Mohon tunggu...
Jusman Dalle
Jusman Dalle Mohon Tunggu... Editor - Praktisi ekonomi digital

Praktisi Ekonomi Digital | Tulisan diterbitkan 38 media : Kompas, Jawa Pos, Tempo, Republika, Detik.com, dll | Sejak Tahun 2010 Menulis 5 Jam Setiap Hari | Sesekali Menulis Tema Sosial Politik | Tinggal di www.jusman-dalle.blogspot.com | Dapat ditemui dan berbincang di Twitter @JusDalle

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ini Alasan MLM Tak Masuk Akal untuk Sukses Bersama

16 Februari 2015   14:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:06 1414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak sepuluh tahun lalu, berbagai jenis pelaku multi level marketing (MLM) telah mengajak saya bergabung dengan bisnis mereka yang penuh dengan janji dan iming-iming reward dan bonus tersebut. Mulai dari dosen, kolega hingga rekan mahasiswa datang menawari. Sempat menyimak presentasi mereka karena terpaksa. Menghargai teman. Sedikit bergumam, “menarik juga”, setelah diperlihatkan kesuksesan beberapa orang pelaku MLM. Ada yang pesiar ke mancanegara, beli mobil mewah, dan lain sebagainya. Tapi, setelah saya pelajari, ada beberapa hal yang tidak tidak masuk akal, dan itu alasan kenapa sampai sekarang saya menolak bergabung dengan MLM. Di awal kemunculannya, MLM lebih ke strategi marketing. Dengan sistem MLM, produk bisa terjual nyaris tanpa cost iklan dan tak butuh biaya promosi. Bahkan jalur distribusinya pun lebih sederhana. Marketer atau member MLM, sekaligus berperan sebagai sales. Tak perlu iklan di TV, tak usah pasang billboard, tanpa outlet di mall atau tanpa toko sebagai ujung lini penjualan, cukup dengan memberikan motivasi berupa bonus, maka member yang berperan sebagai marketer dan sales ini membantu mengatrol penjualan secara drastis. Strategi tersebut menguntungkan perusahaan. Efisiensi sangat tinggi bisa dicapai. MLM otentik, murni sekadar sebagai strategi marketing. Cuma, semakin ke sini, MLM malah fokus menjual iming-iming. Bukan melakukan creating value agar produknya layak beli dan kompetitif. Menurut saya, ini merupakan bentuk penyimpangan. MLM yang tadinya merupakan strategis bisnis, tiba-tiba dijadikan komoditas. Berawal dari sini, kemudian muncul irasionalitas MLM, yang umumnya menjadi alasan sederhana mengapa banyak orang tidak tertarik dengan bisnis yang bertabur iming-iming ini. Pertama, umumnya, sukses MLM hanya dinikmati oleh “orang-orang atas”, sementara kehidupan anak buah atau biasa disebut downline, begitu-begitu saja. Coba telusuri, MLM jenis apa pun, seberapa pun sukses para pimpinannya, pasti banyak orang-orang menderita di bawah. Seperti terilustrasi di dalam piramida yang sering jadi model skema kerja dan keuntungan finansial pelaku MLM, yang berada di posisi puncak (upline) pasti ditopang oleh orang-orang di dasar piramida atau downline. Dan ini mutlak. Piramida tidak akan terbalik. Piramida tidak akan berubah bentuk jadi persegi, di mana semua anggota setara secara finansial. Di sinilah, letak KETIDAKADILAN MLM. Selalu ada downline yang pontang-panting sibuk cari follower dengan berbagai cara, agar dia bergeser dari dasar piramida ke posisi lebih tinggi. Dari sini, kadang-kadang muncul masalah baru. Seperti merusak hubungan pertemanan yang telah lama terjalin, karena memaksa orang lain bergabung demi mobilitas naik pangkat lalu berharap bonus dan keuntungan-keuntungan finansial, tanpa menengok sulitnya kehidupan orang-orang di bawah yang jadi sumber-sumber bonus mereka.

Yang berada di posisi bawah, selalu jadi pelengkap penderita. Sumber renatazarzycka.pl

Kedua, membeli produk MLM umumnya bukan karena kebutuhan, tapi karena TERPAKSA. Agar dapat poin, bonus, dll. Produk MLM dibeli bukan karena nilai utilitas atau pikatan nilai tambah jika dikomparasikan dengan produk serupa. Produk MLM dibeli karena ada iming-iming yang dikejar. Sebagai orang yang konsen di bidang ekonomi, ini yang paling saya TOLAK. Memaksa orang membeli barang yang tidak dibutuhkan demi poin dan bonus, sama saja dengan mubadzir. Padahal, mungkin saja orang tersebut masih punya kebutuhan lain yang lebih mendesak. Seperti beli pakaian yang layak, makan yang sehat, dll. Tapi kebutuhan dasar ini diabaikan demi beli produk MLM yang tidak dibutuhkan. Demi agar dapat bonus yang diiming-imingkan. Saya sendiri pernah mengonsumsi produk MLM, tapi menggunakan karena memang butuh. Saya tidak aktif mengikuti sistem di MLM untuk mencari downline. Karena saya tidak mau memaksa orang yang tak  butuh membeli produk yang dipasarkan MLM. Saya siap bergabung dengan MLM jika tidak harus beli produk, atau produk yang dijual memang SAYA BUTUHKAN, bukan terpaksa saya beli agar dapat bonus. Saya siap bergabung dengan MLM, jika dipastikan tidak ada pihak yang ‘dikorbankan’. Tidak ada yang posisinya di dasar piramida. Semua setara. Satu sukses, semua sukses. Bukan ketika yang satu sukses, ia memotivasi yang lain agar sukses. Tapi suksesnya berpijak di atas ketidak suksesan follower baru. Ini seperti lingkaran setan yang tidak bisa diputus. Tulisan ini mungkin akan menimbulkan pro-kontra. Mohon maaf kepada teman-teman pegiat MLM yang tidak sependapat dengan pendapat saya. Saya apresiasi semangatnya. Pelaku MLM adalah seorang pekerja keras yang luar biasa. Motivasi-motivasi pelaku MLM sangat tinggi. Memberikan dedikasi tertinggi untuk mencapai reward, bonus dan naik level. Salut! Semua orang ingin sukses finansial. Tapi sampai saat ini, MLM belum masuk di akal sehat saya. Atas dua pertanyaan sederhana di atas, kiranya ada yang bersedia berbagi opini.

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun