[caption id="attachment_301669" align="alignnone" width="441" caption="Ritual Seppuku (Sumber ilustrasi: http://xiongdudu.com)"][/caption]
Kastil Awan, hari Ke-15 Musim Gugur, 1860
Ruangan ini menjadi saksi bagi akhir perjalananku, seorang Samurai yang gagal membela kehormatan dan kemuliaan junjungannya,
“Maafkan hamba, Tuanku”
“Maafkan aku, Ayah”
“Maafkan aku, Heiko”
Dengan sebilah tanto ini kutorehkan puisi indah terakhirku…
Dalam nyanyian indah Seppuku [17]…
****
Apalah arti sebilah Katana tanpa kehormatan Samurai yang menghunusnya
Apalah arti sebilah Katana tanpa kesetiaan Samurai yang menghunusnya
Apalah arti sebilah Katana tanpa keberanian Samurai yang menghunusnya
Bukan lantaran kami adalah Ksatria pemuja kematian seperti yang mereka kira
Karena kematian bagi kami adalah sebuah puisi bagi jiwa yang teguh
Sekalipun harus mendekap erat dalam sayatan indah Tanto yang terhunus
Dan Kami pun hanyut dalam indahnya kematian…
Ditemani indahnya puisi terakhir yang kami torehkan
Dari torehan darah di akhir lembaran perkamen agung kehidupan…
****
Gerbang Utama Kastil Awan, hari Ke-15 Musim Panas, 1841
“Ikuti aku cepat, jangan lambat!” Bentakan ayahku mengawali kala pertama aku memasuki Kastil ini pada siang hari itu, kala itu aku baru berumur 13 tahun.
Entah mengapa dinamakan kastil awan, cerita mengatakan awal mula pada saat kastil ini baru berdiri, leluhur pertama klan Toki pernah diserang oleh musuh. Ribuan pemanah dan samurai berkuda musuh sudah siap menembus benteng pertahanan terakhir sebelum memasuki wilayah klan Toki yang sudah dalam keadaan terdesak dengan kekuatan tempur yang jauh lebih kecil dibandingkan kekuatan lawan, dan hanya tinggal menunggu kekalahan saja. Seperti ada kejaiban yang turun dari langit, kabut putih berangsur turun dari langit dan menyelimuti seluruh kastil. Melihat hal ini pasukan musuh yang sedianya menyerang hanya bisa terdiam dalam takjub. Kesempatan ini berhasil dimanfaatkan oleh pasukan dari klan Toki dan menyerang balik pasukan musuh yang tidak siap akan serangan kejut itu dan berhasil menuai kemenangan gemilang. Sejak saat itulah kastil ini diberi nama Kastil Awan.
“Berhenti dan cepat menunduk!, Tuan Yoshimitsu berjalan kearah kita”
“Hah! rupanya Kepala Pengawalku sudah kembali. Bagaimanaperjalananmu, Higeyori?
“Baik sekali, Tuanku, terima kasih Tuanku sudi menanyakan keadaan hamba”
“Hahaha… Apa sulitnya sekedar menanyakan kabar, Hige”
“kehormatan bagi hamba, Tuanku”
“Hei! Siapa prajurit kecil yang kau bawa itu, Hige?”
“Putra hamba, Tuanku…”
“Berdirilah kau, nak! Siapa namamu?
Mendengar perintah berdiri, segera kubangkitkan tubuhku, namun masih dalam pandangan menunduk.
“Nama Hamba Hideyori, Tuanku”
“Hahaha… baguslah ia bisa menjadi teman berlatih untuk putraku, segeralah kau kenalkan ia pada putraku, Hige”
“Baik, Tuanku”
Langkah kaki kami lanjutkan menuju aula Dojo utama, disitulah Putra Tuan Yoshimitsu menghabiskan waktunya berlatih. Pemandangan di Dojo utama ini tidak jauh berbeda dengan Dojo di puri kakek yang dulu pernah menjadi kepala pengawal di kastil sebelum ayahku, selain ukurannya yang tentunya jauh lebih besar.
“kau tunggu saja disini, Hide! Biar kucari dulu Tuan Yoshi, nanti kuantar kau menemuinya”
Sementara ayahku mencari putra Tuan Yoshimitsu yang bernama Tuan Yoshi, perhatianku sibuk melihat para samurai yang berlatih teknik-teknik berpedang
“Hei.. Siapa namamu? Sepertinya aku belum pernah melihatmu sebelumnya”
“Namaku Hideyori, siapa namamu?”
“Aku Yoshinaga, Putra pemilik kastil ini”
“Maafkan kelancangan hamba, Tuan Yoshi” reaksi spontanku ketika mengetahui ia adalah Putra Penguasa wilayah ini
“Hahaha… tidak apa-apa!, aku tak mempersoalkan tentang itu”
Kehadiran ayahku menyela pembicaraan itu.
“Ah, rupanya Tuan Yoshi sudah bertemu dengan putra hamba”
“Ooo Rupanya ini putra Paman Hige, kalau begitu bolehlah kuajak menemaniku berlatih, Paman Hige?”
“Silahkan, kalau Tuan Yoshi berkenan. Sana kau, Hide! Cepat temani Tuan Yoshi berlatih”
Pertemuan sekaligus perkenalan ku dengan Tuan Yoshi mengantarkan hubungan kami yang semakin erat, berlatih bersama, bermain bersama, walaupun masih kujaga batasan antara hamba dengan putra junjungannya. Namun semua itu seolah tak berpengaruh bagi Tuan Yoshi, ia tetap memperlakukanku selayaknya seorang teman.
“Hide, sudah bosan aku berlatih teknik pedang ini hanya dengan menggunakan bokken [18] saja, kali ini aku ingin kita berlatih menggunakan ini!” sambil menyerahkan sebilah pedang sungguhan.
“Tapi, Tuan Yoshi! Ini berbahaya, hamba tidak berani”
“Coba kau lihat pedang itu dulu, itu bukan katana”
Kulihat lebih jelas lagi pedang itu, bentuknya menyerupai katana, begitu juga dengan beratnya, tapi yang ini tidak tajam. Untuk pedang sejenis ini dinamai Iaito [19] yang hanya digunakan berlatih atau turnamen berpedang “Iai-do”. Walaupun tidak tajam, namun juga berbahaya mengingat material yang digunakan juga sama-sama terbuat dari baja.
“Tetap saja, Tuan Yoshi, Iaito ini juga berbahaya dapat melukai. Mohon ampun, Tuan Yoshi, Hamba tidak berani”
“Apa kau takut, Hide?”
“Buka lantaran hamba takut terluka karenanya, Tuan Yoshi”
“Lantas?”
“Pantang bagi hamba menghunuskan pedang kearah putra dari junjungan hamba, terlebih lagi Ia sudah mempelakukan hamba dengan baik dan menganggap hamba teman”
“Baiklah Hide, aku tak memaksamu lagi”
“Sekali lagi hamba mohon maaf, Tuan Yoshi”
“Hide, engkaulah satu-satunya teman yang kumiliki, setidaknya engkau memperlakukanku bukan semata-mata karena aku adalah putra penguasa wilayah ini”
“Suatu kemuliaan bagi hamba, Tuan Yoshi”
“Hide”
“Hamba, Tuan Yoshi”
“Bolehkah aku memberimu nama”
“Nama apa yang akan Tuan Yoshi berikan kepada hamba?”
“Tomodachi”
****
(Bersambung)
Jakarta 24 Oktober 2010
****
Penjelasan Istilah-istilah diatas :
17. Seppuku, adalah ritual bunuh diri yang biasanya dilakukan oleh seorang ksatria Samurai untuk menebus ehormatan mereka kembali karena gagal melaksanakan tugas, atau lain hal yang membuat malu.
18. Bokken, adalah pedang kayu yang mempunai bentuk dan ukuran seperti pedang sungguhan, biasanya digunakan untuk berlatih teknik
19. Iaito, adalah sejenis pedang yang menyerupai katana/wakizashi baik dimensi ukurannya maupun beratnya karena sama-sama terbuat dari besi. yang membedakan adalah pedang Iaito sengaja dibuat tidak tajam. Iaito biasanya digunakan untuk turnamen Iai-do.
****
Cerita Sebelumnya: Kematian Seorang Geisha (Antara Cinta, Kehormatan dan Kesetiaan Seorang Samurai) - Bag1 Kematian Seorang Geisha (Antara Cinta, Kehormatan dan Kesetiaan Seorang Samurai) - Bag2 Kematian Seorang Geisha (Antara Cinta, Kehormatan dan Kesetiaan Seorang Samurai) - Bag3
Cerita Selanjutnya :
Kematian Seorang Geisha (Antara Cinta Kehormatan dan Kesetiaan Seorang Samurai) - Bag5
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H