[caption id="attachment_143254" align="aligncenter" width="150" caption="dari pakdhe google"][/caption]
Malam ini aku diingatkan tentang sebuah sebutan yang aku ciptakan sendiri. Berawal dari sebuah kesendirian dalam permenungan. Aku membangun sebuah ‘gubuk’ dari serpihan-serpihan kekuatan, kenangan, dan cita-cita akan masa depan yang lebih baik. Tidak mudah untuk sampai kepada sebuah gambaran indah. Kepahitan, kesepian, penolakan, dan stigma negatif mewarnai waktu demi waktu yang aku habiskan dalam menyusun rancangan ‘gubuk’.
Aku terkesan dengan kerendahan hati orang-orang desa di daerah ‘Jawa’. Dengan keramahan, mereka akan menawari setiap orang yang kebetulan lewat di depan rumah mereka. “Mangga pinarak wonten ing rompok kula. (Silakan mampir ke gubuk saya.)” Seberapapun bagusnya rumah tinggal, mereka akan menyebutnya rompok (gubuk). Lepas dari apakah itu basa-basi atau bentuk rendah diri, namun ada nuansa rendah hati di dalamnya.
Awalnya aku menyebut ‘gubuk’ yang aku bangun : Rompok Lingsem (Gubuk Malu). Pengalaman-pengalaman negatif yang aku alami sungguh menjadikan aku malu untuk ‘keluar’ dari ‘gubuk’, bilik diri. Aku takut untuk kembali menampakkan diri, menatap masa depan. Aku benar-benar merasa rendah diri karena sebuah langkah salah yang membuatku kembali menjalani kehidupan ‘arcapada’ (dunia). Sungguh, aku ingin bersembunyi dalam ‘gubuk’ku sendiri, menyesali kesalahan-kesalahan masa lalu, berlindung dalam tempurung.
Setiap orang pernah salah. Kadang kita terantuk batu atau tunggak (sisa akar pohon) ketika melangkah. Bisa jadi terjatuh, terluka, dan mendapat bekas luka. Namun, hidup terus berlanjut. Habis jatuh, bangun lagi. Permenungan itu membawaku pada sebuah sebutan baru bagi ‘gubuk’ku : Rompok Sunya (Gubuk Kosong).
Sunya adalah situasi wening dan hening yang membawa kita bertemu pribadi dengan Hyang Ilahi. Kita seolah menemukan ruang kosong di mana hanya ada kita sendiri karena Tuhan sudah ada dalam diri kita. Kesadaran akan sunya akan membawa pada kasunyatan – kebenaran yang hakiki. Maka, Rompok Sunya adalah tempat terindah untuk memadu kasih dengan Hyang Ilahi dalam sebuah situasi neng, ning, nung – meneng, wening, dunung (diam, hening, terarah).
Ketika aku perlu merenung tentang kehidupan, aku masuk dalam salah satu bilik Rompok Sunya. Di sana, aku belajar mendengarkan suara hati terdalam, suara ilahi. Dari sana pula, aku beranjak melangkah pada kehidupan berikutnya.
Rompok Sunya, malem minggu, 22 Oktober 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H