Mohon tunggu...
Jusman Dalle
Jusman Dalle Mohon Tunggu... Editor - Praktisi ekonomi digital

Praktisi Ekonomi Digital | Tulisan diterbitkan 38 media : Kompas, Jawa Pos, Tempo, Republika, Detik.com, dll | Sejak Tahun 2010 Menulis 5 Jam Setiap Hari | Sesekali Menulis Tema Sosial Politik | Tinggal di www.jusman-dalle.blogspot.com | Dapat ditemui dan berbincang di Twitter @JusDalle

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Moderator Debat Capres Harusnya Praktisi

11 Juni 2014   16:11 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:14 839
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Moderator Debat Capres Harusnya Praktisi

Debat perdana Capres/Cawapres telah usai digelar pada Senin (9/6/2014) malam. Para pendukung kedua pasang kandidat tentu saja memuji argumentasi jagoan mereka di panggung pertunjukan adu gagasan visi dan misi itu, dan tak lupa menyerang cara beretorika kandidat lawan. Sengitnya komentar mengenai debat kandidat perdana ini sangat terasa di timeline Facebook dan Twitter saya.

Muntahan kata-kata kasar dan sadis tak terelakkan. Caci-maki bertebaran. Saya sampai speechless membaca status dan kicauan teman-teman kelas menengah pengguna jejaring sosial. Sebegitu fanatik mereka mendukung kandidat jagoan sehingga lupa pada tatakrama komunikasi kita sebagai bangsa berbudaya.

Di luar komentar- mengenai performa kedua pasang kandidat, yang juga banyak dikomentari adalah moderator. Umumnya, moderator pada debat perdana itu dianggap jadi benalu panggung debat karena justru kurang mampu mengeksplorasi dan menggali lebih dalam visi dan misi kedua pasang kandidat. Moderator, kata pengguna jejaring sosial, terlalu mendominasi jalannya debat dan kurang tangkas mengonfrontasi gagasan kedua pasang kandidat.

[caption id="" align="aligncenter" width="526" caption="Ekpresi kekecewaan netizen pada moderator (Sumber : Facebook)"][/caption]

Tak jarang, Capres dan Cawapres seperti Nampak bermonolog, bercerita sendiri di atas panggung. Bukan berdebat. Debat, apalagi yang diperdebatkan soal masa depan bangsa, memang butuh moderator ulung. Bukan sekadar cerdas secara intelektual yang dibuktikan dengan gelar akademik, namun juga tentu saja moderator yang punya pengalaman panjang terkait tema sehingga bisa menjiwai jalannya debat.

Kalau saja tidak termasuk Tim Sukses, yang paling ideal didapuk jadi moderator pada debat kemarin yang mengangkat tema Pembangunan Demokrasi, Tata Kelola Pemerintahan Yang Bersih, Dan Kepastian Hukum, adalah Mahfud MD. Sebab beliau memiliki pengalaman praktikal di bidang Hdi bidang Hukum yakni sebagai mantan Ketua Mahkamah Konstitusi juga diperkaya dengan pengalaman sebagai Mantan Menteri Pertahanan dan mantan Anggota DPR. Selain itu, beliau juga seorang akademisi. Praktisi yang akademis. Komplit.

Sangat berbeda cara pandang orang yang khatam membaca ribuan jurnal dan menguasai berbagai macam TEORI ilmiah dengan yang punya khazanah PENGALAMAN panjang. Pengalaman membuat orang matang dan dewasa sehingga terhadap sebuah tema yang pernah digeluti, tentu saja membentuknya menjadi sosok bijak dan fleksibel. Tanpa bermaksud melecehkan moderator debat pilihan KPU, saya lebih sepakat bila moderator pada debat episode berikutnya berasal dari kalangan PRAKTISI.

Pilpres ajang untuk mencari pemimpin yang akan mengeksekusi visi dan misi, bukan yang jago dan hafal teori semata. Karena itu, relevan kiranya bila PRAKTISI yang memoderatori debat, sebab ia bisa merangsang isi pikiran dan hati para kandidat Capres/Cawapres dengan paradigma implementatif. Menstimulus agar kedua pasang calon pemimpin Indonesia yang bakal bertanggung jawab pada nasib 250 juta rakyat ini, memahami secara PRAKTIS (BUKAN TEORITIS) apa yang bakal ia jumpai di lapangan.

Praktisi adalah orang-orang yang terbiasa berpikir praktis dan membumi sehingga pertanyaan-pertanyaannya pun bakal lebih mudah dipahami oleh rakyat sebagai audience sasaran debat. Kita tentu saja tak ingin ajang debat ini justru berubah menjadi seperti arena ujian skripsi. Yang kita inginkan, debat membuka cakrawala berpikir para kandidat untuk memahami kehidupan ril masyarakat dan menyiapkan formula kebijakan yang relevan.

Saya khawatir, bila disuguhi dengan pertanyaan-pertanyaan normatif, akademis, kaku dan membosankan seperti yang biasa kita terima di bangku kuliah, Capres/Cawapres pun memainkan jurus ‘silat lidah’ lazimnya keterampilan primer politisi, sehingga menjawab dengan retoris tapi miskin makna. Implikasinya, esensi debat tentu saja tak terengkuh. Debat jadi tak efektif untuk mengeksplorasi gagasan ril para kandidat serta tak menyentuh ke masyarakat alit yang perlu diyakinkan untuk memilih pemimpin berkualitas. Betapa musykilnya bila debat kandidat hanya jadi seremoni memoles citra KPU agar terkesan sukses menyelenggarakan Pilpres berkualitas dengan moderator dari intelektual yang memang tajir secara teoritis, namun miskin pengalaman praktis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun