Gloria Natapraja Hamel dan Archandra Tahar jadi trending topik di jaga media sosial. Gloria, anggota Paskibra perwakilan Jawa Barat batal dikukuhkan sebagai Paskibraka karena belakangan diketahui memiliki kewarganegaraan selain Indonesia (ganda). Gloria, siswa SMA Islam Didaktika terlahir dari ayah berdarah Prancis. Namun Gloria kabarnya lahir dan besar di Indonesia.
Lebih dramatis lagi cerita Archandra Tahar, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral yang baru dilantik (hasil reshuffle) tanggal 27 Juli yang lalu. Ilmuwan yang 20 tahun berkiprah di Amerika Serikat tersebut diberhentikan dari jabatannya selaku Menteri ESDM karena terindikasi berpaspor Amerika Serikat.
Archandra telah mengeluarkan pernyataan bahwa dirinya adalah orang Indonesia asli, WNI yang masih kental dialeg Padang-nya. “Saya orang Padang asli, lahir dan besar di Padang, Istri saya juga orang Padang, silakan cek passport saya” ujarnya di hadapan awak media berupaya meyakinkan. Namun nahas, baru sehari setelah mengklarifikasi tudingan soal dirinya berpasport AS, Archandra Tahar yang sempat dielu-elukan, akhirnya dicopot.
Dua cerita dramatis anak manusia yang di dalam dirinya mengalir jiwa leluhur Indonesia tersebut terjadi jelang peringatan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 71. Kisah keduanya menjadi sejarah. Terutama Archandra, menorehkan catatan sebagai menteri dengan amsa jabatan tersingkat, hanya 20 hari.
Pesan lain yang ditangkap publik di balik peristiwa dramatis dan sepertinya sangat menyakitkan tersebut, adalah ternyata pemerintah serius melindungi NKRI dari berbagai ancaman. Termasuk memproteksi NKRI dari intervensi ORANG LUAR. Ya, dalam perangkat hokum yang dijadikan argumentasi pemerintah, Gloria dan Archandra yang berdarah Indonesia adalah ORANG LUAR.
Saya termasuk sangat gembira, jika proteksi bahkan sedetail ini pun diberlakukan pemerintah dari upaya destruksi pihak luar terhadap negeri tercinta. Namun, tunggu dulu, betulkah pemerintah menjadi guardian of the republicdalam arti sebenarnya?
Rasa-rasanya, klaim memproteksi republik dari intervensi pihak luar hanya mengundang sinisme publik. Sudah sangat banyak bukti, bagaimana kebijakan-kebijakan pemerintah sebetulnya perlahan menyerahkan leher bangsa ini ke bangsa lain. Apalagi jika berbicara kebijakan ekonomi.
Kita semua hamper sepakat, ekonomi Indonesia bukan lagi mencerminkan jati diri bangsa. Liberalisme adalah irama lawas yang selalu dimainkan pemegang tampuk kuasa. Rezim berganti, tapi irama ekonomi masih saja diserahkan kepada bangsa lain.
Di saat bersamaan anak bangsa sendiri bahkan disakiti. Kita ambil contoh kasus terbaru dalam dunia bisinis, soal reklamasi. Sebuah proyek ekonomi yang dikerjakan oleh anak bangsa untuk menata wajah Ibu Kota, tiba-tiba dibatalkan oleh pemerintah yang ikut terseret arus politik Pilgub.
Padahal, perusahaan besar dengan rekam jejak panjang dalam sejarah pembangunan Indonesia dan tak diragukan lagi reputasinya yang membangun pulau reklamasi tersebut. Dalam hal ini adalah Agung Podomoro Land di Pulau G. Namun, malah pemerintah pusat tiba-tiba membatalkan secara sepihak reklamasi tersebut.
Di saat pemerintah menjanjikan iklim investasi dan bahkan mengobral janji hingga ke luar negeri, eh, anak bangsa sendiri malah dinafikan. Para pengambil kebijakan mungkin amnesia, lupa bahwa investasi asing adalah gerbang bagi masuknya intervensi bangsa lain?