[caption id="attachment_339725" align="aligncenter" width="200" caption="Sistem politik Indonesia disebut "][/caption]
Tensi politik agaknya masih saja akan terus memanas. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengakhiri sengketa hasil Pilpres, tak mampu meredam gejolak yang muncul dari pergesekan dua kekuatan, yakni Koalisi Merah Putih versus Jokowi-JK dan parta-partai pengusungnya. Walaupun di permukaan, peran personal -terutama Jokowi- lebih dominan katimbang pergerakan yang mereka lakukan terkonsolidasi sebagai satu entitas yang akan menduduki takhta rezim baru menggantikan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Partai-partai pengusung Jokowi-JK tak tampak lagi kecuali sekadar upaya membangun opini di media guna meraih kursi kabinet, bahwa rangkap jabatan di parpol dan kabinet sekaligus tidak masalah.
Kita misalnya tidak melihat dan mendengar lagi suara partai Hanura, PKB maupun partai Nasdem berbicara tentang gagasan besar mengenai desain masalah Indonesia seperti argumentasi berbalur desain pencitraan yang dilontar manakala musim kampanye. Publik menangkap pesan bahwa Jokowi-JK ingin meminimalisir intervensi parpol terhadap pemerintahannya dan tak mau terganggu oleh tarik menarik kepentingan sebagaimana terjadi di pemerintahan SBY. Jokowi-JK nampaknya belajar dari pengalaman SBY yang kerap kali dibuat gamang karena besarnya kepentingan parpol pendukung.
Sampai di sini, jika memang benar adanya ingin membangun kabinet tanpa bayang-bayang parpol yang sarat kepentingan, kita melihat bahwa upaya Jokowi-JK membangun kabinet professional (zaken kabinet) seperti didengung-dengungkan selama ini, adalah sebuah hal positif. Tak bisa dimungkiri, keberadaan parpol yang membawa gerbong kepentingan di tubuh pemerintah memang sering kali lebih banyak berimplikasi negatif dan malah memperlambat laju program yang dicanangkan.
Bahwa “tak ada makan siang gratis”, demikian pula parpol pengusung tersebut yang tak mau sekadar jadi pendorong mobil mogok, setelah si mobil melaju, mereka ditinggalkan, Parpol-parpol pengusung tentu saja rasional bahwa “dapur” mereka harus terus mengepul, dan dimana lagi mengambil “bahan bakar” kalau bukan dari APBN yang dikompromikan bersama melalui program-program pembangunan “fiktif”.
Tapi tunggu dulu, seberapa besar kira peluang mimpi Jokowi-JK ini terwujud. Apa mungkin pemerintahan yang didukung suara minoritas di DPR bisa membentuk kabinet professional? Nampaknya tidak masuk akal. Mimpi ini bakal kandas dan mau tidak mau Jokowi-JK dipaksa menyusun struktur kabinet tanggung. Tanggung karena Jokowi-JK sudah terlanjur berjanji tidak akan bagi-bagi kursi, sementara di kutub lain parpol pendukung tentu butuh balas jasa dan pengering peluh setelah mengeluarkan banyak energi selama kampanye. Jokowi-JK harus mau menampung orang-orang parpol agar parpol pendukung tidak membelot dan membiarkan semua proposal Jokowi-JK kandas di DPR. Kabinet Jokowi-JK tanggung karena juga di sisi lain, ternyata jumlah suara mereka di DPR tidak dominan, hanya memiliki 207 orang perwakilan atau 36,96 persen suara dibandingkan megalomania Koalisi Merah Putih yang mengamankan 353 kursi atau 63,03 persen suara.
Artinya, pekerjaan Jokowi-JK di dalam kubu partai pengusungnya tidak tuntas. Selain persoalan internal tersebut, Jokowi-JK juga akan menghadapi tantangan baru, yaitu koalisi Merah Putih yang semakin menunjukkan soliditasnya. Seperti dua periode pemerintahan SBY, nampaknya Jokowi-JK juga bakal terjebak oleh sistem politik kita yang jenis kelaminya tidak jelas. Jika menggunakan pure sistem Presidensial, Jokowi-JK mestinya tak perlu gemetaran menghadapi parlemen dan tak usah sibuk lobi sana sini atau melakukan psy warberupaya memecah belah untuk selanjutnya memperoleh dukungan dari partai-partai di Koalisi Merah Putih. Menyerang atau membuka babak “perang tak elegan” saya kira bukan karakter otentik Jokowi yang dulu dikenal santun dan memiliki tata karma tinggi. Kecuali memang Jokowi telah tercebur lalu terwarnai oleh “karakter” orang-orang di sekitarnya. Semoga saja tidak!
Dalam sistem yang murni menganut presidensial, presiden memiliki posisi yang relatif kuat sebab dipilih langsung oleh rakyat, bukan mandatari DPR/MPR. Faktanya, sepuluh tahun pemerintahan SBY, eksekutif sangat dependen pada legislatif. Bahkan di awal periode pemerintahan ketika SBY melakukan penyusunan kabinet, terjadi pertarungan dan tawar-menawar kepentingan untuk memperebutkan posisi menteri.
Nampaknya Jokowi-JK juga terperangkap di oleh jebakan sistem yang tidak jelas ini. Dibuat gamang dalam menyusun kabinet sebab tetap harus mengakomodir kepentingan partai pendukung. Postur kabinet Jokowi-JK dan dinamika pemerintahannya tak bakal banyak berbeda dengan periode 10 tahun SBY, juga akan diwarnai berbagai dilema, apalagi koalisi Merah Putih tak bergeming dan tetap solid menyatakan diri sebagai partai penyeimbang dengan memainkan peran di parlemen. Sebuah episode politik menarik dan sekaligus menjadi bahan evaluasi sistem politik yang disebut “sistem banci” oleh beberapa kalangan karena tidak jelas jenis kelaminnya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H