Mohon tunggu...
Jusnawati As syifa
Jusnawati As syifa Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

saat ini menyandang status sebagai mahasiswi pascasarjana Universitas Hasanuddin

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Edisi Ibnu Khaldun

24 Oktober 2014   17:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:53 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Aku hanya ingin mengenalnya lebih dalam, mencoba untuk menghayati dan meresapi gagasan-gagasannya yang brilian, meski mungkin sebagian orang akan menganggapnya ini biasa-biasa saja. Entahlah…tapi yang pasti semua ini berawal dari perbincanganku bersama teman-teman, yang bagiku endingnya kurang memuaskan. Terlebih lagi salah satu kitabnya menjadi penghuni perpustakaan pribadiku. Memiliki kitabnya sekan melahirkan kewajiban baru bagiku untuk memahami dan menyatu dengan gagasan-gagasannya, inilah “hukum kepemilikan” yang hendak aku bangun bersama dengan sahabat setiaku ini. Meski hanya berbekal dengan salah satu kitabnya dan didukung oleh beberapa rujukan buku yang juga membahas tentang pikiran-pikirannya, aku hendak bercerita tentangnya. Pikirku menggeliat, mengapa gema pikirannya tak sekuat para pemikir-pemikir Barat, padahal jauh sebelum para pemikir Barat melahirkan beberapa teori-teorinya, sosok ini telah lahir dan menuangkan banyak gagasan maupun teori-teorinya, yang juga bersinggungan dengan apa yang dicetuskan oleh para pemikir Barat. Seperti teori Ashobiyah dan kategorisasi masyarakatnya, dalam teori Charles Horton Cooley kita mengenal teori Primary group dan secondary group, Ferdinand Tonnies dengan teori gameinshaft dan gesellsschaftnya, atau Emile Durkheim dengan teori solidaritas mekanik dan solidaritas organiknya.

Beliau dikenal dengan nama Ibnu khaldun atau nama kecilnya Abdurrahman, ia lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H, bertepatan dengan tanggal 27 Mei 1332 M. Memahami pikirannya, aku seperti diajak tuk berselancar ke beberapa abad yang lalu, melewati lorong-lorong sejarah, berinteraksi dengan masyarakatnya, mengurai peradaban (umran), kekuasaan, Negara, ekonomi dan banyak hal yang masih sulit bagiku tuk memetakannya. Sehingga memang tak pantas jika mengurung beliau ke dalam “rumah sosiologi” atau hanya menyandangkan gelar padanya sebagai seorang sosiolog muslim. Berbicara tentang sejarah, dalam kitabnya mukaddiamah mengungkapkan tentang sejarah bangsa Arab dan bangsa Barbar, yang terdiri dari penduduk yang tinggal menetap dan yang hidup menggembara, mencakup peristiwa politik serta raja-raja besar yang sezaman dengan beliau. Pentingnya memahami sejarah akan menghindarkan kita dari taqlid buta dan mengantarkan pada kebenaran akan hal ihwal bangsa-bangsa terdahulu. Dimana Hakikat sejarah adalah catatan tentang masyarakat ummat manusia. Identik dengan peradaban dunia; tentang perubahan yang terjadi pada watak perubahan itu, seperti keliaran, keramah-tamahan dan solidaritas golongan (ashobiyah); tentang revolusi dan pemberontakan oleh segolongan rakyat melawan golongan yang lain dengan akibat timbulnya kerajaan-kerajaan dan Negara dengan berbagai tingkatan.

Dalam kitabnya, aku juga menemukan pembahasan tentang manusia, yakni makhluk yang diciptakan oleh Tuhan yang berbeda dengan makhluk lainnya dikarenakan adanya ciri khas tertentu, yakni: pertama memiliki ilmu pengetahuan dan keahlian yang merupakan hasil pikiran, kedua butuh kepada pengaruh yang sanggup mengendalikan, dan kepada kekuasaan yang kokoh. Sebab tanpa hal itu eksistensinya tak bisa dimungkinkan, ketiga adanya usaha manusia untuk menciptakan penghidupan dan perhatiannya untuk memperoleh penghidupan itu dengan berbagai cara. Keempat watak memegang kekuasaan (mulk). Manusia hubunganya dengan kejiwaan, dikatakan pula bahwa jiwa manusia siap untuk berubah dari kemanusiaannya menuju ke rohaniahannya yang berada di atas tingkat kemanusiaannya.

Sehubungan dengan masyarakat, ibnu khaldun menggambarkan bahwa orang-orang badui dan orang-orang kota sama-sama merupakan golongan alami. Orang-orang yang tinggal mengembara di padang pasir membuat pertanian dan memelihara binatang ternak sebagai mata pencaharian mereka yang alami. Mereka membatasi diri hidup menurut kebutuhan dalam hal makanan, pakaian, tempat tinggal, dan seluruh ihwal serta kebiasaan. Orang yang hidup dengan bercocok tanam dan mengerjakan tanah, kedudukannya lebih tinggi daripada hidup mengembara. Mereka terdiri dari penduduk yang tinggal dalam komune-komune kecil, di desa-desa dan daerah-daerah pegunungan. Sedangkan orang-orang yang hidup dengan mengembala binatang ternak seperti kambing dan sapi, biasanya selalu mengembara dan hidup berpindah-pindah untuk mencari padang rumput dan air untuk ternak mereka. Di sisi yang lain, orang-orang yang hidup dengan beternak unta lebih banyak berpindah-pindah dan mengembara jauh di tengah-tengah padang pasir, disebabkan karena unta membutuhkan lebih banyak padang rumput pegunungan dengan tumbuh-tumbuhan. Mereka hidup dari tumbuh-tumbuhan belukar dan minumkan air padang pasir yang asin. Para peternak unta inilah yang dikategorikan sebagai orang-orang primitif Karena mereka lebih jauh masuk ke pedalaman padang pasir dan hidup di atas unta belaka.

Penduduk pada masa itu adalah orang-orang badui, namun sebagian dari mereka yang sudah merasa siap dan cukup kesiapan menerima kondisi dan kebiasaan hidup mewah, akan masuk pada kehidupan tenteram dan memungkinkan dirinya uuntuk mengatur dan memimpin kota. Dimana kondisi padang pasir dijadikan basis kondisi kota, sehingga hal ini menunjukkan kota tumbuh dari padang pasir. Ihwal kehidupan orang badui dan orang kota masing-masing berbeda ditinjau dari jenisnya. Dimana sebagian kaum lebih besar daripada kaum lain, sebagian kabilah lebih besar daripada lainnya, sebagian kota lebih luas dari kota lainnya dan sebagian kota kecil lebih banyak penduduknya dibandingkan kota kecil lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa desa lebih awal daripada kota-kota besar maupun kota kecil.

Kehidupan kota yang penuh dengan kenikmatan dan kemewahan, membuat orang-orang kota tenggelam dalam memperturutkan hawa nafsunya. Mereka memperbudak saudara-saudara yang masih satu generasi dengan mereka dan mempergunakan mereka untu melaksanakan tugas-tugas penting dan kegiatan pemerintahan. Waktu menelan mereka, sebagaimana energi telah dihabiskan oleh kesenangan dan kekuatan mereka kering oleh kebiasaan hidup mewah. superioritas mereka semakin meninggi dan mengakibatkan solidaritas mereka hancur dan lenyap. Kita disuguhkan banyak sejarah tentang hal seperti ini, ketika kedaulatan kaum ‘Ad hancur, saudara-saudara mereka, Tsamud yang menggantikan. Hal ini juga terjadi pada bangsa Persia, ketika kerajaan Kayani telah hancur, orang-orang Sassan menggantikan mereka, begitupun dengan bangsa Yunani, kekuasaan mereka hancur dan digantikan oleh Romawi. Inti dari keteguhan dari suatu kekuasaan dan kedaulatan sangat didukung dari aspek solidaritas sosialnya, ketika kemewahan dan kenikmatan menjadi “raja baru” dalam diri maka solidaritas dengan mudah dapat dilengserkan, pada detik itu pula suatu bangsa harus bersiap-siap mengalami keruntuhan dan kehancuran.

Penaklukan kekuasaan maupun wilayah yang kemudian mengalami keruntuhan dan kehancuran ditunjukkan oleh dinasti Abbasiyah oleh bangsa Arab yang kemudian diambil alih oleh bangsa Saljuk dan disusul oleh bangsa Tatar lalu menyapu bersih dinasti tersebut. Dinasti umayah di Spanyol. Setelah bangsa Arab menjadi lemah, para tuan tanah merampas kerajaan itu dan membagi-baginya diantara mereka. Kerajaan Byzantium yang ibunegaranya Konstantinopel. Sewaktu orang islam mengalahkan  Byzantium di Syiria dan merampas daerah itu dari tangan mereka. Mereka mundur dengan utuh ke ibu negaranya. Kerajaan mereka tetap berdiri di pusat, hingga Allah menentukan lenyapnya Negara itu. Berkaitan dengan dinasti, dalam kitabnya mukaddimah dijelaskan pula tentang perkembangan dinasti melalui tahap-tahap yang berbeda, dimana kondisi dinasti tidak lebih dari lima tahap berikut: pertama tahap sukses, dimana otoritas Negara didukung oleh masyarakat dan akibat dari solidaritas sosial yang berhasil menggulingkan kedaulatan dari dinasti sebelumnya. Kedua tahap tirani, yakni tahap dimana penguasa itu mulai bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Sendirian menetapkan keputusan tanpa mengikutsertakan bawahan, dan menutup ruang bagi mereka agar tidak turut campur dan mengambil bagian dalam urusan pemerintahan, dan menjadikan keluarga dari pihak yang berkuasa dalam masuk dalam jajaran kekuasaannya. Ketiga tahap senang-sentosa, yakni menikmati buah dari kedaulatan yang diperoleh dan penguasa fokus terhadap  usaha membangun Negara. Keempat tahap kepuasan hati, tenteram dan damai. Penguasa merasa puas dengan segala sesuatu yang telah dibangun para pendahulunya. Kelima tahap hidup boros dan berlebihan, pada tahap ini pemegang tampuk kekuasaan atau pemerintahan menjadi perusak bagi kebaikan yang telah dikumpulkan oleh para pendahulunya. Ia menuju pada pemuasan hawa nafsu, kesenangan menghibur diri, merusak orang-orang besar yang dicintai rakyat dan para pendukung pendahulunya. Pada tahap ini Negara tinggal menunggu kehancurannya.

Mempertahankan suatu kekuasaan dan meraih peradaban dalam masyarakat, ibnu Khaldun kental dengan teori Ashobiyahnya yang dapat dipahami sebagai solidaritas, kesetiaan kelompok, esprit de crops, rasa cinta terhadap suku atau kelompok. Rasa cinta atau solidaritas terhadap kelompok memiliki dampak positif tetapi pada sisi lain juga berdampak negatif, karena rasa cinta yang berlebihan terhadap suku atau kelompok akan melahirkan sikap fanatisme dan menganggap kelompok atau suku lain berada pada posisi yang rendah, keadaan seperti ini pada akhirnya akan melahirkan konflik untuk mempertahankan jati diri dan identitas kelompok. Konflik dalam perspektif ibnu khaldun dapat dikategorikan sebagai berikut: pertama perspektif psikologis yang merupakan dasar sentimen dan ide yang membangun hubungan sosial diantara berbagai kelompok manusia (keluarga, suku dan lainnya), kedua fenomena politik yang berhubungan dengan perjuangan memperebutkan kekuasaan dan kedaulatan yang melahirkan imperium, dinasti, dan Negara. Ketiga fenomena ekonomi yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi pada tingkat individu, keluarga, masyarakat maupun Negara. Dalam karyanya ia juga menggambarkan tentang Negara dan kekuasaan.

