Berdasarkan angka dari media massa, jumlah kematian di kepulauan mentawai akibat gempa 7.5 SR yang menimbulkan tsunami 25 Oktober 2010 terus membesar dan menimbulkan dampak trauma psikologis dan ekonomis yang luar biasa. Hingga saat ini saja jumlah korban tewas diketemukan telah mencapai 450 orang belum termasuk yang dinyatakan hilang sekitar 100 orang, luka berat yang tengah di rawat di RS 120 orang (sumber : kompas.com).
Sorotan dari mancanegara banyak tertuju ke mentawai, hal ini disebabkan salah satunya adalah visi kabupaten kepulauan mentawai kepada kawasan wisata. Indikasi termudah untuk melihat perhatian internasional kepada kepulauan mentawai yaitu begitu banyak LSM yang berpusat dari negara-negara maju. Semoga banyaknya elemen ini, tidak semata berorientasi untuk memperoleh mata pencarian tapi tetap berkemauan untuk membantu kekacauan akibat tsunami yang kini tengah melanda daerah dimana mereka memperoleh segunung data untuk dijadikan laporan dalam struktur kelembagaan mereka.
Tak kenal maka tak sayang, begitu pepatah mengatakan. Bagaimana kalau kita coba perhatikan masyarakat kepulauan Mentawai yang berada di laut lepas pulau Sumatera dan berada di samudera Hindia ini. Jumlah penduduk yang beribukota Pejat di utara Pulau Sipora ini pada tahun 2008 berdasarkan BPS adalah 68 ribu jiwa lebih. Kabupaten ini terdiri dari 4 kelompok pulau utama yang berpenghuni yaitu pulau SIberut, pulau Sipora, pulau Pagai Utara dan pulau Pagai Selatan yang dihuni oleh mayoritas masyarakat suku Mentawai (sumber).
Pengenalan demi pengenalan kepada internasional dapat kita lihat dalam beberapa kajian mengenai seni, budaya, dan religi. Di kepulauan mentawai, walaupun berada dalam wilayah teritori sumatera barat yang beribukota padang, namun secara adat dan bahasa, penduduk asli di sana menunjukkan banyak kemiripan dengan adat dari nias dan sumatera utara. Setelah masa “pembangunan” religi di mentawai telah mengalami akulturasi dan asimilasi. Selain religi awal yang disebut oleh penulis dalam negeri sebagai animism, kini Islam dan Kristen telah memperoleh tempatnya juga dalam keteraturan social di sana.
Sabulungan oleh penduduk setempat diklaim sebagai religi asli, sebagai eksistensi berdampingan dengan religi mainstream Indonesia: Islam, Kristen. Melebihi sebagai religi, sabulungan dalam mindset orang mentawai adalah sebuah budaya: way of life, suatu formula atas fenomena bermasyarakat dengan cara apa mereka memperhatikannya.
Berikut ini cara reeves menggambarkan dalam konsep opposisi binary pola budaya masyarakat di Mentawai:
I have elected to subsume these within a set of binary oppositions, placing all the sanitu on one side in their capacity as wielders of bajou under a more general rubric "entities of death", and on the positive side of the equation simagere and gaud (‘power’) as entities of "life". This is a little awkward in relation to bajou since it is a complex property that does not allow itself to be so neatly encapsulated within such a dualism. Yet it serves to highlight the metaphysical chasm separating (the entities of) "death" from (those of) "life".
[caption id="attachment_309365" align="alignright" width="300" caption="uma (rumah) mentawai. sumber: http://afriyanto.wordpress.com/2008/01/13/uma/"][/caption]
Selanjutnya, untuk dapat memperoleh kognisi lebih dalam, selain yang terucap kita juga dapat memperhatikan soal makna akan rumah bagi masyarakat mentawai reeves :
In taking such a perspective it is important not to look upon the uma first and foremost as a ‘thing’, as an assemblage of wood, nails and bindings, but on the contrary emphasize its nature as an institution. Taking this a little further, then, I propose to look upon the uma as a strategy of intervention in the cosmos when things go wrong and "life" (purimanua) is threatened.
Sebutan untuk mereka penduduk yang berada di kepulauan pagai sebagai "mentawai", sudah dimulai sejak akhir abad 18 oleh john crisp, yang selanjutnya diikuti oleh kebanyakan orang hingga saat ini. Sementara, oleh Marsden pada awal abad ke-19, mengikuti navigator belanda menyebutnya sebagai "Nassau" atau pagi atau pagei untuk yang bermukim di utara pagai.
Perhatian komparatif penduduk setempat sendiri dalam mengidentifikasi dirinya adala
h sebagai simatawe yang berarti orang-orang berbahasa induk bahasa mentawai, membedakan dirinya dengan batak, nias (ians), padang (minang), inggiri (English), jerman (german), yang bagi masyarakat kepulauan mentawai disebut sebagai sareu.
tato tertua Indonesia dari Mentawai
Adat dan kebiasaan mereka yang masih menyerupai peradaban masa neolithikum ini menjadi daya pikat tersendiri bagi para wisatawan mancanegara. Tradisi khas hingga tahun 1940 an adalah pemasangan tato di sekujur tubuh yang terkait dengan peran dan status social penggunanya. Namun untuk sekarang, banyak sekali penduduk setempat yang telah memperoleh pendidikan tinggi dan bekerja pada instansi pemerintah serta swasta atau juga LSM.
sumber bacaan utama: mentawai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H