Mohon tunggu...
Arif Hidayat
Arif Hidayat Mohon Tunggu... -

yeehhaaaaaahhh..... udah gak kebalik lagiii :)\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[Seloka] Pena Meradang dalam Pekan Menjual mimpi

17 November 2010   12:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:32 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata pena akulah raja di dunia ini

Siapa yang mengambil aku dengan tangannya

Akan kusampaikan kerjanya

(Syair Persia, Mukaddimah Kitab Bustan al Katibin, Raja Ali Haji)

--~^~--

Nanar pikirku dalam kemelut yang kurajut dalam mimpi dan khayalku, menyisakan hari lalu dan gurau yang tak lagi tahu menahu. Gundahku mungkin terpikat dalam jerat yang ia rajut dalam ramainya lalu lalang nafas-nafas tersengal di atas titian yang terjejak, tapi tidak jiwaku, ia masih memujaku, dan membuatku larut dalam untaian syair dan aksara yang tak lagi terujar.

...

Aku bukanlah jalang

Hanyalah jiwa dalam batas yang terkalang

...

Taklah teramat elok tanganku menguntai

Tiada hias terukir inai

...

Pun tiada guna kuhunuskan badik di pinggang

Goreskan larik dalam syair yang meradang

...

(gurindam)

...

Lelah, hanyalah bunyi yang mereka gaungkan dalam nafas-nafas keputus-asaan. Menghisasi indah dalam gemerincing bunyi rantai yang mengikat kaki, mengiringi setiap langkah di antara jejal pekan yang mereka singgahi. Apakah kau mau membeli mimipi-mimpi kami, tuan? Tanya mereka pada saudagar-saudagar yang tak kalah riang dari gemirincing rantai kaki mereka. Tidak! Aku sudah punya banyak, tapi kalau kau mau menjual sesuatu padaku, maukah kau jual nafasmu? Balas saudagar tak kalah culas berharap keabadian menghantar dari sisa-sisa nafas yang terengah, Hah! Baiklah tuan, tapi kami mohon sisakan sedikit nafas kami tuk sekedar menghantar esok, lusa taklah lagi kami peduli, bukan lagi milik kami!, jawab mereka dalam nada yang tak lagi teriring sesal. Dan aku hanya bisa terdiam di sudut pekan, menyisakan aku dan perniagaan mereka diantara kelamnya tatapan sinis dan iba.

Adat yang teradat? Jangan kau samakan dengan kebajikan luhur yang kami wariskan dari moyang kami, tuan!

...

Pekan kutatap dalam terhening

Dibayang ramai sudut gelisah

Negeriku kini serasa asing

Budi dan laku sudah terpisah

...

Dibayang ramai sudut gelisah

Pokok menjulang tawarkan teduh

Budi dan laku sudah terpisah

Kemanakah lagi empati berlabuh

...

Pokok menjulang tawarkan teduh

Dedaunan dan ranting bagai tempias

Kemanakah lagi empati berlabuh

Kini nurani sudah terbias

...

Dedaunan dan ranting bagai tempias

Menghias indah pokok cempaka

Kini nurani sudah terbias

Mengubur mimpi-mimpi dalam lelapnya duka

...

Menghias indah pokok cempaka

Kembang menguning disunting dara

Mengubur mimpi-mimpi dalam lelapnya duka

Dikala nyata hanya sisakan lara

...

Kembang menguning disunting dara

Wangi menghias di ujung ranting

Dikala nyata hanya sisakan lara

Kemanakah lagi nurani kusunting

...

Wangi menghias di ujung ranting

Ranting kupatah tiada berduri

Kemanakah lagi nurani kusunting

Lewat larikmu kah, hai sang pencari?

...

(seloka)

...

Katakan pada larik-larik mantra yang kau gubah, Kawan! Ketika kau rapalkan itu bersaaman dendang bait yang bercanda dalam kekakuan yang terpecahkan. Aku mendengar tawa! Tapi bukan tawa yang ramah, tak pun hangat. Apakah kau titipkan dalam baris indah katamu?

...

Jakarta, 10 Dzulhijjah 1431 H

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun