Mohon tunggu...
Just Pensies
Just Pensies Mohon Tunggu... Swasta -

apa iya ini aku???

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Karakter Bangsa Berawal pada Keluarga

24 Agustus 2014   15:08 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:42 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_354853" align="aligncenter" width="400" caption="anak-anak merdeka (bayusp.blogspot.com)"][/caption]

Dua bulan ini, saya pindah ke tempat indekost yang baru. Tidak jauh sih dari tempat yang lama. Wong Cuma beda gang saja. Hahahaha...

Kamar baru yang saya tempati ini lebih terbuka. Jendela menghadap ke luar. Tiap pagi, matahari menyapa kamar, lha saya kan pergi dari setelah subuh. Saya tinggal di lantai dua dan persis di atas jalan. Namanya memang memakai gang, tapi saya kira lebih luas daripada gang. Toh, bukan itu yang mau saya kisahkan.

Saya bekerja hari Senin-Jumat. Berangkat pukul 05.30 dan pulang pukul 17.00-19.00. Waktu saya sampai kost di sore/petang hari, jalan di bawah kost selalu ramai. Anak-anak berkumpul lumayan banyak. Apalagi tepat di bawh kamar, di pinggir jalan, ada mobl pick up yang selalu parkir. Anak-anak usia remaja (SD-SMA) belajar dan bermain di atas bak terbuka itu. Saya menjadi pendengar setia ketika mereka bercengkrama dengan asyik.

Saya selalu ingin mendokumentasikan kegiatan mereka tapi belum sempat. Yang membuat saya tercengang, bahkan hingga bengong, adalah lontaran kata-kata mereka. Dengan tanpa beban, mereka mengucapkan dan menyematkan kata-kata kurang pantas pada lawan bicara, sejauh saya perhatikan ialah teman-teman mereka. Enteng saja mereka ucapkan : gob*ok, tol*l, anj*ng, bang*at, nyet (dari mo**et), beg*, dll. Ada banyak kosakata yang membuat saya miris dan tidak tega untuk mendengar atau membatinkannya.

Ternyata, perilaku yang sama juga terjadi di lingkungan sekolah. Saya menjadi pengajar di salah satu sekolah di Jakarta. Karena itu, saya memperhatikan interaksi murid-murid saya dan murid-murid sekolah lain yang kebetulan saya jumpai di jalan.  Kata-kata yang sama. Sapaan pada sesama teman yang sama. Dan, itu sudah menjadi habitus keseharian mereka.

Apa yang ada di benak anda ketika menjumpai hal itu?

Saya sempat sharing dengan teman, sesama pengajar dan pendidik. Dia tingga di sebuah kawsan gang sempit dengan rumah berderet dan warga berjubel. Dia pun menjumpai hal yang sama. Bahkan anak-anak usia SD pun sudah kerap melontarkan kata-kata tersebut. Inilah fenomena umum dalam masyarakat. Apa yang terjadi?

Pendidikan karakter, yang dimasukkan dalam bebagai kurikulum di sekolah, rupanya belum dapat diterapkan dengan sempurna jika keluarga tak mendukung. Boleh jadi, anak-anak ini mendapatkan pendidikan yang baik dari para guru. Pada proses belajar di kelas, ada aturan main jelas (komitmen) untuk menjaga kondisi yang kondusif bagi pembelajaran, termasuk dalam bertutur kata dan bertingkah laku. Yang melanggar akan dikenai sanksi mendidik. Tapi berapa jam mereka di sekolah? Dari sekian jam mereka belajar di sekolah, berapa persen pendidikan karakter yang merasuk daam hai sanubari mereka? Bukankah sebagaian besar pelajaran menitikberatkan pada nilai-angka? Dan, apa yang terjadi di keluarga selama sekian jam mereka di rumah yang bahkan berdurasi lebih besar darpada mereka berada di sekolah?

Sering, tanpa sadar, kebiasaan-kebiasaan di keluarga terbawa dalam diri si anak. Interaksi antar orangtua terekam jelas di benak mereka. Ketika orangtua menunjukkan konfrontasi di antara mereka, si anak yang belajar dewasapun meniru percekcokan itu dalam relasi dengan teman. Hal ini akan mudah menular karena mengingat pada usia anak-remaja, anak-anak lebih dekat dengan teman. Tidak jarang, sebagian besar waktu yang mestinya mereka erada di rumah, dihabiskan dengan teman, entah dalam konteks belajar, bermain, nongkrong, dsb. Orangtua tak memperdulikan. Padahal sejatinya, pendidik pertama dan utama adalah orangtua (keluarga).

Kata-kata kasar, tak pantas, tak senonoh, dan vulgar tidak lagi tabu diucapkan anak-anak, bahkan yang masih kecil sekalipun. Jika memang benar kita berniat merevolusi mental dan mengedepankan pendidikan karakter, tanggung jawab kita bersamalah menerapkan dengan sungguh-sungguh, bukan diserahkan pada satu pihak. Keluarga hendaknya menyadari perannya sebagi pendidik pertama dan utama sehingga pendidikan anak tidak sekedar diserahkan pada sekolah. Sementara, sekolah (pendidikan formal) hendaknya bukan sekedar menambah beban jam pelajaran melalui kurikulum yang berganti-ganti, namun bisa sungguh-sungguh mendalam memberikan bekal bagi peserta didik sebagai subyek belajar.

Sungguh benarlah, karakter bangsa berawal pada keluarga. Orangtua menjadi penentu masa depan anak yang tidak saja menjadi generasi penerus, namun lebih lagi, merekalah generasi pembaharu bangsa.

Salam damai

Selamat hari Minggu ^_^

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun