Mohon tunggu...
Jusman Dalle
Jusman Dalle Mohon Tunggu... Editor - Praktisi ekonomi digital

Praktisi Ekonomi Digital | Tulisan diterbitkan 38 media : Kompas, Jawa Pos, Tempo, Republika, Detik.com, dll | Sejak Tahun 2010 Menulis 5 Jam Setiap Hari | Sesekali Menulis Tema Sosial Politik | Tinggal di www.jusman-dalle.blogspot.com | Dapat ditemui dan berbincang di Twitter @JusDalle

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Hasil Pilpres Batal jika...

16 Agustus 2014   14:55 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:24 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1408150352218562517

[caption id="attachment_338290" align="aligncenter" width="606" caption="Modus kecurangan pemilu, tak hanya menghilangkan suara rakyat tetapi juga membikin suara siluman (sumber : liputan6)"][/caption]

Hak tertinggi yang dimiliki oleh seorang warga Negara adalah hak menyalurkan pilihan politik secara berdaulat dan bebas tanpa tekanan atau intimidasi dari pihak manapun juga. Kebebasan dalam preferensi politik warga Negara dijamin oleh konstitusi sebab merupakan inti dari sistem demokrasi yang kita anut. Manakala hak politik seorang warga Negara tercederai, maka secara langsung hal tersebut menjadi noktah bagi demokrasi. Sebab ia dilindungi oleh konstitusi. Penghargaan tinggi pada pilihan politik warga, walaupun hanya suara satu orang, merupakan salah satu kesitimewaan dalam berdemokrasi.

Sengketa hasil pemilihan presiden (pilpres) dengan berbagai letupan yang akhirnya menggiring pilpres beralih dari proses politik ke proses hukum di Makhamah Konstitusi (MK), merupakan wujud nyata dari upaya perlindungan hak kita sebagai warga Negara. Keberadaan MK, lebih dari sekadar wasit yang berdiri untuk menengahi sebuah kompetisi. MK adalah lembaga penegakkan konstitusi penjaga hak-hak warga Negara. Terkait dengan pilpres, MK menjadi benteng kokoh terakhir untuk mengamankan hak suara rakyat.

Karena itu, kalau ada satu orang saja warga negara diabaikan hak konstitusinya dalam pilpres, pengabaian hak politik tersebut menjadi dasar yang legal untuk dibatalkannya seluruh hasil pilpres. Berdasarkan konstruksi berpikir bahwa inti atau titik puncak dari pilpres adalah proses pencoblosan yang merupakan momentum dimana ekspresi tertinggi politik warga Negara disalurkan, maka seluruh rangkaian menuju pencoblosan hingga pasca menyalurkan pilihan di bilik suara, Negara berkewajiban menjaga. Termasuk hal-hal yang sifatnya sederhana, seperti memberi pelayanan pembuatan KTP ataupun kartu keluarga sebagai salah satu syarat administratif untuk teregistrasi di dalam daftar pemilih tetap (DPT).

Pengabaian hak politik warga yang menjadi inti alasan konstitusional membatalkan hasil pilpres, secara derivatif di lapangan bisamewujud dalam berbagai rupa. Salah satu bentuk turunan aksi kecurangan yang absah membatalkan hasil pilpres diantaranya, bila terbukti pelanggaran yang terjadi bersifat struktural, masif, sistematis, dilakukan oleh aparat secara terencana dan melibatkan orang banyak atau terorganisir dengan tujuan untuk memenangkan calon tertentu. Pada titik ini, KPU sebagai penyelenggaran tentu saja menjadi pihak yang paling bertanggungjawab.

Tulisan ini tidak berpretensi mendelegitimasi KPU, namun secara konstitusional, sebagai negara yang memiliki tata hukum, manakala KPU sebagai unsur penanggungjawab pilpres terindikasi melakukan kejahatan demokrasi secara struktural, massif dan sistematis yang tentu saja dilakukan berkolaborasi dengan salah satu pasangan calon dan unsur pemerintah (penguasa) sebagai pemilik sumber daya untuk melakukan pressure guna mendrive hasil pilpres, maka MK bisa menganulir hasil pilpres sebagaimana tertuang di dalam UUD pasal 24c bahwa MK berhak memutus hasil pemilu. Mendiskualifikasi salah satu calon bahkan sangat mungkin dilakukan di dalam gugatan sengketa hasil pilpres. Di dalam konteks pemilihan kepala daerah, kasus diskualifikasi pernah terjadi. Yakni dalam Pilkada di Kotawaringin Barat

Kala itu, Vonis MK juga membatalkan Keputusan KPU Kotawaringin Barat Nomor 62/Kpts-KPU-020.435792/2010 tanggal 12 Juni 2010 tentang penetapan hasil perolehan suara dalam ajang Pemilihan Kepala Daerah Kotawaringin Barat yang memenangkan pasangan Sugianto-Eko Soemarno.


MK bahkan mendiskualifikasi pasangan calon nomor urut 1 atas nama Sugianto-Eko Soemarno yang sebelumnya telah dinyatkan menang oleh KPU . MK memerintahkan KPU Kabupaten Kotawaringin Barat untuk menetapkan surat Keputusan yang menetapkan pasangan calon nomor urut dua,  Ujang Iskandar-Bambang Purwanto sebagai Bupati dan Wakil Bupati terpilih dalam ajang Pemilihan Kepala Daerah Kotawaringin Barat.

Di dalam pilpres ini kita tengah berpolitik, bukan berperang. Jauh lebih humanis, terhormat serta beradab menggugat hasil pilpres di MK katimbang bertindak inkonstitusional seperti melakukan aksi vandalisme atau kekerasan dan pertumpahan darah. Teringat sebuah pesan dari pemimpin besar Tiongkok, Mao Zedong pernah berujar “Poltik adalah perang tanpa pertumpahan darah sedangkan perang adalah politik dengan pertumpahan darah"

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun