Belum ada jawaban sahih yang mampu memecahkan misteri fenomena sepinya lusinan pusat perbelanjaan di Jakarta. Namun berbagai hipotesa yang diajukan, menarik kita cermati. Bisa jadi, semua hipotesa itu memang bertalian.
Setidaknya, ada tiga pendapat yang dapat kita gunakan untuk mengidentifikasi deklinasi daya beli. Bukan teori politik seperti sanggahan yang dilontarkan oleh Presiden Joko Widodo. Bukan pula jurus menyalahkan Singapura sebagaimana ditudingkan oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro.
Pertama, bahwa deklinasi daya beli terutama di pusat-pusat perbelanjaan adalah akibat mal yang sudah over suplai. Lazimnya dalam hukum ekonomi, jika barang yang ditawarkan melimpah maka harganya jatuh. Dalam konteks perebutan pasar oleh pusat perbelanjaan, konsekuensinya bakal ada mal yang kekurangan menungjung alias sepi. Sebabnya bisa beragam, terutama karena kalah bersaing. Pendapat ini disampaikan oleh Marketing Director Green Pramuka City, Jeffry Yamin.
Harus diakui, jumlah mal di Jakarta memang sudah diluar batas kewajaran. Melebihi angka ideal dengan rasio jumlah penduduk. Per tahun 2013, sedikitnya ada 564 mal di Ibu Kota. Dengan luas wilayah Jakarta 255 Km persegi, artinya dalam setiap 450 meter persegi, bercokol satu mal.
Parahnya, pertumbuhan mal masih sangat pesat. Yaitu di angka 3,4 persen pertahun. Rata-rata ada satu setengah lusin mal baru setiap tahun di wilayah Jabodetabek. Bukankah itu berlebihan?
Kedua, mal lama kalah bersaing secara konsep. Mal-mal baru yang muncul mengusung konsep sebagai pusat gaya hidup. Sebagai tempat nongkronglah, sebagai tempat bekerja, destinasi rekreasi keluarga dan berbagai fungsi lain yang menyingkirkan fungsi utama mal yang dulu kita kenal sebagai pusat perbelanjaan. Mal saat ini bukan lagi tempat belanja. Tapi tempat santai, bersenang-senang dan bersosialisasi.
Karena itu, mal-mal masa kini seperti AEON, Green Pramuka Square atau Central Park, lebih menonjolkan fasilitas nongkrong ketimbang toko-toko pakaian. Di Green Pramuka Square misalnya, tersedia area jajanan Food Street untuk nongkrong. Selain itu, Green Pramuka juga rutin menggelar even tematik yang menyasar berbagai kalangan. Mulai dari keluarga hingga anak muda.
Demikian pula AEON Mal, pusat perbelanjaan asal Jepang yang mungkin paling padat se Tangerang Selatan. AEON adalah mal tematik, mengusung konsep Jepang. Di akhir pekan atau bahkan pada hari-hari biasa, restoran dan caf di AEON selalu padat pengunjung. Selain keluarga, juga oleh mahasiswa dan pekerja di kawasan tersebut sekadar untuk makan siang atau cuci mata.
Ketiga, aksesabilitas yang memadai. Kita semua sepakat bahwa kemacetan adalah masalah utama di Jakarta saat ini. Kemacetan membuat kita enggan beraktivitas secara mobile. Alih-alih buang waktu pergi ke mal, mending belanja lewat layanan daring.
Lain halnya dengan pusat perbelanjaan yang berada di satu kawasan superblok seperti Green Pramuka Square yang berada di kawasan Green Pramuka City, atau Central Park Mall di kawasan Agung Podomoro City. Dua contoh pusat perbelanjaan ini, punya pengunjung tetap yaitu warga apartemen atau mereka yang berkantor di kawasan superblok tersebut.
Makanya, menurut survei BCA Sekuritas belum lama ini, mal di kawasan superblok seperti Central Park Mall tetap riuh dengan pengunjung karena memang lokasinya yang strategis berada di pusat keramaian. Bilapun tidak bisa secara penuh mengandalkan warga kawasan, tetap disokong oleh akses yang memadai.