Mohon tunggu...
Aimee Aimee
Aimee Aimee Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Simple

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dan Batu Karang Itupun Runtulah.... (Bagian 19)

7 Desember 2012   01:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:04 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13547778271618372929

[caption id="attachment_213110" align="aligncenter" width="400" caption="kamar-asik.blogspot"][/caption] "Sudah mas, gak papa. Biarin aja Rio main di taman" kata Meili sambil menghampiri ranjang tempat Bimo berbaring. "Sejak mas Bimo sakit, Rio kan selalu di rumah, jadi mungkin tadi pas lewat taman diujung lorong itu, dia jadi ingin bermain di taman" katanya lagi. Bimo tersenyum, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. "Mei.. andai kau tau.. hatiku.. andai kau mengerti.." batinnya berkecamuk. "Ada yang mas Bimo butuhkan?" tanya Meili saat dilihatnya Bimo gelisah "Ada yang sakit mas?" tanyanya lagi dengan wajah cemas Bimo menggelengkan kepalanya. "Aku gak apa-apa Mei, hanya sedikit mengantuk" kata Bimo sambil berusaha menunjukan wajah sayu. "Ohh.. kalau begitu istirahat saja. Apa mau kuperbaiki posisi bantalnya?" tanya Meili sambil beranjak semakin dekat. "Gak.. gak usah" sahut Bimo gugup. Membayangkan gadis yang dicintainya akan berada begitu dekat dengan dirinya, membuat nafas Bimo naik turun tak beraturan. Jantungnya berpacu cepat. Namun hanya sekejap, karena detik berikutnya rasa nyeri itu datang lagi. "Mas Bimo lagi mikir apa sih?" tanya Meili yang sudah menarik kursi dan duduk dekat disamping tempat tidur Bimo. Bimo menarik nafas panjang, berusaha menepis rasa nyeri itu. "Cuma lagi ingat bapak aja" kata Bimo sambil melihat kearah yang lain karena takut Meili bisa melihat kesedihannya. "Ohya, bagaimana kabar bapak? Apa sudah sehat?" tanya Meili. "Menurut ibu, bapak sudah banyak kemajuan. Sudah bisa bangun dan tidak pusing-pusing lagi. Tapi ibu masih belum tega untuk ninggalin bapak, karena bapak belum kuat untuk mengurus dirinya sendiri" Jawab Bimo. "Kapan terakhir kali mas Bimo ketemu bapak?" tanya Meili berusaha menarik perhatian Bimo "Hmmm...terakhir aku pulang ke Jogja lebih kurang 2 bulan yang lalu. Waktu itu sempat ketemu bapak tapi hanya sebentar karena bapak harus ke Pekanbaru. Kamu sendiri, kapan kamu ketemu orang tuamu Mei? Bimo balik bertanya. Dan kali ini dia sungguh-sungguh dengan pertanyaannya. Rasa penasaran di dadanya akan keberadaan Meili yang sempat menghilang beberapa waktu lalu, membuat dia ingin sekali tau dimana sebenarnya Meili berada saat menghilang itu. Meili berpikir sejenak sebelum akhirnya menjawab "Aku bertemu mama terakhir kali beberapa hari sebelum mama pindah ke Bali mengikuti suami keduanya. Kejadian itu hampir 3 tahun yang lalu. Sedangkan papa, belum lama ini datang dari Solo untuk urusan bisnis. Papa tinggal di hotel tak jauh dari kantorku, tapi setiap kali kuajak bertemu, jawabannya selalu sibuk. Sampai akhirnya papa menelponku mengajak bertemu. Seperti dapat durian runtuh aku segera ke hotel tempat papa menginap. Papa menungguku di lobby hotel. Berpakaian lengkap. Gagah sekali diusianya yang sudah setengah abad lebih. Belum lagi aku sempat bercakap2 dengan papa, mobil yang akan membawanya ke airport sudah menunggu." Meili menghembuskan nafas berat seakan bersama dengan udara yg keluar, dia ingin membuang juga segala kekecewaan yang berkecamuk di dadanya. "Papa tinggal di jakarta selama 10 hari dan dari 10 hari itu, hanya 5 menit waktu yg diberikan papa untukku, padahal sudah hampir 4 tahun kami tidak bertemu". Senyum hambar terlukis di wajah Meili yang putih halus. Matanya menatap keluar jendela diatas ranjang Bimo. "Mungkin menurut papa, aku sudah terlalu tua untuk bisa bermanja-manja lagi, sehingga 5 menit saja cukup bagiku untuk bertemu dengannya". Meili menarik nafas panjang lagi. "Padahal kalau saja papa tau, betapa aku rindu kasih sayangnya, perhatiannya. Betapa banyak yang ingin kuceritakan padanya, tentang teman2ku, tentang pekerjaanku, tentang kenaikan jabatanku, dan lain lainnya yang tak mungkin kuceritakan dalam waktu 5 menit. Tapi ternyata, semua keinginanku hanya bisa terlaksana dalam mimpi saja" Meili tertawa lirih, "tapi sayangnya aku sudah lupa bagaimana bermimpi itu. Aku sudah lama sekali menghapus kata bermimpi dalam kamus kehidupanku. Bagiku hidup adalah kenyatan bukan mimpi. Dan kalau kenyataan seperti ini, aku siap menghadapinya. Toh selama ini aku juga hidup sendiri." Kata Meili sambil berusaha untuk kelihatan tegar dan cuek. Bimo bisa melihat jelas bahwa Meili berusaha untuk kelihatan tegar, tapi sebenarnya dia hanyalah manusia biasa, yang juga bisa rapuh. Sepandai-pandainya Meili menyembunyikan kepedihan dari wajahnya,  matanya yang bening dan teduh itu, tidak mungkin menyembunyikan apapun darinya. Melihat wajah yang sangat dirindukannya itu begitu bersahaja, walau Meili berusaha menutupinya, membuat Bimo merasa ingin meraih Meili kedalam pelukannya. Tapi hanya sekejap, Bimo ingat janjinya untuk menjauhi Meili, dia pun hanya mampu menarik dan menghembuskan nafasnya dengan perasaan tercekat. **Bersambung**

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun