja pikirku. Mungkin malam ini aku masih memerlukannya.

*

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun