Selamat datang babak baru industri otomotif. Indonesia resmi memasuki era kendaraan ramah lingkungan. Pemerintah telah menerbitkan Perpres No. 55/2019 tentang Percepatan Progam Kendaraan Bermotor Listrik (KBL) Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan. Beleid itu ditandatangani oleh Presiden Jokowi. Lampu hijau bagi mobil listrik untuk melaju di jalanan.
Pelaku industri pun menyambut semringah. Pasalnya, aturan tersebut bakal memuluskan pabrikan otomotif untuk memboyong lineup mobil listriknya ke Indonesia. Sebelumnya, hanya menunggu dengan kepastian yang tak tentu. Sementara di tingkat dunia, berbagai negara telah memberi karpet merah.
Regulasi mobil listrik mengingatkan kita pada letupan ekonomi digital yang dipelopori oleh ride hailing (ojek dan taksi online) serta ecommerce beberapa tahun lalu. Dimana aturan terkait industri digital ini berburu waktu dengan arus ekonomi berbasis internet yang tak terbendung. Era mobil listrik memang merupakan bagian dari derap revolusi industri 4.0 yang riuh dibicarakan.
Jumlah itu merangsek naik 64 persen dari jumlah tahun 2018. Demikian dilansir oleh yayasan non profit, Centre for Solar Energy and Hydrogen Research Baden-Wrttemberg yang berbasis di Stuttgart, Jerman.
Ada banyak konsekuensi dari Perpres mobil listrik. Harga lebih terjangkau. Itu harapan utama konsumen. Mobil listrik memang harusnya lebih murah. Agar jadi mobil rakyat. Mobil sejuta umat. Sehingga dampaknya masif. Termasuk dalam mengurangi polusi. Juga menurunkan konsumsi BBM yang membebani neraca perdagangan (impor) dan APBN karena subsidi.
Perpres 55/2019 yang memuat banyak insentif diharapkan mendorong pabrikan memproduksi mobil listrik sesuai dengan profil pendapatan masyarakat Indonesia. Tanpa struktur pajak berlapis yang membuat harganya wah. Sebab di tingkat global pun, mobil listrik yang dijual saat ini sebetulnya termasuk masih berharga premium.
Kabar baiknya, Perpres mobil listrik sudah berbicara secara komplit dalam skala industri. Termasuk mendorong manufaktur sebagai elemen pendukung. Sehingga supply chain industri mobil listrik dapat diandalkan berkontribusi bagi perekonomian.
Dalam beleid itu juga tertuang secara rigid angka Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Pabrikan otomotif harus memenuhi angka 80% kandungan lokal hingga tahun 2029. Di masa transisi 2019 sampai 2021 bahkan, TKDN sudah harus mencapai angka minimum 35%.
Artinya, pabrikan harus konkret menyatakan komitmen investasinya di industri ini. Agar dapat menikmati serangkaian insentif yang diberikan oleh pemerintah. Termasuk pembebasan aneka jenis pajak yang berpengaruh terhadap harga (pasar).
Sebagai benchmark, TKDN mobil bermesin bakar saat ini mencapai 85%. Angka itu diperoleh ssetelah puluhan tahun. Membangun industri otomotif dari hulu ke hilir, memang butuh waktu dan periode transisi.