Mohon tunggu...
Jusman Dalle
Jusman Dalle Mohon Tunggu... Editor - Praktisi ekonomi digital

Praktisi Ekonomi Digital | Tulisan diterbitkan 38 media : Kompas, Jawa Pos, Tempo, Republika, Detik.com, dll | Sejak Tahun 2010 Menulis 5 Jam Setiap Hari | Sesekali Menulis Tema Sosial Politik | Tinggal di www.jusman-dalle.blogspot.com | Dapat ditemui dan berbincang di Twitter @JusDalle

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Mimpi "Tax Amnesty" Dipatuhi

1 September 2016   16:14 Diperbarui: 1 September 2016   18:03 683
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi : freespaceway.com

Ramai tagar #StopBayarPajak di media sosial adalah ekspresi keresahan sejumlah warga negara terhadap pemerintah. Kebijakan tax amnesty jadi pemicunya. Pengampunan pajak tersebut dianggap meneror, alih-alih dipatuhi. Pasalnya, sosialisasi dan petugas tax amnesty diajurkan turun hingga ke desa-desa. Ini misalnya terjadi di Bitung, Sulawesi Utara. Artinya, petani, nelayan, dan kelompok masyarakat berpenghasilan kecil lainnya, juga disasar.

Semestinya sasaran tax amnesty adalah dana-dana besar dan repatriasi, aset kakap yang disimpan dan diamankan di luar negeri. Sangat kecil kemungkinan tax amnesty berhasil mencapai target jika yang disasar masyarakat kecil di kampung-kampung. Lagi pula, hal tersebut mencederai azas keadilan dan distribusi kesejahteraan yang menjadi spirit penarikan pajak.

Ancaman #StopBayarPajak sangat berbahaya jika benar-benar direalisasikan. Negara bisa shut down alias stop beroperasi tanpa pajak. Tahun 2016, 85,5% energi APBN dipompakan dari sektor pajak. Fungsi budgetir pajak sangat vital guna memacu roda pembangunan. Pajak menggalakkan tujuan-tujuan umum pemerintah seperti mencegah pengangguran, kestabilan moneter, dan pertumbuhan ekonomi (Safri Narmutu, 2005).

Keriuhan #StopBayarPajak di media sosial, mengingatkan kita pada peristiwa serupa tahun 2012. Musyawarah Nasional Alim Ulama NU ketika itu, mengancam akan mengeluarkan fatwa boikot pajak karena tingginya angka korupsi aparatur di Ditjen Pajak. Ekspresi ini jika masih sebatas protes, sebetulnya lumrah saja dilakukan. Sebab pajak merupakan instrumen fiskal konstitusional yang merefleksikan kedaulatan tertinggi rakyat.

Meskipun terpaut waktu empat tahun dan berbeda rezim pemerintahan, tagar #StopBayarPajak dan ancaman boikot pajak oleh PBNU memiliki esensi pesan yang sama, yaitu ada kekecewaan mendalam yang mengakar di sanubari masyarakat. Kecewa pada aparatur penyelenggara pemerintahan yang dianggap tidak mampu mengelola negara. Ini diperparah oleh banyaknya pejabat publik yang korupsi.

Defisit APBN merupakan masalah yang berulang setiap tahun. Penyebab sehingga defisit kali ini memicu perhatian besar karena tumpukan utang untuk menutup defisit tersebut kian menggunung, meskipun sudah dilakukan pemangkasan anggaran di 60 Kementerian dan lembaga negara.

Berbagai proyek yang diluncurkan pemerintah juga butuh uang. Proyek-proyek tersebut tidak berjalan mulus dengan kondisi keuangan negara yang tersengal-sengal. Singkatnya, pemerintah sedang butuh dana segar dalam jumlah besar.

Kebijakan instan tax amnesty untuk menyiasati masalah APBN hanya berfungsi analgesik semata. Untuk jangka pendek saja. Bukan solusi permanen meskipun target penerimaan yang dipasang sangat ambisius, yakni Rp 165 triliun. Faktanya hingga satu bulan berjalan, dana yang masuk ke kas negara dari program tax amnesty baru Rp 2,14 triliun atau 1,2%.

Dalam jangka panjang, yang dapat diharapkan dari tax amnesty adalah dana repatriasi yang ditargetkan masuk ke Indonesia sebesar Rp 1.000 triliun hingga Maret 2017. Meskipun hingga akhir bulan Agustus baru terkumpul Rp 7,66 triliun atau 0,76%.

Jika ukuran sukses tax amnesty adalah penerimaan tebusan yang masuk ke kas Negara, waktu 10 bulan terhitung dari 1 Juli 2016 sampai dengan 31 Maret 2017, sebetulnya sangat mepet. Apalagi jika berharap repatriasi. Tidak semua aset orang Indonesia di luar negeri, diparkir begitu saja dan dapat ditarik sewaktu-waktu.

Karenanya, perlu ada terobosan kebijakan lanjutan yang memiliki kekuatan magnetik agar dana repatriasi pulang kampung. Tak cukup dengan sekadar pengampunan, tebusan yang ringan dan pembebasan dari pidana. Para pemilik aset tersebut, tentu berharap dana mereka bisa berputar dan berkembang di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun