Rasulullah saw di dalam hadis telah membagi bulan Puasa Ramadhan menjadi tiga bagian, sepuluh hari pertama adalah rahmah, sepuluh hari kedua adalah maghfirah dan sepuluh hari terakhir adalah terhindar dari api Neraka. Dari sini kita bisa melihat ada grafik meningkat dalam proses ibadah Ramadhan, seperti anak tangga yang semakin tinggi, semakin sulit tantangan dan semakin kuat upaya yang dilakukan. Hal ini telah dicontohkan sendiri oleh Rasulullah saw, dimana beliau di sepuluh hari terakhir puasa Ramadhan senantiasa meningkatkan segala macam ibadah beliau. Beliau bangunkan keluarga beliau untuk menghidupkan malam-malam Ramadhan dengan shalat, zikir dan doa, disamping itu beliau senantiasa i'tikaf di Masjid. Begitu juga beliau meningkatkan sedekah yang kadarnya digambarkan dalam hadis seperti angin yang berhembus kencang. Dan tidak hanya itu untuk mempertahankan grafik ibadah yang dihasilkan oleh puasa Ramadhan, Rasulullah saw juga men-sunnahkan kepada kita untuk melaksanakan puasa enam hari di bulan syawal. Puasa Ramadhan adalah puasa yang sarat dengan pahala, bulan yang istimewa, bulan yang juga penuh dengan nilai-nilai kebaikan. Nilai kesabaran, disiplin, kesetaraan, kepedulian sosial, nilai-nilai doa dan kontemplasi dll. Tak sekedar mengejar pahala kitapun seharusnya menekankan untuk mentransformasikan nilai-nilai puasa Ramadhan itu dalam kehidupan kita sehari-hari, yaitu puasa yang dilihat sebagai proses pembiasaan yang dilakukan sebulan penuh untuk menjadikan semua ibadah kita sebagai kebiasaan (habit). Jika dilihat dari sisi ini, maka sangat tepatlah apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw diatas. Ibadah yang dawam, konsisten dan persisten. Konsisten dengan melakukan ibadah-ibadah dengan teguh, baik dari sisi kuantitas dan kualitasnya. Persisten dengan tetap melakukan ibadah-ibadah selama Ramadhan walaupun bulan Ramadhan itu sendiri telah berlalu. Jika ini kita pahami, tentu semangat puasa Ramadhan ini akan kita anggap sebagai kebutuhan untuk diri, bukan hanya sebagai kewajiban karena perintah. Konsistensi dan persistensi ibadah adalah hal yang sangat penting kita miliki, kecenderungan yang ada di dalam diri kita dalam puasa Ramadhan seringnya bukan grafik yang menaik yang muncul melainkan kecenderungan grafik menurun. Sepuluh hari terakhir bisa menjadi puasa yang paling banyak godaannya, partisipasi shalat tarawih dan semangat ibadah yang menurun, dan yang paling sulit adalah godaan konsumerisme dan kebiasaan glamor dalam menyambut lebaran, tak ayal semangat puasa yang menggebu-gebu di awal Ramadhan menjadi terjun bebas dengan ibadah yang menjadi korbannya. Apalagi setelah Ramadhan telah berlalu dengan ditandai datangnya Lebaran, ibadah-ibadah yang selama ini dilakukan di bulan Ramadhan seakan menguap begitu saja, naudzubillahi min dzalik. Saya kutip tulisan dari seorang kompasioner Ella Zulaiha yang sangat menarik dalam tulisannya "Mengubah Kebiasaan Buruk Anak Dengan Prinsip 21H". Ia mengutip pendapat Dr. Maxwell Maltz, dalam bukunya “Psycho-Cybernetics”, kebiasaan dibangun dari melakukan sesuatu yang sama secara berulang-ulang dan hampir setiap hari. Artinya, kita harus melakukan perbuatan itu berulang kali secara konsisten, sampai otak kita merekam pesan bahwa hal tersebut adalah kebiasaan kita. Seperti dilansir dari Womensmedia.com, menurut Maltz otak kita tidak akan melakukan atau merekam pesan baru jika kita tidak melakukan perubahan selama 21 hari. Melakukan suatu hal yang sama secara berulang-ulang memang sangat membosankan. Namun jika kita paham makna dan kegunaan pengulangan atau repetisi tersebut, tentu kita akan dengan senang hati melakukannya. Dan jika kita kaitkan dengan Puasa Ramadhan, maka sangat luar biasa bahwa Islam telah menjadikan Ramadhan sebagai sarana untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan di dalamnya ke dalam kebiasaan umat Islam. Sehingga jika setelah Ramadhan tidak ada ibadah yang menjadi kebiasaan akhlaki yang baik dari diri kita, maka kita telah gagal. Mengejar pahala adalah baik tetapi hanya mengejar pahala atau mengejar malam lailatul Qadr, malam seribu bulan tidak akan berguna jika tidak ada perubahan revolusi dalam kerohanian kita. Ramadhan bukanlah bulan yang ekslusif melainkan sinergis dengan bulan-bulan yang lain, maka warnailah bulah-bulan lain dengan cahaya Ramadhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H