Oleh   : Dewi Hamdanah + Just Pensies (No. 219)
bungkuk tubuhnya kulepas lewat sudut mata bertopi merah menyandang tas jingga berselempang setia tanpa tanda jasa dan sepatu yang disemir debu jalan raya
menata langkah di patahan kata tuntun mata-mata mungil tatapi waktu yang kian melaju tiada ragu entah demi suatu akhir, atau hanya mengekor angin
tak kulupa bisikkan slamat jalan ketika langkah bu guru menyusuri jembatan menyesal tadi kubuat beliau tumpahkan kemarahan walau diam yang ditampakkan
sungguh ada banyak guratan malu tercuat di pipi menekuk tunduk, saat kali kedua kau kutemui di sela ramainya cakapan jejarum jam jelang malam: mengusik jarak
esok pagi masihkah ibu hadir? sudi mendengar tangis ampun getir namun tanpa janji tak ulangi lagi jika teman masih menikam dengan kata serupa belati
melangkah dan terus melangkah mencecap arah dan panah adalah yang amat kausuka sedari belia hingga renta sekalipun orang orang tak jarang menaruh memacam barang di sepatu butut -yang telah melekat, menyatu pada kaki demi membuatmu urung pergi ahh mereka iri sebab kebanyakan kakinya tak punyai mata atau memang dirimu dapat terlalu banyak mata mata?
singgah di suatu hari kulihat kau melangkah dan (tak bisa) terus melangkah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H