Seperti saya tulis dalam beberapa serial artikel ekonomi digital di blog ini, bahwa dampak dari ekspansifnya pertumbuhan ekonomi berbasis teknologi informasi tersebut merambah ke berbagai sektor industri. Tak hanya di dunia transportasi yang penuh dinamika di Indonesia. Seperti kita saksikan bagaimana Uber, Gojek dan Grab memaksa pemain lama macam Blue Bird atau Taksi Express untuk bersekutu. Alih-alih berkompetisi yang malah menguras energi.
Dampak dari ekonomi digital juga terjadi sangat dinamis di sektor ritel. Pasar ritel online dipadati pemain-pemain besar. Perusahaan bermodal raksasa bermunculan. Mulai dari pemian lokal macam Lippo Group (Mataharimall), Djarum (Blibli), hingga raksasa mancanegara seperti Alibaba (Lazada) juga tak mau ketinggalan menyerbu ritel online Indonesia.
Ritel online merekah indah. Industri ini terdorong oleh penetrasi internet yang massif dan maraknya smartphone murah. Bloomberg memperkirakan, 53% masyarakat Indonesia terlibat belanja online pada tahun 2020 mendatang.
Lantas, apakah penetrasi ritel online akan membunuh toko-toko di Pasar Tanah Abang? Pertanyaan semacam ini selalu muncul di tengah arus ekonomi digital. Sektor transportasi dan perhotelan memang mulai terganggu oleh munculnya Uber dan Air Bnb.
Pertanyaan di atas terjawab oleh riset Brand and Marketing Institute. Tercatat bahwa hanya 24% orang yang pernah melakukan transaksi online. Sebanyak 76% lainnya memilih datang langsung belanja di toko.
Fakta lain secara global, Baymard Institute mengungkapkan jika sebanyak 67,45% orang cenderung sebatas membuka laman toko online namun tidak melakukan transaksi. Fakta yang sulit disangkal bahwa kita memang masih merasa lebih aman belanja langsung di toko. Ini faktor budaya yang dikuatkan oleh faktor kebutuhan akan safety and security dalam transaksi.
Dari data dan fakta tersebut, bisa ditarik hipotesa jika pusat ritel hingga trade mall (TM) seperti Tanah Abang, TM Harco Glodok atau TM Plaza Kenari Mas memiliki usia harapan bisnis yang panjang. Pusat-pusat ritel itu masih akan terus berkibar. Tentu saja dengan cara berbeda. Tidak seperti sebelum maraknya ritel online.
Keniscayaan Inovasi
Para pengelola trade center yang toko-toko mereka diisi oleh peritel dari kalangan UKM, mesti berbenah. Inovasi adalah kunci untuk tetap eksis di tengah perubahan lanskap industri. Begitu nasihat para pakar manajemen.
Dari sekian banyak trade center yang bertebaran di Indonesia, di Jakarta ada beberapa nama legendaris. Sebutlah Blok B Tanah Abang, Harco Glodok, Blok M Squre, Mangga Dua Square dan LTC Glodok.
Pusat-pusat perbelanjaan yang dikelola oleh Agung Podomoro Land (APLN) itu tadinya merupakan trade center. Merespons perubahan industri yang didobrak oleh ekonomi digital, mereka melakukan inovasi. Trade center milik Podomoro berganti nama menjadi trade mall.