Mohon tunggu...
Jusman Dalle
Jusman Dalle Mohon Tunggu... Editor - Praktisi ekonomi digital

Praktisi Ekonomi Digital | Tulisan diterbitkan 38 media : Kompas, Jawa Pos, Tempo, Republika, Detik.com, dll | Sejak Tahun 2010 Menulis 5 Jam Setiap Hari | Sesekali Menulis Tema Sosial Politik | Tinggal di www.jusman-dalle.blogspot.com | Dapat ditemui dan berbincang di Twitter @JusDalle

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ongkos Naik Haji Hanya Rp 20 Juta, Ini Hitung-hitungannya

5 Juni 2014   15:04 Diperbarui: 20 Juni 2015   05:15 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14019300261741171207

[caption id="attachment_327494" align="aligncenter" width="565" caption="Foto : www.tribunnews.com"]
[/caption]

Dugaan korupsi penyelenggaraan haji tahun 2012-2013 yang menyeret Menteri Agama Surya Dharma Ali merupakan puncak gunung es dari karut-marut dan bobroknya sistem di tubuh pemerintahan khususnya terkait tata kelola serta tata laksana ibadah haji. Sistem tata kelola dana dan penyelengaraan haji belum mendukung upaya pencegahan korupsi, bahkan sebaliknya malah menstimulus terjadinya korupsi, sebab Kementrian Agama (Kemenag) memonopoli tiga fungsi yaitu Kemenag bertindak sebagai eksekutor, regulator dan sekaligus evaluator.

Seperti ungkapan populer John Dalberg Acton atau Lord Acton "power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely". Di Kemenag, terjadi penumpukan kewenangan (absolute power) Fungsi eksekutor, regulator dan evaluator mestinya dipisahkan ke tiga institusi berbeda untuk menciptakan mekanisme check and balance.

Dengan menggunakan kacamata manajemen, tak sulit menemukan kelemahan sistem yang menurut KPK ada 48 titik potensi terjadinya korupsi pengelolaan dana serta penyelenggaraan haji. Pemusatan pengelolaan dana serta penyelenggaraan haji di Kemenag adalah jebakan kompleksitas sistem sebab padagalibnya pelaksanaan haji melibatkan institusi selain Kemenag, misalnya urusan kesehatan jamaah oleh Kemenkes, urusan passport dan visa oleh Kemenkumham sehingga butuh koordinasi yang cepat. Di bawah aparatur pemerintah yang sangat birokratis dan belum mengedepankan mental pelayanan (service), kompleksitas pola koordinasi seperti ini juga menjadi celah korupsi yang masif.

Badan Haji

Pengelolaan dana serta penyelenggaraan haji jangan dibiarkan serampangan. Organisasi yang mengurus hajat ubudiyah jutaan umat ini harus didesain untuk menciptakan suasana kerja efektif dan efisien serta menghindarkan dari jebakan-jebakan koruptif yang bisa saja terjadi tanpa disadari. Karena itu, dipandang urgen untuk segera membentuk badan khusus yang independen untuk mengelola dana serta penyelenggaraan ibadah haji guna mengurai kompleksitas sistem yang selama ini jadi musabab terjadinya korupsi.

Bila pemerintah mengamini pembentukan Badan Haji, maka dalam pengelolaan dana serta pelaksanaan ibadah haji kedepan, badan yang diberikan kewenangan akan bekerja lebih fokus tak seperti Kemenag yang tidak konsen sebab secara institusional memiliki banyak tanggungjawab di luar urusan haji. Selain bisa fokus, institusi independen dengan sistem manajemen yang lebih rapi mentransmisi efektivitas pengelolaan triliunan rupiah dana umat yang mengendap tanpa harus dihantui oleh jebakan korupsi. Agar tercapai misi pembentukan Badan Haji untuk mencegah terjadinya korupsi, maka sedari awal Badan Haji didesain sebagai institusi cerdas (smart institution) yang mengedepankan profesionalitas, transpransi serta akuntabilitas guna menutup celah-celah potensi korupsi.

Transformasi pengelolaan tenaga kerja yang sebelumnya terpusat Kementrian Transmigrasi dan Tenaga Kerja (Kemenakertrans) lalu seutuhnya ditangani oleh Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) sebagai ekskutor dan Kemenakertrans memegang fungsi regulator menarik kita cermati sebagai benchmark gagasan pembentukan badan haji sebab keduanya memiliki kesamaan dalam hal keterlibatan banyak institusi, mengelola dana serta mengelola aktivitas manusia di dalam serta di luar negeri.

Sebelum terbentuknya BNP2TKI, pengelolaan buruh migran di luar negeri juga terbelit oleh sistem manajemen yang amburadul, terjabk oleh tumpang tindih kewenangan sebab melibatkan banyak lembaga diantaranya Kemenkumham (mengurus soal keimigrasian), Kemenlu (advokasi TKI di negera tujuan penempatan), agen-agen tenaga kerja serta pemerintah daerah sebagai pihak yang lebih mengetahui suplai tenaga kerja. Pascakeluarnya Perpres 81 tahun 2006 tentang pembentukan BNP2TKI, kita melihat perubahan besar pada efktivitas dan efisiensi pengelolaan buruh migran. Ketika misalnya TKI kita menghadapi suatu masalah, jalur koordinasi menjadi lebih jelas yaitu berada di pihak eksekutor dalam hal ini BNP2TKI, sehingga memudahkan monitoring dan pengambilan langkah-langkah advokasi.

Merujuk pada BNP2TKI yang menggunakan dana APBN dalam operasionalnya, ini juga bisa diterapkan oleh badan haji guna mencegah penyelewengan dana umat digunakan seenaknya oleh oknum-oknum pejabat Kemenag maupun DPR yang kerap membawa serta rombongan keluarga menunaikan ibadah haji dengan alibi itu merupakan jatah mereka. Pembentukan Badan Haji bakal menjadi medium transformasi manajemen serta membuka cakrawala paradigma ekonomi untuk optimalisasi pengelolaan triliunan dana umat yang selama ini diparkir tanpa kejelasan dan transparansi serta tidak memberikan manfaat maksimal.

Untuk mencapai tujuan pertama yaitu manfaat transformasi manajemen, Badan Haji yang nantinya bakal berfungsi sebagai eksekutor saja, merampingkan organisasi serta secara otomatis memotong rantai birokrasi bertingkat dan kompleks yang melibatkan banyak institusi. Badan Haji juga mengakhiri rezim monopoli kewenangan sebab Kemenag tinggal memegang satu fungsi, yaitu sebagai regulator sementara Komisi VIII DPR yang membawahi persoalan haji, berfungsi sebagai evaluator. Dengan demikian, secara organisasi, pengelolaan dana serta tata laksana haji menjadi lebih rapi.

Manfaat kedua, yaitu membuka peluang pengelolaan dana haji dengan pendekatan bisnis (tapi bukan swastanisasi) seperti pengelolaan BUMN-BUMN yang melaksanakan misi pelayanan (service) pada masyarakat serta di lain pihak bertugas memperoleh laba (profit). Kini, taka ada pilihan lain bagi pemerintah kecuali mengakhiri rezim konvensional dengan pendekatan tata kelola baru di bawah sebuah badan independen dan profesional.

Menurunkan Biaya Haji

Bila badan haji ini nantinya dibentuk, maka salah satu langkah strategis yang menarik ditempuh adalah optimalisasi dana abadi umat (DAU) untuk pelayanan kepada para jamaah. Sampai tahun 2014, simpanan DAU menurut keterangan Dirjen Haji dan Umrah Anggito Abimanyu telah mencapai Rp 2,4 triliun dan setoran calon jamaah haji mencapai Rp 64,9 triliun rupiah. Angka yang sangat fantastis dan bisa mendukung ibadah haji murah jika dikelola dengan paradigma ekonomi yang benar. Sebagai komparasi, di negeri jiran Malaysia, Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) mencapai Rp 40 juta, namun jamaah hanya membayar Rp 27 juta saja sebab sisa kebutuhan disubsidi langsung dari Tabungan Haji Malaysia (THM) atau serupa DAU di Indonesia.

Komponen terbesar biaya ibadah haji berasal dari pos transportasi yang mencapai Rp 16,3 juta. Pos transportasi bisa dihilangkan jika jamaah haji menggunakan pesawat sendiri yang dibeli menggunakan DAU. Pesawat tipe Air Bus 330-300 atau sejenisnya yang berkemampuan kargo besar serta kapasitas hingga 300 seat dan ideal untuk pesawat haji, berharga sekitar Rp 1,2 triliun per pesawat.

Untuk mengangkut 200 ribu jamaah selama musim haji, dibutuhkan kurang lebih 20 pesawat. Berarti Rp 24 triliun DAU terpakai untuk membeli pesawat. Masih tersisa Rp 40,5 tiliun DAU yang bisa difungsikan sebagai dana cadangan untuk berbagai keperluan maupun untuk dikelola ke dalam bentuk instrument bisnis yang aman dan menguntungkan.

Bila paradigma ekonomi-bisnis ini direalisasikan, cost transportasi dihapus, praktis jamaah tinggal membayar biaya selama di tanah suci (living cost) meliputi biaya kesehatan, konsumsi, dan penginapan serta transportasi lokal. Sebagai acuan penghitungan, tahun 2013 dan 2014 BPIH sebesar Rp 33,8 juta. Dikurangi komponen biaya transportasi sebesar Rp 16,3 juta, berarti cukup membayar Rp 17, 5 juta saja untuk dapat menunaikan ibadah haji. Jika pun masih ada biaya lain-lain, asumsinya tak lebih dari Rp 20 juta. Angka efisiensi yang sangat besar.

Dus, mewujudkan pelaksanaan ibadah haji yang murah dan nyaman bukanlah persoalan sulit jika pemerintah serius ingin membenahi dan mengubah cara kerja pengelolaan haji. Secara fungsional kelembagaan, pembentukan Badan Haji juga akan mengembalikan Negara berada di track yang benar dalam menjalankan tanggungjawab pelayanan kepada umat.

*Penulis adalah Analis SERUM Institute dan bekerja sebagai Tenaga Ahli Anggota DPR RI Komisi VIII membawahi bidang haji. Artikel ini pernah diterbitkan di Koran Republika (4/6/2014) dengan judul Urgensi Badan Haji

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun