Mohon tunggu...
Jusman Dalle
Jusman Dalle Mohon Tunggu... Editor - Praktisi ekonomi digital

Praktisi Ekonomi Digital | Tulisan diterbitkan 38 media : Kompas, Jawa Pos, Tempo, Republika, Detik.com, dll | Sejak Tahun 2010 Menulis 5 Jam Setiap Hari | Sesekali Menulis Tema Sosial Politik | Tinggal di www.jusman-dalle.blogspot.com | Dapat ditemui dan berbincang di Twitter @JusDalle

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Plus Minus Pilkada di DPRD

6 September 2014   15:14 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:28 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1409965853303427507

[caption id="attachment_341279" align="alignleft" width="556" caption="Ratusan massa Aliansi Penyelamat Kota Bekasi berunjuk rasa di kantor KPUD Kota Bekasi. Massa meminta KPUD melakukan pemilihan ulang (sumber : beritatv.net)"][/caption]

Dialektika wacana Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) oleh DPRD terus menggelinding. RUU Pemilukada yang kini masih dibahas di DPRhampir final. Koalisi Merah Putih yang menguasai mayoritas kursi di Senayan, telah menemukan kata sepakat terkait pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Dalam waktu dekat, RUU ini pun bakal segera menjadi UU.

Namun demikian, turbulensi argumen pro kontra yang sama-sama kuatnya masih terus berkelindan. Oleh yang kontra,Pilkada di tingkatan DPRD dianggap merupakan sebentuk penodaan atau bahkan menyandera demokrasi yang diperjuangkan berdarah-darah, berkalang tanah meregang nyawa. Sementara pihak yang pro berpendapat bahwa realitas pendidikan politik masyarakat belum siap dalam pelibatan Pilkada langsung. Fakta kerugian sosial – ekonomi, tak bisa dinafikan. Dilematis memang, kedua argumentasi sama-sama memiliki dasar pemikiran yang rasional.

Mendrive proses transisi menuju kematangan berdemokrasi adalah esensi yang diajukan oleh pihak pro Pilkada di DPRD. Logika sederhananya, jika dipilih oleh DPRD, maka Kepala Daerah adalah perwajahan dari DPRD yang notabene merupakan representasi –hasil pilihan- dari rakyat. Kepala Daerah dalam pengawasan DPRD. DPRD dalam pengawasan rakyat, karenanya DPRD harus mempertanggungjawabkan Kepala Daerah yang dipilihnya kepada rakyat. Rakyat bisa “mengadili” para legislator tersebut melalui momentum Pemilu.

Jika pada proses pemilihan Kepala Daerah di DPRD ada politik transaksional, sebagaimana marak terjadi dan tidak tabu lagi kita saksikan dalam jagad politik Indonesia kekinian yang kemudian memunculkan istilah uang ketuk pintu, uang mahar atau sebentuk money politik lainnya yang dilegalisasi dengan istilah-istilah normatif, maka rakyat bisa melakukan black list terhadap para anggota legislatif yang memilih Kepala Daerahatas dasar transaksional tersebut.

Kegagalan dan atau kesuksesan Kepala Daerah dalam mensejahterakan rakyat –sebagaimana subtansi subtantif demokrasi-, merupakan tanggung jawab bersama antara pemilih (DPRD) dan Kepala Daerah. Jika cita-cita demokrasi gagal, maka akan tertutup peluang bagi anggota DPRD dan Kepala Daerah yang bersangkutan untuk ikut lagi dalam kontestasi politik selanjutnya. Termasuk terhadap partai politik yang menjadi kendaraan mereka (Kepala Daerah dan DPRD). Hal ini juga memberi pembelajaran bagi partai politik dalam proses rekruitmen agar melakukan kaderisasi secara ketat.

Faktor sosiologis-ekonomi berupa struktur demografis Indonesia dengan penduduk terbesar berada di areapedesaan dengan pendidikan politik masih belum merata, merupakan salah satu argument yang diajukan agar Pilkada oleh DPRD saja. Memang, harus diakui bahwa pendidikan politik masyarakat kita memang tidak merata. Dalam proses election, sebagian besarmasih mengedepankan emosional daripada nalar rasional. Lebih tertarik pada citra semu daripada kualitas aktual seorang pemimpin. Akhirnya kualitas pemimpin jauh panggang dari api. Banyak kepala daerah yang kemudian berakhir di penjara karena perkara korupsi.

Pelaksanaan Pilkada secara langsung, sama juga dengan ruang eksploitasi rakyat atas nama hak berdemokratis. Kenyataan ini terungkap oleh demokrasi transaksional yang destruktif dan dipraktikkan di tataran masyarakat bawah. Dengan sepaket sembako, atau sejumlah rupiah, suara mereka dibeli murah. Hal ini tentu saja mengancam masa depan demokrasi. Demokrasi berkalang lumpur kebebasan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Dampak negatif berupa rusaknya tatanan demokrasi sulit dihindari di tengah budaya pragmatisme yang diajarkan oleh elit ke masyarakat bawah. Pandemi pragmatisme menyebar bak virus menular merusak budaya demokrasi sehat yang coba kita bangun. Social cost tak berakhir pada terbentuknya budaya pragmatisme-transaksional, namun juga meluas pada kekacauan sosial.

Masyarakat kita yang lugu dan tak faham permainan di tingkatan elit sangat rentan diprovokasi dan terseret oleh konflik elit politik lalu merambah menjadi konflik horizontal yang memcah keutuhan. Elit politik sering kali menomorduakan saluran protes hasil Pilkada secara konstitusional di Mahkamah Konstitusi, dan lebih mengedepankan pengerahan massa sebegai bentuk pressure kepada penyelenggara Pilkada.

Memang tidak ada jaminan politik transaksional hilang melalui Pilkada di DPRD. Bahkan, bisa jadi nilai transaksinya lebih besar untuk mengamankan jumlah dukungan sehingga pemilik kapital yang paling berpeluang memenangi kontestasi. Anggota DPRD akan dengan bebas bermain-main nilai transaksi dengan calon kepala daerah. Tapi, lokalisir politik transaksional di DPRD lebih baik ketimbang meracuni masyarakat dengan pikiran pragmatisme.

Sebetulnya, ada upaya yang bisa ditempuh untuk mencegah transaksi di DPRD, yaitumendorong pemilihan transparansi. Dimana proses pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara terbuka. Mulai dari pencalonan, hingga saat pemilihan di DPRD. Untukmenghindari politik transaksional, maka rakyat harus menyaksikan, siapa pilih siapa. Dalam hal ini asas rahasia tidak berlaku. Tidak ada lagi beli kucing dalam karung.

Tentang kemungkinan adanya money politic di DPRD, dalam sebuah forum diskusi tahun 2011 silam ketika isu Pilkada di DPRD ini mulai mengemuka, salah seorang panelis berseloroh, “lebih baik anggota DPRD yang sekian puluh orang yang rusak, ketimbang rakyat seluruhnya rusak karena pragmatisme dan transaksional”.

***Salam Akal Sehat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun