Mohon tunggu...
Jusman Dalle
Jusman Dalle Mohon Tunggu... Editor - Praktisi ekonomi digital

Praktisi Ekonomi Digital | Tulisan diterbitkan 38 media : Kompas, Jawa Pos, Tempo, Republika, Detik.com, dll | Sejak Tahun 2010 Menulis 5 Jam Setiap Hari | Sesekali Menulis Tema Sosial Politik | Tinggal di www.jusman-dalle.blogspot.com | Dapat ditemui dan berbincang di Twitter @JusDalle

Selanjutnya

Tutup

Money

Hattanomics Melawan Badai Krisis

3 Juli 2012   08:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:19 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1341303049275683086

[caption id="attachment_192320" align="aligncenter" width="600" caption="image/namitkewat.wordpress.com"][/caption] Perekonomian Indonesia kembali mencatat prestasi global. Laporan tengah tahunan yang dirilis Bank Dunia soal proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2013 dan tahun 2014 menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan tertinggi di dunia. Dari 29 negara yang diproyeksi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi, sebagian besar justru negara berkembang atau apa yang penulis istilahkan sebagai negara baru. Mereka bukanlah negara maju. Bukan pemain utama dalam globalisasi seperti Amerika, Inggris, Jerman, Jepang atau Prancis yang selama ini disakralkan sebagai pemegang mahkota penggerak utama ekonomi global.

Laporan bertajuk Global Economic Prospects : Managing Growth In a Volatile World itu menempatkan Irak pada posisi pertama sebagai negara dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia. Pada tahun  2013, negeri 1001 malam yang sedang bangkit setelah porak poranda akibat perang itu, diproyeksi tumbuh pada angka 13,1 persen. Sektor perminyakan menjadi kontributor utama, yaitu mencapai 90 persen bagi pendapatan negara.

Sierra Leone menyusul pada posisi kedua dengan angka pertumbuhan 11,1 persen. Di posisi tiga, Cina menempel dengan proyeksi angka pertumbuhan 8,3 persen. Posisi Cina tak mengejutkan karena satu dekade terakhir, Cina kadung menempati rangking teratas dalam pertumbuhan ekonomi dunia pasca Deng Xiaoping mengubah arah ekonomi negara komunis itu kearah ekonomi yang lebih terbuka namun protektif.

Beberapa ‘negara baru’ yang juga masuk dalam laporan Bank Dunia itu adalah : Laos (4), Mozambique (5), Rwanda (6), Ethiopia (7), Uganda (8), Angola (9), Haiti (10), India (11), Nigeria (12), Republik Demokratik Kongo (13), Ghana (14), Tanzania (15), Kazakhstan (16), Uzbekistan, Kamboja (18), Bangladesh (19), Nigeria (20), Indonesia (21), Vietnam (22), Cape Verde (23), Giunea (24), Zambia (25), Panama (26), Tajikistan (27), Republik Kongo (28) dan terakhir adalah Botswana (29).

Laporan Bank Dunia mengonfirmasi jika krisis ekonomi di Amerika dan Eropa menyebabkan pergeseran poros pertumbuhan ekonomi global ke Asia dan Afrika hingga beberapa tahun ke depan. Mengapa negara maju tak satu pun masuk dalam daftar negara-negara yang berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi dunia hingga dua tahun kedepan itu?

Jawabannya sederhana, saat ini negara-negara maju sedang berjuang menghadapi krisis yang merambah dari satu negara ke negara lain. Krisis bahkan bermutasi dari krisis ekonomi ke krisis politik dan krisis sosial. Proses perpindahan krisis dari satu negara ke negara lain, bahkan dari satu kawasan ke kawasan lain yang hampir tak bisa dibendung, merupakan logika kerja globalisasi yang mengkoneksikan semua negara di dunia ini. Globalisasi membuat dependensi atau ketergantungan ekonomi satu negara terhadap negara lain sangat tinggi sehingga menciptakan efek berantai.

Laporan Bank Dunia menilai Indonesia adalah salah satu negara G-20 dengan manajemen fiskal yang baik dan sektor keuangan relatif kuat. Untuk wilayah Asia Tenggara, potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya kalah oleh Kamboja dan Laos. Pertumbuhan ekonomi Kamboja diproyeksikan mencapai 6,5 persen tahun ini, sebelum diprediksi menjadi 6,8 persen pada 2013 dan 2014 sebesar 6,3 persen.

Laporan itu juga menggambarkan jika negara yang  tidakcebur di kedalaman pasar global –hanya menjadi pemain pinggiran- justru tetap aman di saat krisis membadai. Indonesia merupakan salah satu negara yang belakangan ini cukup konservatif dalam praktek ekonomi. Berbagai kebijakan baru dikeluarkan oleh pemerintah untuk memperkuat ekonomi nasional. Termasuk meninjau kembali konsensus ekonomi dengan negara lain yang berpotensi merugikan bagi pelaku ekonomi nasional.