Struktur pemikiran Ibnu Khaldun tentang konsep negara dan kekuasaan dapat dilihat dalam kerangka berikut: pertama, kekuasaan dan negara dipandang dari segi asal-usulnya, merupakan suatu kesinambungan dan bentuknya yang sempurna dalam Negara. Antara kekuasaan dan Negara tidaklah saling bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Kedua, kekuasaan dan Negara dalam pemikiran Ibnu Khaldun memberikan sebentuk keteraturan dan ketenteraman kepada kehidupan masyarakat manusia sehingga keduanya itu mutlak penting bagi kehidupan manusia dan bagi perkembangan potensi yang terdapat dalam diri manusia, baik dalam hal kerjasama maupun dalam hal meningkatkan kualitas manusia. Ketiga, meskipun kekuasaan Negara dianggap Ibnu Khaldun sebagai kekuasaan dalam bentuknya yang paling sempurna, apa yang diistilahkan sebagai kekuasaan tidak sempurna dalam Negara dan masyarakat. Keempat, perkembangan yang selalu terdapat pada kekuasaan dan Negara menimbulkan rotasi dalam kekuasaan dan Negara itu. Dan hal ini akan memunculkan kemajuan karena setiap kekuasaan yang baru mendasarkan perkembangannya dengan cara memanfaatkan pengalaman-pengalaman kekuasaan yang lama dan membangun diri di atas kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh kekuasaan lama (Rahman Zainuddin, 1992: 21-22 dalam Syarifuddin, 2012: 104-105).

Ketahanan dan kemajuan suatu Negara juga distimulus dari aspek ekonomi. sehubungan dengan ekonomi, ibnu khaldun berbicara tentang kaitan eksistensi manusia dengan interaksi-interaksi antar kekuatan-kekuatan sosial dalam masyarakat, hal ini akan ditentukan pula oleh orientasi tindakan sosial individu dalam mencapai kesejahteraan kolektif. di sisi lain pendistribusian sumber-sumber kekayaan secara adil kepada mereka yang memerlukan bantuan dan keberpihakan Negara dalam soal ini dengan membuat regulasi atau kebijakan yang membatasi dominasi (hegemoni) mereka yang memiliki sumber kekayaan dan modal. Kegiatan produksi dapat dilihat berdasarkan kategorisasi masyarakat Ibnu khaldun, terdapat masyarakat desa dan kota. Masyarakat desa memiliki tingkat ashobiyah yang tinggi, proses produksinya berlangsung sederhana dan mereka memproduksi sesuatu hanya untuk kebutuhannya. Apa yang diproduksinya hanya berkaitan demi kelangsungan hidupnya. Sementara masyarakat kota orientasi produksinya lebih cenderung pada kemewahan. Mereka memproduksi melebihi apa yang sebenarnya menjadi kebutuhan mereka. Dimana penumpukan harta benda dan gaya hidup bermain di dalamnya.

Berdasarkan rentetan pembahasan ini, maka kesimpulan yang dapat ditarik adalah solidaritas merupakan kunci utama dalam mempertahankan keutuhan masyarakat. Masyarakat yang bersifat individualis akan sangat mudah dihancurkan oleh masyarakat yang memiliki solidaritas sosial yang sangat kuat. Dan dalam perjalanannya masyarakat dalam perspektif ibnu khaldun mengalami perubahan yang bersifat siklus, kemajuan masyarakat badui akan mengantarkannya menjadi masyarakat kota yang lama kelamaan akan mengalami kehancuran dan kembali mengambil karakter dari masyarakat badui lalu melakukan upaya kebangkitan kembali dan begitu seterusnya. Jika kita memabaca serentetan teori Ibnu khaldun ini untuk menganaisis masyarakat kita saat ini, so..how about our country, our society and our solidarity ?

sumber bacaan;

Jurdi, Syarifuddin. 2012. Awal Mula Sosiologi Modern. Bantul: Kreasi Wacana

Thoha, Ahmadie. 2000. Muqaddimah Ibnu Khaldun. Jakarta: Pustaka Firdaus

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun