"Tolabul i’lmi minal mahdi ilal lahdi (Tuntutlah Ilmu Mulai dari Buaian Sampai Liang Lahat)" (HR. Bukhori)
Negeri "Merah Putih" adalah negeri yang katanya kaya akan sumber daya manusia dan kekayaan sumber daya alam melimpah ruah. Tapi mengapa anak bangsa banyak yang terjajah dengan kebodohanʔ masa depannya terkubur tertarik ulur magnet maju mundur. Katanya Negeri ini adalah negeri yang berpancasila, tapi mengapa sebagian besar bangsanya mengalami penderitaan. Penderitaan materi dan penderitaan batin yang membumi di bawah langit pertiwi. Apakah ketuhanan yang Maha Esa telah berubah makna menjadi Keuangan yang Maha esaʔ. Apakah pakaian Kemanusiaan yang adil dan beradab "telah lusuh & mengganti baju" kemanusiaan yang rakus dan biadabʔ. Apakah Makna Persatuan Indonesia bergeser menjadi kesatuan indonesiaʔ, Apakah "jabatan"kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan "telah pensiun dan mengangkat jabatan baru" yakni kerakyatan yang dipimpin oleh kebobrokan dalam permusyawaratan dan perwakilanʔ, Apakah "penegak" keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia "telah Amnesia" sehingga mewujudkan keadilan sosial bagi pihak tertentu dalam menjarah Indonesiaʔ. Segelumit tanya yang mengundang resah bagi anak bangsa, fakta telah berbicara, antara das sein dan das sollen tak lagi akrab dan saling menyapa. Mungkinkah ini semua erat kaitannya dengan penerapan pendidikan di Negeri Sang saka "Merah Putihʔ".
Masih lekat diingatan tentang pesan pencerahan dari beberapa tokoh pendidikan, yakni Paulo Freire yang mencoba mengkritik paradigma pendidikan Indonesia. Dalam bukunya Menggugat Pendidikan Indonesia, Ia mengatakan bahwa Negeri ini telah lelah dengan pembentukan dunia pendidikan "gaya bank". Karena dibalik itu sebenarnya ada proses pelanggengan sistem relasi "penindasan", sehingga cenderung melahirkan peserta didik yang pasif. Peserta didik diibaratkan cawan kosong yang akan segera diisi oleh tenaga pendidik. Bagi Freire, manusia memiliki 3 tahap kesadaran, yakni kesadaran magis, naif dan kritis sehingga dengan hadirnya pendidikan seharusnya mewujudkan tujuan utamanya yakni menumbuhkan kesadaran kritis itu. Selain daripada itu, Murtadha Muthahhari juga mengkritik pendidikan anak bangsa yang cenderung masih menggunakan paradigma pendidikan tradisional, yang mana pendidikan tradisional menjadikan mereka layaknya "alat perekam". Dalam beberapa artikel yang menuliskan pandangan Muthahhari tentang pendidikan, Â mengatakan bahwa pendidikan selayaknya mengembangkan potensi berfikir kreatif pada diri peserta didik serta membekali mereka dengan semangat kemerdekaan dalam proses pengembangan potensi berfikir. Kedua tokoh ini setidaknya memberikan sumbangsih besar dalam mencetuskan "revolusi berfikir" peserta didik dan meletakkan pondasi dasar paradigma pendidikan yang memanusiakan manusia serta mengatakan TIDAK atas penindasan terhadap potensi dan fitrah peserta didik sebagai seorang manusia.
Pendidikan di tingkat universitas pun telah mengalami pereduksian makna, banyaknya universitas yang berdiri kokoh nan megah dengan bangunannya yang kokoh toh tidak menjamin mahasiswanya tumbuh menjadi cerdas dan berakhlak mulia. Bukankah suatu tempat yang namanya "Universitas" adalah perkumpulan orang-orang yang dapat dikatakan sebagai "rakyat" dari suatu "negara intelektual" atau "negara akademis". Tapi begitulah potret pendidikan yang masih banyak dilakonkan oleh bangsa ini. Pendidikan menjadi "sakit" sebab Sistem pendidikan yang tidak bermutu, kesempatan pendidikan yang tidak paralel dengan kesempatan memperoleh kerja. Terlebih lagi kecerdasan peserta didik diukur oleh deretan angka-angka yang dikenal dengan IPK sehingga ijazah menjadi rukun iman masa depan yang harus diperjuangkan, alih-alih tersedialah "kantor transaksi" ijazah kilat.
Bangsa ini sungguh aneh, perjalanannya ironi menembus roda zaman. Dalam dunia pendidikan dan kerja, kualitas keilmuan menjadi the second item, keilmuan dan spiritualitas menjadi dua sisi yang saling terpisahkan. Apakah bangsa Indonesia akan benar-benar membuat suatu kebudayaan masyarakat modern yang liberal, pendidikan yang lengang dari moralitas, membentuk sistem sosial yang membuat setiap orang merasa kesepian sambil bekerja seperti mesin dan menghibur diri seperti binatang, dengan tingkat frustasi sosial yang tinggi. Sehingga tak ada lagi ruang untuk sekedar saling menyapa dan menciptakan hubungan yang manusiawi. Maka tak heranlah, sejumlah konflik tak kunjung henti "bertamu" di negeri ini, penyelesaian masalahnya pun yang seharusnya masih bisa ditempuh melalui dialog intelektual, mengambil jalan pintas dengan menggunakan kekerasan fisik.
Jika sudah seperti itu adanya negeri ini, maka pantaslah bangsa ini mendapat julukan bangsa selembar ijazah. Tapi bagi anak-anak kehidupan, virus ini harus segera dicari pencegahannya agar tidak menular terlalu jauh. Ada pesan bijaksana yang dikatakan Aristoteles bahwa pendidikan adalah bekal terbaik untuk hari tua dan semoga ingatan tentang sabda Rasulullah saw bahwa "menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim (HR. Ibnu Majah)" masih segar dan menjadi semangat untuk terus mencari ilmu untuk diaplikasikan dalam rutinitas kehidupan dan menjadi kendaraan amal di dunia yang berorientasi pada pencapaian "titik ketunggalan".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H