Misalnya kebijakan divestasi beberapa perusahaan global yang beroperasi di Indonesia. Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) baru Nomor 24 tahun 2012 sebagai revisi dari PP No. 23 tahun 2010 yang mengharuskan investor asing mendivestasikan kepemilikannya di perusahaan tambang yang beroperasi di Indonesia hingga tersisa 49% dari jumlah total saham sebelumnya. Indonesia juga meminta peninjauan kembali Asean China Free Tarde Area (ACFTA) yang menjadi kran membanjirnya produk murah Cina dan mengancam industri nasional. Kebijakan-kebijakan tersebut berupaya menjaga keseimbangan kontribusi domestik dalam pembangunan.

Hattanomics

Kenyataan ini menarik untuk kita analisis dengan madzhab baru dalam kebijakan ekonomi Indonesia. Hattanomics atau kebijakan ekonomi Hatta Rajasa. Istilah Hattanomics dimunculkan oleh Kevin O’Rourke, Pengamat ekonomi lulusan Harvard University. Hattanomics ramai dibicarakan setelah Kevin menulis artikel yang berjudul Hattanomics dan Politik Proteksionisme di  The Wall Street Journal pada 23 Mei 2012.

Menurut Kevin, tiga ciri utama kebijakan Hatta Rajasa adalah menitik beratkan proteksi, restriksi perdagangan, dan pembatasan kepemilikan asing. Suatu madzhab ekonomi konservatif yang mengancam peran serta asing dalam perekonomian Indonesia. Padahal, kata Kevin, Indonesia selama ini menikmati status sebagai kesayangan investor  global yang mencari alternatif menjanjikan di luar Cina dan India. Alasannya mudah dilihat. Indonesia  memiliki jumlah konsumen yang besar, anugerah  sumber daya alam  yang kaya, dan tingkat pertumbuhan  di atas 6 persen.

Dalam pandangan penulis, Hattanomics merupakan hasil pergumulan Hatta Rajasa terhadap tafsir Ekonomi Pancasila yang selama ini liar. Tergantung pada tuan pemangku kebijakan. Sebutlah misalnya, di era Soekarno, ekonomi Pancasila lebih condong pada sosialisme karena patron ideologi sang proklamator sangat kental dengan rasa sosialismenya sebagai ekspresi kekecewaan historical. Kecewa terhadap Barat (kapitalisme) yang telah menjajah Indonesia.

Pun ketika Soeharto menjadi Presiden, ekonomi Pancasila ditafsiri oleh kelompok asuhan Washington atau lebih populer dengan gank Mafia Berkeley. Di bawah komando Widjojo Nitisastro, ekonomi Indonesia dimodernisasi pada sektor pasar, fiskal dan birokrasi yang membuka kran partisipasi asing lebih luas. Muncullah istilah Widjoonomics.  Ketika neoliberalisme untuk pertama kalinya diterapkan di Chile tahun 1973, Widjojonomics berasimilasi dengan neoliberalisme.

Lengsernya Soeharto ternyata tak membuat neoliberalisme musnah dari Indonesia. Berbagai konsesnsus ekonomi yang telah diteken pemerintah orde baru, tidak begitu saja bisa dibatalkan oleh pemerintahan Habibie. Berlajutlah liberalisasi ekonomi yang dikenal dengan Habibienomics. Walau kemudian Habibie mengklarifikasi jika kebijakan-kebijakannya merupakan pilihan pahit di bawah tekanan lembaga ekonomi dunia seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO.

Habibienomics sendiri telah dibangun sejak dekade 1980an. Habibie yang kala itu menjadi Menristek dan Ketua BPPT, merangkul lulusan-lulusan Jerman untuk mengadopsi kemajuan negara Hitler. Inti dari Habibienomics adalah industrialisasi dengan melibatkan negara secaa aktif dalam penguasaan teknologi sebagai penggerak pembangunan.

Soekarno, Widjojonomics dan Habibienomics memberi warna tersendiri bagi pergumulan ekonomi bangsa ini. Soekarno dengan anti kapitalismenya, Widjojo dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) ala Walt Whitman Rostow dan Habibie yang cukup sukses mengantar Indonesia mengenal industrialisasi berbasis teknologi.

Ketika globalisasi kian agresif melakukan penetrasi dan menjadi cakar perekonomian negara-negara kapitalis, Hatta Rajasa muncul dengan Hattanomics. Kita berharap, Hattanomics yang dianggap oleh pengamat asing sebagai kebijakan konservatif itu bisa menjaga kedaulatan ekonomi Indonesia, termasuk menjadi perisai krisis global yang justru sangat mudah mengguncang negara-negara penganut ekonomi liberal.

*Versi pertama tulisan ini diterbitkan pada kolom opini koran Jurnal Nasional (3/7/2012) dengan judul Krisis Global dan Hattanomics

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun