Tulisan ini saya turunkan menyambung artikel saya sebelumnya "Pangkat Jenderal, Cara Berpikir Kopral". Masih diseputar kasus Pelanggaran HAM yang dituduhkan kepada Capres Prabowo yaitu perihal penculikan aktivis pro demokrasi yang dilakukan pada tahun 1998 lalu. Sejak peristiwa penculikan para aktivis tersebut, kasus ini nampaknya terus bergulir dan makin memanas apalagi Prabowo sedang dicalonkan sebagai Presiden RI dalam Pemilu mendatang.
Setelah beberapa mantan anggota Dewan Kehormatan Perwira (DKP) dengan terang terangan mengungkap fakta terkait kasus penculikan dan pemberhentian Prabowo dari dinas militer, tempo hari menyusul mantan Panglima ABRI Jenderal (purn) Wiranto menyampaikan pernyataan secara terbuka terkait kasus ini.
Pernyataan Wiranto tersebut sebagaimana saya kutip dari Kompas.com sbb :
"Prabowo sebagai Panglima Kostrad nyata-nyata oleh Dewan Kehormatan Perwira telah dibuktikan, beliau terbukti terlibat dalam kasus penculikan (aktivis 1998). Maka, tentu diberhentikannya dengan norma yang berlaku."
Saya sendiri heran, bagaimana bisa seorang berpangkat Jenderal, mantan Pangab, memberi pernyataan bahwa Prabowo telah terbukti terlibat penculikan aktivis? Bukti apa yang digunakan Wiranto untuk men-judge Prabowo terlibat penculikan? Bukankah kasusnya tidak dilanjutkan ke Mahkamah Militer, dan terbatas sampai pada rekomendasi DKP? Untuk mengesahkan bukti-bukti atas suatu tindak pidana, bukankah seharusnya melalui mekanisme di Pengadilan?
Apakah cukup hanya berdasarkan laporan DKP, yang mana dokumen ini juga diragukan oleh DPR kala itu, sebab tak memenuhi syarat sebagai dasar hukum?
Pernyataan Wiranto tentu saja makin menambah panas suasana politik menjelang Pilpres 9 Juli mendatang. Mendengar itu, kubu Prabowo tak tinggal diam. Mantan Kepala Staf Kostrad Mayor Jenderal (Purn) Kivlan Zen, langsung menanggapi serius dengan mempermasalahkan keabsahan dokumen DKP yang telah bocor itu.
Menurut Kivlan Zen, dokumen yang ditandatangani oleh Kasad waktu itu Jendral Subagyo HS dan 6 orang Pati berpangkat Letnen Jenderal termasuk di antaranya SBY, Fachrur Rozi dan Agum Gumelar, adalah dokumen abal-abal. Alasan yang dikemukakannya adalah karena Surat keputusan DKP tersebut tidak pernah ada di Mabes TNI, hal ini sesuai dengan pernyataan Paglima TNI Moeldoko. Di samping itu, bila DKP memang dibentuk atas perintah Mabes ABRI seharusnya anggota DKP juga melibatkan Angkatan Laut dan Udara.
Tidak hanya itu, ada satu lagi mantan petinggi TNI, yaitu LetJen (Purn) Suryo Prabowo Mantan Kepala Staf Umum TNI, memberikan pernyataan senada. Menurutnya dibentuknya DKP adalah produk politik Wiranto untuk menyelamatkan dirinya dari jeratan hukum dan sekaligus mematikan karakter dan karier Prabowo.
"DKP itu produk politik Wiranto pribadi untuk membunuh karakter Prabowo. Dia menunggangi DKP untuk mematikan karier Prabowo yang saat itu lebih dicintai oleh prajurit," kata Suryo
Wiranto sebagaimana kita ketahui adalah ketua umum Partai Hanura yang telah berkoalisi dengan PDI Perjuangan untuk mencalonkan Jokowi sebagai Presiden. Dengan adanya pernyataannya tersebut, maka publik sangat mudah menilai bahwa keberadaan Wiranto hanya sekedar membela kepentingan politiknya sendiri. Sebagai mantan Panglima ABRI yang memerintahkan dibentuknya DKP, seharusnya Wiranto tak perlu ikut terlibat dalam polemik seputar Surat Keputusan DKP.